Part 6: Anger

2.6K 306 43
                                    

Cairan merah kental melumuri kedua tanganku. Tak kupedulikan lagi gergaji mesin yang sedari tadi menderu-deru. Bukan berarti dendamku sudah terbalaskan, ini baru permulaan. Orang-orang itu, para pejabat busuk itu.Aku yakin, mereka pasti sudah pucat wajahnya dan mengurung diri di dalam rumah.

Wanita itu kini menatapku dengan ketakutan. Tangan kirinya sudah kupotong hingga ke siku. Air matanya tak berhenti mengalir, membuat maskara-nya luntur. Pakaiannya sudah penuh dengan darah yang menggenang di sisi tubuh.

Bagus, sekarang inilah pertanyaan terakhirku.

"Kenapa kalian membunuh keluargaku?"

"Bukan aku yang membunuh mereka! Bukan aku! Aku bersumpah!" Teriak wanita itu.

"Kenapa kalian membunuh keluargaku?"

Kali ini aku berteriak. Tak peduli lagi akan petugas keamanan yang pasti mendengar suaraku. Gergaji mesin tadi kuarahkan ke wajahnya. Membuat wanita itu menjerit ketakutan.

"A ... ada map merah di laci bawah mejaku. File-nya memiliki nomor seri 337." serunya.

Aku mematikan gergaji mesin itu lalu membekap wajahnya dengan kain putih yang sudah kulumuri dengan chloroform. Seperti yang sudah kuduga, dia langsung tertidur dan merosot ke lantai seperti karung beras.

Tombol merah pada gergaji itu kutekan lagi. Yang membuat benda itu kembali meraung-raung.

*****

Andi nyaris memuntahkan sarapannya pagi tadi begitu melihat TKP. Ada begitu banyak darah dan serpihan daging. Begitu juga dengan Erick, lelaki itu menutup mulut dan hidungnya dengan selembar kain.

"Astaganaga, apa ini?!"

Erick dan Andi berpaling ke belakang dan mendapati Roy yang memelototi TKP.

"Siapa korbannya kali ini, Erick?" tanya James yang muncul dari arah tangga.

"Dia anggota DPR juga seperti dua korban sebelumnya." jelas Erick.

James menganggukkan paham. Kemudian dia mendekati mayat yang bisa dibilang sudah tak utuh lagi. Tangan, kaki, dan kepala terpisah dari tubuhnya. Ditambah lagi sebuah tato kepala rubah diukirkan tepat di tengah dadanya.

Erick mengambil ponsel dari saku celana dan memanggil nomor yang saat ini paling dibutuhkan.

"Halo Ren? Ada korban lagi pagi ini."

*****

Ren meletakkan ponselnya di nakas. Kepalanya terasa berat setelah berbicara dengan Erick barusan. Terutama karena mendengar korban yang kembali bertambah. Tangannya menyibak selimut dan duduk di sisi kasur yang lain. Dia tak mau membangunkan Kirana karena gadis itu terlihat tidur nyenyak. Diambilnya jaket abu-abu berlengan hitam yang digantung di lemari kemudian berjalan keluar kamar.

Sesampainya di dapur, yang dilihatnya hanyalah Roni dan Eko yang sibuk berdebat tentang mi instan. Dia mengalihkan pandangan ke arah lain. Tak ada Budi di sana.

"Hei, apa kalian tahu dimana Budi?"

Ren menoleh kemudian menggelengkan kepalanya. "Aku tak melihatnya sejak subuh tadi." jawabnya, lalu kembali bergelut dengan perebutan sebungkus mi instan rasa kari ayam dengan Eko.

Ren menghela napas panjang. Disaat orang memerlukannya, dia menghilang. Itulah Budi.

*****

Emily mencengkeram lengan Budi dengan ekspresi ketakutan saat melihat badut yang melewati jalan raya dengan sebuah sepeda kecil. Gadis itu berlindung di balik punggung Budi. Saat ini sedang ada festival di Jakarta pusat, jadi maklum saja kalau ada badut yang memakai sepeda dan melintas di jalur busway.

A Black Fox (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang