Part 10: Escape

2.2K 268 45
                                    

Beberapa hari yang lalu, ruang arsip kepolisian....

Televisi kecil di atas meja terus menerus menayangkan berita yang sama: pembunuhan seorang gadis tanpa pakaian yang tergeletak di halaman gedung DPR.

Anthony Wiran berbaring di sofa ruang arsip sambil mendecakkan lidah, iris matanya yang ungu terang ditutupi oleh softlens berwarna hijau. Begitu juga dengan rambut ungunya yang disembunyikan dengan wig berwarna hitam.  

Tangan kanannya menggenggam sepucuk panah kecil. Kemudian tangan itu mengayun ke belakang dan melepaskan panah tadi. Melesat di udara dan mendarat tepat pada papan target yang sudah dipasangi 5 buah foto. Panah tersebut menusuk foto yang ada di tengah. Foto seorang pria berumur 50-an yang mengemudikan mobil Agnit.

"Kutunggu nyawamu, Rian Krein." Anthony menggumam pada dirinya sendiri. Kali ini dia tak akan membiarkan siapapun terluka. Kali ini dia yang akan menuntaskannya. Menyelesaikan dendam Wiran yang sudah terkubur bertahun-tahun.

Roni dan Elena masuk ke dalam mobil dengan terburu-buru sedangkan Erick langsung memasukkan kunci mobil dan menyalakannya.

"Waktu kita terbatas!" teriaknya, "kalian sudah bawa barang-barang yang kusuruh kan?"

Elena menganggukkan kepala. "Sudah! Termasuk rompi anti peluru dan revolver," jawabnya sambil mengangkat sebuah tas jinjing dari kain berwarna hitam.

Erick mengacungkan jempol seraya menyeringai. Kaki kanannya menginjak pedal gas dan mobil pun langsung meraung, meluncur di jalanan bak kuda liar.

*****

Sama sekali tak ada waktu bagi Elena Grimm untuk memuntahkan makan siangnya begitu mobil telah sampai di gedung Bank Reksa. Erick langsung melompat dari mobil, begitu juga dengan Roni. Keduanya sudah memakai rompi anti peluru.

Tunggu, kenapa mereka sudah memakai rompi? Elena menggumam di dalam hati.

Roni berbalik arah dan memegang wajah Elena dengan tangan kanannya. Kini Elena paham apa alasannya.

"Kau tetap di sini." Roni berkata dengan nada dingin sedingin es Antartika.

Elena menepis tangan Roni di wajahnya. "Tidak mau! Biarkan aku ikut!"

Roni menggeram, aura mengintimidasi seolah berkumpul di balik punggungnya. "Sekali tidak tetap tidak. Aku pernah membawa wanita ke medan tempur dan kau tahu apa yang kudapat? Dia tewas di tangan musuh."

"Aku Elena, bukan Zikri! Aku tak akan membiarkan musuh membunuhku semudah mencabut bulu gagak!" Elena mendesis, tangannya mencengkeram kerah jaket Roni hingga pemuda itu limbung.

Roni menggeram dan akhirnya berkata, "baiklah kau menang, wanita. Tapi jangan menyusahkanku."

Kemudian Roni berlari mengikuti Erick dan meninggalkan Elena sendiri di mobil dengan mata berkaca-kaca. Dia bersumpah tak akan menangis lagi sejak menjadi seorang bullet. Tapi entah kenapa, embun itu seolah melesak ingin keluar.

Budi benar, dia sangat dingin seperti es. 

*****

Erick menolehkan kepalanya dan mendapati Roni yang sendiri tengah berjalan di sampingnya. "Mana Elena?"

"Dia kusuruh menunggu di mobil," jawab Roni, "tapi dia tetap memaksa ikut."

Erick menghela napas. "Apa kau izinkan?"

"Ya, setelah berkelahi seperti biasa." Kali ini Roni yang menghela napas.

"Dari semua hewan buas di darat dan laut yang paling ganas adalah wanita." Erick berucap tiba-tiba.

A Black Fox (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang