Book I: Vapor - Chapter 5

303K 20.4K 1.4K
                                    

5. Penyelamat.

Cantika menghela nafasnya tanda lega begitu mobil Claudio masuk kedalam perkarangan rumahnya.

Ia cepat-cepat turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Claudio yang tengah mengerutkan dahinya, tak mengerti dengan sikap adiknya akhir-akhir ini.

Di kamar, Cantika melucuti seluruh seragam sekolahnya dan menggantinya dengan kaos serta celana training pendek. Ia pun lantas berlari setelah meraih ponsel juga sebotol air putih ke arah ruangan yang berada di samping gudang rumahnya.

Itu adalah ruangan khusus bela diri yang Papanya buatkan untuk Cantika, karena Cantika begitu suka dengan ilmu bela diri sejak ia masih di usia belia.

Tangannya yang tak berbalut apapun meninju samsak beberapa kali sehingga meninggalkan bekas kemerahan pada tulang-tulang jarinya.

"Makanya ngaca, Cantika Adriana!" tukasnya, lebih kepada dirinya sendiri. Memukuli lagi samsak itu berkali-kali.

Cantika kini beralih pada jejeran kayu-kayu, tangan dan kakinya dengan lihai memukul, menendang hingga menginjak kayu-kayu itu.

Nafasnya terengah-engah, air mata tak dapat lagi ia tahan. Apa jatuh cinta rasanya sesakit ini? Apa ini resiko bagi orang yang memilih untuk jatuh cinta dan ternyata cintanya itu salah?

"Just be yourself, don't mad at yourself. I do love you whoever you are, my beautiful. That's why I give you a beautiful name."

Suara itu seolah menyadarkan Cantika, membuat kegiatannya terhenti. Ia menoleh dan sontak berlari menuju sosok wanita yang begitu ia sayangi. Itu Mamanya.

Juliana dengan senang hati membalas pelukan putrinya. Ia mengelus puncak kepala Cantika. Dadanya basah, bercampur antara keringat yang membasahi peluh Cantika serta merta air matanya yang turut mengalir.

"Nangis aja yang banyak gapapa, Dek, keluarin semuanya." Juliana kini mengelus bahu Cantika, mencoba menyalurkan energinya kepada anak perempuannya itu.

"Salah ya, Mah, kalo adek suka sama cowok?" suaranya terdengar parau, setelah sekian lama akhirnya perasaannya dapat terbuka dan ia berhasil untuk mengatakan kepada Mamanya.

"Nggak ada yang salah soal itu, sayang. Yang salah itu cuman perasaan negative thinking kamu mengenai diri kamu sendiri aja."

Sementara Cantika diam untuk mencoba menerubus apa maksud dari yang Mamanya katakan, tangan Juliana tak kunjung henti menenangkannya. Agaknya bahunya mengendur sedikit.

"Gimana kalo besok pulang sekolah kita coba jalan-jalan sebentar?" Juliana kembali bersuara, memecah keheningan yang sebelumnya tercipta selama beberapa saat. Ia menatap anaknya lekat-lekat dengan senyumnya.

"Kemana, Mah?"

"Pokoknya besok pulang sekolah kamu Mama yang jemput. Bang Dio tinggalin aja."

• • •

Ia meninggalkan Claudio yang tengah mendumal di dalam mobil, berjalan mendahuluinya untuk masuk ke dalam gedung sekolah.

Selesai meletakkan jari telunjuknya di finger print, Cantika meneruskan langkahnya menuju kelas. Namun langkahnya terhenti kala melihat sesuatu yang sama sekali tak ingin di lihatnya saat ia melewati koridor yang menengadah ke lapangan. Ia meneguk salivanya sendiri.

Baru saja ia hendak mengambil ancang-ancang untuk melanjutkan langkahnya, mencoba tak perduli dengan apa yang tengah terjadi di lapangan walau sebenarnya ia tak ingin beranjak sesenti pun. Bagaimana bisa pagi-pagi saat bel bahkan belum berdering, sudah ada perkelahian?

VAPOR [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang