Tiga Puluh Tiga

1.2K 55 4
                                    

Sialan. Dia membawa-bawa nama Greyson lagi. Aku baru saja bersenang-senang dengan Austin. Sekarang moodku menjadi buruk. Kejadian tadi malam kembali berputar di kepalaku. Kurasa aku harus membenturkannya agar ia tidak muncul lagi.

"Tidak ada. Kenapa?"

"Tidak ada?" tanyanya dengan nada ketidakpercayaan. "Lalu kenapa ia merenung seharian ini?"

"Bukan urusanku."

Kudengar ia mendengus. "Day, kata Cody ia mengurung dirinya seharian di kamar. Jika ada yang mengetuk atau masuk ke kamarnya, ia akan langsung memaki orang itu. Matanya sembab-"

"Tunggu dulu. Kau kenal Cody?" Maddi kenal Cody, kakak Greyson? Dari mana? Jangan-jangan...

"Codylah laki-laki yang kumaksud waktu itu, yang berkenalan denganku di rumahku," katanya menyuarakan pikiranku. "Oke, Day, jangan mengalihkan pembicaraan! Greyson-"

"Jadi karena itu kau tiba-tiba dekat dengan Greyson?" tanyaku penasaran. Serius deh, jika kau mengetahui sahabatmu kenal dengan kakak gebetanmu, lalu akhirnya mereka berteman baik, tentu saja kau penasaran.

Dia tiba-tiba ragu. "Eh, iya, sih. Sudahlah. Yang sekarang kita bahas adalah Greyson. Cody bilang Greyson mengurung dirinya di kamar. Ia tidak mau makan. Untung saja ayah dan ibunya tidak ada di rumah. Tapi tetap saja kakaknya mencemaskannya."

Kenapa jadi begini? Kenapa ia harus mengurung dirinya hanya karena kejadian semalam? Bukannya aku terlalu percaya diri atau apa. Tapi, aku heran. Aku bingung mengapa aku heran. Aku tahu ia mencintaiku, namun mengurung diri karena aku? Terdengar mengherankan. Apakah ia begitu sakit hati? Bagus, sekarang aku jadi ahlinya mematahkan hati orang.

Aku tersadar kembali setelah Maddi memanggil namaku. "Day? Kau masih di sana?"

"Ya," jawabku. "Jadi, kau ingin aku berbuat apa?"

Ia mengerang frustrasi. "Oh ayolah! Tentu saja kau harus menemuinya. Mungkin ia mau mempersilakanmu masuk."

Mataku membulat. Aku menggeleng-geleng meski ia tidak bisa melihatnya. "Tidak, terima kasih atas sarannya. Tapi itu saran yang buruk. Bisa beri saran yang lebih baik?" Sumpah aku tidak siap melihat wajahnya setelah kejadian itu.

"Lalu kau harus apa lagi? Hanya berdiam diri dan melihat orang yang kau cintai sakit hati? Aku tahu kau tidak sanggup melihatnya sakit hati. Dayseanne, kaulah satu-satunya orang yang dapat membuatnya kembali bersemangat."

"Dari mana kau tahu?"

"Pokoknya aku tahu! Sudahlah! Kau itu terlalu keras kepala. Biarkan ia sakit hati yang pastinya membuat hatimu juga ikutan sakit atau temui ia dan buat ia bahagia." Kemudian ia mematikan teleponnya.

Serius? Aku hanya punya dua pilihan?

Aku melempar ponselku ke kasur, lalu melompatinya dan bergelung di selimut. Temui ia atau tidak? Temui atau tidak? Keduanya sama-sama beresiko. Kalau aku menemuinya, siapa tahu Maddi salah dan ia malah melemparku keluar? Tapi kalau aku tidak menemuinya, siapa tahu Maddi benar dan ia akan semakin sakit hati?

Aku dirundung kebingungan lagi. Temui atau tidak? Aku mendengus. Mengapa aku membiarkan diriku terjebak dalam situasi ini? Baru saja aku sadar kalau aku sudah bisa mencintai Austin, Maddi malah datang membawa kabar tak sedap seperti itu. Yang benar saja! Tidak bisakah aku hidup tenang barang sehari saja? Aku kebanyakan melakukan dosa atau apa sehingga Tuhan menghukumku dengan cara seperti ini?

Kepalaku sakit. Aku memutuskan untuk mengesampingkan pemikiran itu sejenak dan tidur. Siapa tahu ketika aku terbangun nanti, aku mendapat pencerahan dan tiba-tiba tahu apa yang harus aku lakukan?

My Beloved Senior✔ [SEGERA TERBIT]Onde histórias criam vida. Descubra agora