p a r t 20

107 12 5
                                    

Suara yang kudengar memang sungguh mengerikan. Melengking, bertalu-talu dan membuatku berpikir kenapa mulutku bisa mengeluarkan suara sebegitu buruk. Hingga mulutku tekatup rapat bersama redanya hujan di luar.

Aku memandang semua yang muncul di sudut mataku jeli. Dari tanganku yang berwarna merah pekat, berbau amis, dan sedikit dihiasi cercahan daging yang terasa halus. Sampai pada sepasang bola cokelat terang yang memberiku tatapan bangga. Wajahnya berseri seri walau malam sudah sedikit larut.

Memang, apa yang sudah kulakukan untuknya? Tapi aku memutuskan untuk tidak bertanya dengan menundukkan kepala. Lelaki itu, dengan bau amis yang begitu pekat, berjalan pelan mendekatiku. Tatapan bangganya masih saja dia tujukkan padaku.

"Ice, kau begitu cantik." jemarinya mengangkat daguku, membuatku berpapasan dengan bola cokelatnya yang kali ini berbinar. Merasa bingung, aku memutuskan menunggu lanjutannya.

"Aku berpikir tadinya, kalau kau mungkin akan menolak." bibirnya mengulas sebuah senyum manis. Tapi terasa begitu aneh di mataku. "Tapi sesuai ekspetasiku sebelum itu, kau bermain dengan baik. Sangat-baik."

Jemarinya dia tarik kembali, lalu membungkusnya di jari kelingkingku. Ray melingkarkan jari manisnya erat, sampai-sampai bagian itu terasa ngilu. Dia hanya menunjukkan senyuman ketika aku balas mengaitkan jariku tanpa sadar.

"Kau sudah berjanji." pandangannya terarah lekat pada kuncian kelingking itu. Sampai aku memutuskan untuk melihatnya juga. Tetap seperti itu, mulutnya kembali bersuara. "Kau akan selalu berpihak pada rasa itu, promise?"

Sama sekali tidak dapat mencerna ucapan melankolisnya, aku tetap tak bergeming. Maksudnya tadi itu, dia menyuruh atau lebih tepatnya memaksaku untuk berjanji? Pada rasa itu?

Aku menelan mentah-mentah pertanyaan ku saat tau-tau kelingkingnya melilit milikku lebih erat. Seperti, bentuk pemaksaan secara halus untuk membuka mulutku lalu mengeluarkan kata "I'm promise."

Dan dengan begitu mudahnya, aku membuat seringai tersungging di bibir tipis laki laki itu.

"Hei, Lay. Apa kau tidak punya usaha untuk menyetil lebih cepat? Atau setidaknya belsimpati pada cacing pelutku. Atau juga pelutmu begitu?!"

Zedd, dengan wajah ogah-ogahan di jok belakang mobil, menyalak lapar pada Ray. Mulutnya yang bahkan sudah disumpal penuh burrito kacang, ternyata masih saja merasakan lapar. Mungkin sangat tepat jika semua orang mengatakan, mulut tidak akan berhenti makan. Dan berteriak meminta makan!

"Tuan, aku tau kau punya telinga, tapi akan lebih baik jika kau pakai untuk mendengalku ketimbang suala belisik Blink 1- aku tidak peduli. Dan kau tau, bunyi pelutku lebih kelas dali itu!"

Aku buru-buru berpura-pura tidur, sebelum bocah itu dengan mulut lebarnya, berpindah mencerocos padaku. Yang suaranya jauh lebih buruk dari dentuman musik rock kesukaan Ray.

Sedang Ray, dengan tangan yang bergerak mengeraskan volume musik, tidak menunjukkan sedikit pun rasa pedulinya pada Zedd. Hingga berhasil membuat aksiku gagal mengelak dari rengekannya yang benar-benar berisik.

"Ice! Yang kutahu kau sangat baik, tidak sepelti makhluk tanpa pelasaan di depan." Yang disindirnya hanya mendengus tidak peduli. Membuat mulutku kesusahan menahan tawa.

Tapi, kurasa, dia tetap bersikeras pada aksi minta makannya. Dan tidak peduli pada reaksiku. Aku hanya tersengal-sengal saat tangannya yang kecil memukuli bahuku kencang.

"Aku juga tau kalau kau menyukaiku, kan? Jadi, kau pastinya juga menyukai cacing di pelutku. Aku juga tau kalau kau akan memberi meleka makan malam. Iakan?"

Horrible PersonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang