Book I: Vapor - Chapter 11

275K 18.4K 553
                                    

11. Siapa Aku?

Cantika benar-benar ingin menangis.

Pertama, ia bahkan tak dapat berkutik kala Terre dan gerombolannya membully dirinya. Hanya mengandalkan Catalia, Audi dan Dira yang akan datang lalu menolongnya.

Cantika tau kalau dirinya sebenarnya bisa-bisa saja melawan, tapi dia tak bisa. Meratapi kembali akan statusnya dan siapa dirinya. Alhasil dia hanya akan menyulut emosi Terre dan teman-temannya dengan kata-katanya yang sebenarnya ia gunakan untuk menahan emosi dan kemudian datanglah para penolong.

Kedua, Cantika semakin merasa tak berdaya kala ia malah justru terlihat culun di hadapan Terre dan kawanannya. Sementara seharusnya ia melawan.

Ketiga, Cantika selalu saja membuat keluarganya malu. Itulah yang dianggapnya selama ini. Entah karena perilakunya atau penampilannya. Sehingga mau tak mau dirinya hanya bisa menangis, berteriak dan menikam berbagai macam benda di ruang latihannya.

Keempat, ia merasa selalu menjadi benalu. Apalagi kepada kakak laki-lakinya, Claudio yang sedia melakukan apa saja demi Cantika. Membuat Cantika merasa semakin tak berdaya.

Dan ada lagi yang benar-benar membuatnya lelah yaitu menghindar. Menghindari keluar kelas, menghindari Terre dan kawanannya, menghindari kakaknya, menghindari Vano. Dan yang terparah adalah menghindari fakta bahwa cowok idamannya itu sudah ada yang punya.

Cantika turun dari taksi dan meminta Zanufa agar langsung pulang ke rumahnya. Padahal ini masih jam 5 sore, dan seharusnya perjalanannya dengan Zanufa masih dua jam lagi.

Air mata tak lagi dapat ia bendung.

Dengan segera, Cantika memasukki ruangan berlatihnya. Melempar sepatu tinggi beserta aksesorisnya secara asal, juga melempar cardigannya. Melepas jins dan hanya menggunakan celana pendek demi memudahkan pergerakkannya.

Ia menendang, meninju, menikam dan memukul sekeras-kerasnya samsak di hadapannya. Mematahkan banyak kayu yang tersisa dengan air mata yang bercucuran. Bukan bercucuran karena sakit fisik, tapi jiwanya yang sakit, hatinya lemah. Ia bahkan tak menyadari bawa dirinya tak mengenakan pelindung apapun sehingga tangannya berdarah-darah dan banyak lecet di sekujur tubuhnya.

Cantika jatuh terduduk, memeluk lututnya sehingga air matanya semakin banjir. Tak lagi dapat menyalahkan takdir akan semua ini. Memang sudah takdirnya menjadi seperti ini.

Bukan siapa-siapa. Tak di anggap. Benalu.

• • •

Claudio mengajak Vano untuk masuk ke dalam rumahnya yang kosong melompong, tak ada siapapun termasuk pembantu.

"Pada kemana?" tanya Vano, melihat dekorasi ruangan tamu yang di tata sedemikian rupa. Lumayan berbeda dengan kali terakhir dia kesini.

"Nyokap lagi ada urusan di butik, bokap lagi mantau editing," jawab Claudio sekenanya. Ia berjalan ke arah dapur dan mengambil jus beserta dua buah gelas.

"Adek lo?"

Jleb.

Pertanyaan Vano begitu tepat sasaran. Matilah Dio kalau sampai Vano tau.

Mata Claudio mengikuti gerak mata Vano yang ternyata tengah memerhatikan foto keluarga di ruang tamu yang di ambil sekitar lima tahun yang lalu. Foto yang baru saja di pajang saat mendekor ulang ruangan.

"Lagi jalan-jalan sama sahabatnya. Dari tadi sih, palingan nginep kali gatau."

"Kok gue baru tau lo punya adek ya," gumam Vano, namun Claudio dapat mendengarnya dengan jelas.

VAPOR [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang