Dua belas: Mulai Terasa

11.9K 1.3K 384
                                    


            "Aldi alay dan Faris gay." Rean mendengus.

Jujur saja, aku sudah lelah kalau untuk membahas masalah ini. Aku nggak terlalu tertarik membahas masalah selera orang dalam bercinta. Aku hanya berharap mereka paham kalau aku nggak ingin ikut campur, jadi sama saja. Jangan pernah mencampuri urusanku juga!

"Aku nggak peduli. Mau mereka alay, mau mereka gay, mau mereka transgender sekalipun aku nggak peduli. Selama mereka baik, aku juga harus baik."

"Aku juga nggak paham kenapa aku harus ngomong ini!" Rean menjambak rambutnya.

"Kita udah bahas berkali-kali."

"Ya, dan aku nggak bosan buat bahas ini lagi."

"Emangnya kenapa? Aku bingung, deh! Kalau emang aku yang ditaksir beneran sama gay dan orang alay emangnya apa urusanmu, Chi?" Mulutku lebih luwes menyebut nama Ochi sekarang. Rean menaikkan alisnya, nggak peduli dengan panggilanku.

"Jangan tanya aku!"

"Jadi, jangan atur aku!" Kali ini aku bersuara. Rean menatapku tajam, namun setelah itu ekspresinya berubah. Dia terlihat lelah dan mulai kecewa.

"Aku nggak suka!"

"Kenapa?"

Rean bungkam. Kadang meski aku sudah tahu, aku harus mendengarkan penjelasannya langsung. Aku nggak boleh menyimpulkan sendiri. Manusia diciptakan dengan dua bibir agar dia bisa bicara. Manusia diciptakan dengan dua telinga, di kanan dan di kiri. Agar ketika telinga kanan mendengar, telinga kiri nggak usah ikutan. Sayangnya manusia selalu saja mau tahu hal yang bukan urusannya. Kalau sekedar mau tahu sih oke, lah! Kalau ikut campur itu malah yang menjijikkan.

"Aku nggak suka ya nggak suka! Emangnya kalau nggak suka harus ada alasan?!" Rean marah mendadak. Kalau saja aku punya penyakit jantung, mungkin aku sudah teronggok binal di tempat ini.

"Ya nggak usah nyolot gitu, kali! Aku nggak terlalu peduli dengan pemikiranmu yang rumit itu, Chi. Aku nggak ada urusan sama sekali!"

"Kok gitu?" Rean masih saja melotot nggak terima. Mungkin dia pikir aku harus mendengarkan dia bicara dan menurutinya. Maaf, aku nggak sanggup kalau harus begitu!

"Aku harus gimana emangnya?"

"Kamu..." Rean menunjukku. "Udah, ah! Males banget ngomong sama kamu!!" Rean berteriak gusar.

Detik pertama, aku melongo.

Detik kedua, aku mengerjap.

Barulah di detik kelima aku mendengus nggak terima.

"Emangnya yang mau ngomong sama situ siapa?!! Dari kemaren-kemaren juga kita nggak ada urusan!!" Aku berteriak, menunjuk wajahnya dengan ekspresi kesal. Rean berbalik dan memutuskan untuk pergi. Aku juga sama. Kami pergi berlawanan arah. Mirip di film-film india, ya?

***

Kami beneran nggak ngomong sama sekali. Seharian ini Rean ngamuk-ngamuk di kelas. Cowok-cowok lain juga kena batunya. Mereka yang bikin gara-gara padanya pasti akan terdampar di pojokan dan terikat. Bukan hanya itu, mendekat saja sudah dipelototi oleh Rean.

Aku? Aku ngapain?

Kenapa aku harus peduli?

Aku masih merasa masa bodoh dengan apa yang dia lakukan. Aku nggak punya waktu untuk mengenali keanehan murid-murid di sini. Ayah dan ibuku menelpon terkadang ke rumah nenek. Meski nggak ada sinyal HP, namun tiang telepon masih sempat dipasang walau itu hanya di beberapa daerah saja.

Bus BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang