13. Some revealed, some stay hidden

44.4K 3.9K 260
                                    

TELAPAK tanganku berdenyut, suara tamparan masih terngiang di telingaku. Pipi kirinya mulai nampak memerah, menandakan kalau aku tidak sedang bermimpi. Pantas saja Seth tertawa saat mendengarku mengeja panggilan untuk adiknya. Jeha yang dia maksud adalah J dan H, yang memang kalau diucapkan orang Indonesia terdengar sama dengan bunyi Jeha. Ini cuma aku saja atau semua orang di sekolah beranggapan kalau penulisan nama Jeha bukanlah J, E, H, dan A melainkan hanya J dan H?

It's just misscomunication between me and people at school. I say that, they heard this.

Ah, sepertinya bukan cuma aku. Kalau anak-anak di sekolah tahu bahwa Jeha sebenarnya adalah J.H, mereka pasti sudah ribut dan mungkin orang ini akan memilih keluar sekolah saja.

Kepalanya yang menoleh ke samping akibat tamparanku yang terlalu bertenaga, perlahan menghadapku. Tangannya menangkup pipi kiri lalu menekannya. Kernyitan wajah kemudian pelototan mata tajam yang ditujukan padaku, mungkin membuatnya yakin kalau ini bukan mimpi juga untuknya.

"What was that for?!" bentaknya.

What was that for?

Hm. Tidak mungkin, kan, aku mengatakan kalau aku sudah tahu siapa dia di balik kacamata jelek dan poni tebalnya itu dan melewatkan kesempatan untuk balik mengerjainya? Pfft. Get real.

"Who's there?" Suara seruan Kak Logan dari luar mengalihkan pelototan Jeha-J.H-whatever dariku.

"Identify yourself or I will call the cops!" Kali ini Kak Logan berteriak.

Jeha-J.H-what his name-mengerutkan dahi lalu bangun, dengan terpincang berjalan keluar. Aku mengikuti. Sebelum mencapai pintu, aku melihat Kak Logan berlari melintasi halaman rumah lalu memanjat atap rumah tetangga dengan bantuan pohon mangga. Di depannya terlihat siluet seseorang yang melarikan diri. Jeha-let's just call him that when he wore glasses-berjalan ke samping rumah. Kecuali gudang, di sana tidak ada apa-apa.

"Ada apa?" tanyaku.

"Ada maling cancut," jawab Seth. Tahu dari mana juga kata cancut itu. "Emak suka pakai bahasa langka kalau ngomong," ujarnya seperti bisa membaca pertanyaan dalam pikiranku.

"Kalian nggak bantuin Kak Logan?"

"Cuma maling cancut gitu, sih, kecil buat Logan," kata Kyle sambil membuka bagasi mobil Raja. "Sini, Re."

Aku mendatangi Kyle dan langsung diserahi sebuah tupperware besar, membuatku menerimanya dengan terpaksa. Ketika aku memeluk wadah itu, rasanya dingin.

"Apa ini?"

"Beef." Aku membukanya, dan terlihatlah sepotong daging besar merah yang dikelilingi es. "Tolong masakin, yah? Kita laper."

"Kalian banyak duit. Kenapa nggak makan di restoran aja?"

"Kita lebih suka masakan rumah," jawab Kyle. "Lagipula lo seksi banget kalau lagi masak." Dia mengedipkan satu matanya.

Kyle tidak pernah melewatkan kesempatan untuk flirting dengan cewek, tidak terkecuali aku walau sudah tahu kalau aku pacar adiknya.

"Lama-lama gue bakal memungut biaya dari kalian," ujarku memperingatkan. "Kalau makan nggak ada yang cukup satu piring, tapi rewelnya minta ampun."

Memasak untuk empat lelaki Clarke itu selalu terasa seperti memasak untuk satu pasukan batalion, apalagi kalau ditambah Raja. Aku heran ke mana semua makanan itu mengingat tidak ada timbunan lemak yang tak perlu di badan mereka.

"Salah sendiri masakanmu selalu berhasil membuat lidah gue berorgasme," kata Kyle dengan tersenyum jail.

"I second that," timpal Seth sebelum berlalu membawa kopernya ke dalam rumah.

Sebelum SelamanyaWhere stories live. Discover now