Dua

13.2K 936 18
                                    

Seva

Aku kembali menajamkan mata dan ingatanku untuk mengvalidasi siapa yang sedang aku lihat sekarang. Dari atas nampak kepala dan wajah yang penuh memar, luka dan darah yang masih mengalir. Lalu bagian badan nampak kemeja lengan panjang yang aku yakini sebelumnya berwarna putih sekarang berubah menjadi merah dan robek pada beberapa bagian. Serta tak sedikit luka disekujur badannya itu. Hal senada juga bisa aku lihat di kakinya.

"Anda mengenalnya?" Tanya seorang polisi yang membantu evakuasi Breema.

"Saya... saya tidak yakin." Jawabku lirih tanpa melepas pandangan dari wajah orang yang saat ini aku masih menyebutnya 'mirip Breema'.

"Pak, ini dompet yang ada di saku jas dalam mobilnya." Kata seorang anggota polisi lainnya yang menyerahkan dompet berwarna cokelat kepada polisi yang tadi bertanya padaku.

"Breemastya Alan Sasongko." Aku langsung memutar kepalaku dan membelalakan mata mendengar nama yang dia sebutkan. "Apa anda mengenal dia?" Tanyanya lagi padaku sambil menunjukkan KTP yang ditangannya.

Tiba-tiba air mataku mengalir deras dan menganggukan kepala pelan.

"Kami sudah siap membawanya ke rumah sakit, pak. Tekanan darahnya terus menurun karena pendarahan yang banyak dan sepertinya beberapa tulang yang patah." Kata seorang paramedis pada polisi yang menanyaiku. Sepertinya polisi itu pimpinan.

"Saya ikut!" Dengan cepat aku berseru mengatakannya walau sebenarnya aku sangat takut dan gemetar.

"Baiklah, mbak, silakan anda masuk ambulance dengan kami." Paramedis tadi membantuku untuk naik ke ambulance bagian belakang bersama Breema. Dan di sini aku bisa sangat jelas melihatnya.

Mobil berjalan dengan suara sirine yang sebenarnya memekikkan telinga. Tanpa aku sadari kalau air mata ini terus saja mengalir dengan lancar.

"Anda keluarganya?" Tanya paramedis tadi yang cukup mengagetkanku.

"Bu-bukan. Saya... hanya mengetahui siapa dia." Jawabku terbata dan berusaha menatap paramedis itu walau susah karena pasti pandanganku akan melihat tubuh Breema yang syarat akan darah dan luka.

"Anda tahu keluarganya?" Tanyanya lagi.

Aku menggeleng.

"Polisi pasti akan menghubungi keluarganya." Sahut seorang paramedis lain yang daritadi terus menekan bagian tubuh Breema yang mengalami pendarahan hebat.

Bagaimana ini? Barusan tadi pagi aku melihatnya dalam keadaan sehat dan bahagia dipernikahan tapi sekarang kondisinya sangat mengenaskan. Tunggu, pernikahan! Alex!

Dengan jari-jari gemetar aku berusaha membuka kode ponselku. Sial, aku hampir lupa digit terakhir kodenya. Aku masih bergetar hingga ponselku juga tidak bisa diam. Aku sudah berhasil membuka kode ponselku lalu mencari icon kontak ponsel.

"Dimana sih?" Aku meracau sendiri dan tangan masih bergetar dan kali ini efeknya adalah ponselku jatuh.

"Anda tidak apa-apa?" Paramedis yang daritadi bertanya padaku sepertinya menyadari ketakutanku. Dia menunduk mencoba meraih ponselku dan setelah didapat dia menyerahkannya padaku. "Tenang dulu. Jangan lihat korban, lihat saya!" Kali ini dia terdengar lebih halus dan mengguncang pelan bahuku.

Aku kembali menangis, "saya tahu yang kenal dia. Saya... saya mau menghubunginya. Tapi kenapa kontak ponsel hp saya tidak ada." Kali ini aku menangis dengan sesenggukan.

"Siapa nama mbak?"

"Saya?" Kenapa dia malah bertanya nama. Dia menjawab beoanku dengan anggukan kepala dan senyuman tipis. "Seva." Jawabku singkat dengan terus melihatnya.

I Love You but I'm AfraidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang