Previous :
Tampak wanita itu bernafas lega setelah melihat Kinal keluar dari mobil sambil tersenyum lebar padanya. Kinal tak langsung memasukkan mobilnya ke dalam garasi rumahnya, melainkan berjalan menuju gerbang rumah Veranda yang terbuka untuknya.
Baru saja Kinal hendak menyapa sosok kesayangannya itu, ia lebih dulu terkejut saat mendapat pelukan erat yang sangat tiba-tiba.
"Kamu dari mana aja sih? Kenapa nggak ada kabar seharian? Sudah makan? Abis ngapain aja? Kok kamu berantakan gini? Kamu nggak papa kan? Nabilah cerita kalau kamu lagi sedih? Bener?"
Pertanyaan-pertanyaan itu berlanjut dan datang bertubi-tubi saat Veranda menjauhkan tubuhnya dan menatap Kinal dengan sorot khawatir. Tangannya terangkat menyentuh wajah kelelahan Kinal yang tampak kusam.
Kinal tersenyum melihatnya. Matanya yang baru saja berhasil menyelami iris kecoklatan Veranda itu mendapati rindu, khawatir, sedih yang bercampur aduk dalam mata Veranda.
"Memang aku nggak akan pernah bisa memilih pilihan lain selain tetap untuk tetap mencintai kamu..."
Veranda terdiam mendengar kalimat yang terlontar dari bibir Kinal. Ia tak mengerti apa yang Kinal bicarakan sebenarnya, namun kesenduan yang tercetak jelas di wajah kekasihnya itu cukup mengartikan bahwa Kinal hanya membutuhkan pelukan hangat darinya.
"Aku tau itu..." lirih Veranda sambil tersenyum lembut dalam dekapan Kinal.
#################
Kepercayaan seseorang itu tidak serta merta datang sepenuhnya. Layaknya sebuah batu yang baru bisa berlubang setelah ditetesi ribuan bahkan hingga jutaan kali oleh air. Begitu pun kepercayaan manusia, butuh waktu untuk memperkuatnya.
Seperti Juna yang masih belum bisa meyakinkan dirinya terhadap hubungan adiknya sendiri. Pria itu masih sedikit ragu dengan keputusannya yang mulai menerima Kinal bersama tetangganya sendiri untuk menjalin hubungan yang tidak biasa.
Tampak sekali semua ketidakyakinannya beberapa hari ketika ia tinggal di kediaman adiknya itu. Kebiasaannya sebagai chef untuk memasakkan makanan, kini tergantikan oleh Veranda yang tiba-tiba saja sudah datang ke rumah adiknya untuk membuatkan sarapan.
Diam-diam, Juna selalu mengintip wanita yang berprofesi sebagai guru itu dari anak tangga. Setiap ia ingin memasak sarapan, pasti selalu kalah cepat dengannya. Hingga suatu ketika, ia berani menunjukkan batang hidungnya dan mendekati Veranda yang sedang asyik memasak.
"Jangan masak dengan api besar, nanti bisa ngeluarin aroma pedas yang menyengat. Ya kecuali kalau kuat dan nggak batuk-batuk sih nggak masalah..." jelas Juna sambil bersendekap lengan di samping Veranda yang langsung terkejut dengan kedatangannya.
Tanpa disuruh, Juna langsung menyendok dan mencicipi makanan masakan Veranda. Pria itu mengangguk kecil dengan senyuman angkuh terukir di bibirnya.
"Not bad!" komentarnya.
Veranda tersenyum kikuk dan sedikit bernafas lega. Entah mengapa ia merasa sangat takut jika kakak dari kekasihnya itu memberikan komentar yang buruk tentang masakannya. Pasalnya, Veranda tau jika pria tinggi di sampingnya itu adalah sosok yang perfeksionis dan seorang chef juri yang penuh akan komentar pedas.
"Thanks..." balas Veranda.
Juna hanya mengangkat bahunya dan mengangguk kecil. Veranda terdiam lama, sedikit ragu untuk mengabaikan Juna yang masih ada di sisinya. Namun ia harus segera menyajikan makanannya sebelum dingin.
YOU ARE READING
Hey, Bu Veranda!
FanfictionDevi Kinal Putri, mahasisiwi semester akhir yang sibuk oleh segala tugasnya terpaksa harus merawat keponakannya yang baru saja mau masuk SD, Nabilah. Jessica Veranda, guru SD yang parasnya cantik dan sangat lembut namun cukup pendiam. Kedua insan ya...