Sepuluh: Confusing Momment

11.1K 1.3K 220
                                    

            Aku berdarah-darah lagi. Di sudut bibir, di hidung, di pelipis. Sementara di perut sudah memar. Rean juga sama. Dia pergi setelah kami terkapar nggak berdaya karena kelelahan, tertatih dan pergi paksa. Kesakitan. Aku bingung harus menjelaskan apa pada nenek nanti kalau ditanya. Bilang jatuh? Oh, nenek jelas pintar untuk membedakan luka. Bilang dipukuli? Nanti nenek malah tanya apa masalahnya. Apa aku pinjam alasan Aldi saja? Tapi nenek nggak mungkin percaya. Dulu aku anggap nenekku itu peramal. Juga separuh indigo. Nenek bisa tahu apa yang kulakukan, kupikirkan, bahkan apa yang kurencanakan.

Tapi sekarang nggak lagi.

Nenekku hanya wanita perkasa biasa, yang bisa mengerti pola pikir gampanganku.

Aku sudah belajar untuk berbohong pada nenek, tapi selalu saja gagal. Tatapan nenek seolah sedang mengintimidasi, menginterogasi, mengadili. Aku hanya bisa menelan ludah, lalu bercerita yang sebenarnya dengan mulut gagap.

"Tadi Tio berantem, nek." Itu prolognya. Kalau ditanya kenapa dan apa alasannya, nanti jawab saja kalau sudah terlanjur emosi. Aku jelas tersinggung dengan pertanyaan Rean tadi. Aku juga nggak paham kenapa dia harus mengenduskan hidungnya pada urusanku. Memangnya apa yang sudah kulakukan? Kalau aku kepedean, aku akan menganggap Rean malah naksir aku. Tapi masa sih? Nggak mungkin! Dia belum tentu homo juga, kan?

Aku masuk ke dalam rumah nenek. Kebiasaan nenek selalu meninggalkan kunci rumah di bawah pot bunga, samping pintu. Aku menggerayangi bagian bawah pot dan menemukan kunci. Nenek pasti sedang pergi. Nggak tahu pergi ke mana, yang jelas nenek pasti pulang agak malam. Jujur, aku sedikit bersyukur dengan ini. Aku melangkah ke dapur, merebus air hangat untuk mengompres lebam dan juga memar di wajahku.

Ketika aku menatap cermin, aku baru menyadari kalau aku semakin kurus.

Iseng, aku mencoba menghidupkan HPku kembali. Beberapa bar sinyal muncul. Meski nggak full, namun ada! Aku mencoba melangkah dan menemukan tempat yang lebih banyak sinyal.

Di dekat kamar mandi. Oh, yeah!

Aku mencoba menghubungi Aldi, siapa tahu saja di sana ada sinyal. Dan benar saja, setelah itu tersambung.

"Ya? Ada sinyal?" Sapaan Aldi terdengar menyebalkan di telingaku.

"Di sini selalu ada."

"Posisi?"

"Atas pohon rambutan."

Aku tersenyum geli. Ternyata Aldi rela naik ke atas pohon rambutan demi mencari sinyal. Dia pasti sedang sibuk SMSan sekarang.

"Lalu kamu dimana?" Dia balas bertanya padaku.

"Deket kamar mandi."

"Ada apa? Kok suaranya nggak enak gitu? Kayak lagi merintih-merintih. Ngaku, kamu lagi apa?" Aldi berteriak kencang, membuatku wajahku makin nyeri.

"Nggak usah mikir kotor! Abis berantem sama si Rean tadi."

"Hah? Kok bisa?" Aldi bertanya menggebu. Aku bingung harus menjelaskan dari mana. Aku sudah terlanjur emosi tadi. Kok dia bisa menganggapku super murahan seperti ini! Lalu aku mulai menceritakan bagaimana cara dia datang, menatapku, dan bertanya dengan nada meremehkan.

"Aku lagi bingung gimana caranya bilang ke nenekku."

"Bilang jatuh juga nggak mungkin dipercaya."

"Aku harus jawab berantem, Al! Tapi bingung alasannya apaan."

"Tio..." Sebuah suara memanggilku. Aku menoleh spontan. Gawat, nenek sudah datang! Aku harus apa? Apa aku harus bercadar biar lebam ini nggak terlihat? Dengan gontai aku masuk ke dalam. Nenek masih sibuk mengeluarkan sesuatu dari kantong kresek tanpa menoleh ke arahku.

Bus BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang