[10]

6.7K 399 32
                                    

"Kira-kira berapa lama sampai operasi itu bisa dilaksanakan?"

Seorang pria dengan setelan seragam putihnya mendongak dari berkas-berkasnya. Ia menghela napas panjang dan melepas kacamatanya, "Aku tidak bisa memastikan itu, Nick. Semua tergantung pada pendonor yang ada. Yang pasti aku akan menghubungimu apabila aku sudah mendapatkan pendonor mata yang cocok untuknya."

Nick diam sejenak, "Baiklah. Kupercayakan semuanya padamu."

Pria yang menjabat sebagai spesialis bedah mata sekaligus teman semasa SMA-nya itu tersenyum tulus, kemudian mengangguk.

"Kalau begitu aku pergi dulu. Aku harus kembali ke kantor, " Nick berdiri dari duduknya, "terima kasih atas segala bantuannya, Emir."

"Sudah menjadi tugasku, Nick."

Setelah keduanya saling berjabat tangan dan berpamitan ala pria, Nick pun keluar dari ruangan itu. Ia sempat tersenyum hormat pada asisten pribadi Emir yang sedang duduk di meja kerjanya di luar ruangan Emir, kemudian berjalan menyusuri lorong dengan langkah pelan. Pikirannya melayang pada kejadian tadi pagi.

Tadi sebelum berangkat, ia sempat melihat Claude yang sedang merenung di depan jendela apartemennya menghadap jalanan.

"Claude.."

Claude menoleh dan tersenyum kecil atas panggilan lirih dari Nick.

"Kau sedang apa?"

Claude berdehem, "Hanya sedang menikmati semilir angin saja."

Nick mengangkat satu alisnya. Ia kemudian sedikit mendekatkan tubuhnya pada Claude dan ikut menghadap pada jalanan yang tengah lengang.

"Apa kau pernah merasa Tuhan berlaku tidak adil padamu?"

Claude tersentak dan mendongak menghadap wajah dari tubuh yang menjulang tinggi di sampingnya.

"Maksudku -- apa kau pernah menyalahkan Tuhan atas semua yang telah terjadi padamu? Kau kehilangan orang tuamu, kau kehilangan penglihatanmu, kau kehilangan..." Nick berdehem, "kau kehilangan kebahagianmu. Maksudku -- kau bisa saja berkata kau masih bisa merasakan kebahagiaan meskipun dalam keadaan seperti ini. Tapi, aku yakin kebahagiaan itu tak lagi sama. Kehangatan, kepercayaan, bahkan mimpi. Kau pernah cerita kau memiliki cita-cita, kau memiliki mimpi, tapi kau merasa mimpi-mimpi itu sudah tidak bisa diraih lagi. Bahkan untuk memikirkannya saja aku yakin kau enggan. Lalu, apa kau masih bisa merasakan kebahagiaan, Claude? Apa kau...masih bisa menganggap bahwa Tuhan itu adil?"

Claude tersenyum. Senyuman yang begitu menghangatkan dan tidak tersirat rasa sakit sedikitpun di dalamnya.

"Ya. Aku pernah menganggap Tuhan tidak adil padaku. Munafik kalau aku tidak mau mengakuinya. Bahkan beberapa orang yang berada di titik tersulit, pasti dalam pikirannya juga pernah terbesit bahwa Tuhan tidak adil padanya. Apa aku pernah bercerita bagaimana pertemuan pertamaku dengan Reynold?"

Nick mengerutkan alisnya karena pertanyaan Claude yang tiba-tiba menyimpang dari pembicaran mereka sebelumnya. Namun tak urung ia tetap menggelengkan kepalanya pelan.

"Saat itu aku sedang berada di ambang keputusasaan. Aku sudah benar-benar putus asa akan segalanya. Yang kuinginkan hanyalah lenyap dari segala penderitaanku. Aku mencoba menyerahkan nyawaku dengan berdiri di depan mobil yang sedang melaju kencang. Namun sayangnya, mobil itu malah menghindariku dan berakhir dengan istri sang pengemudi yang kritis karena luka parah."

Nick mengerutkan alisnya sambil sedikit meringis ngeri mendengarkan cerita itu.

"Pengemudi itu adalah Reynold. Dan yang kritis adalah Bella, istrinya."

How It EndsWhere stories live. Discover now