Empat belas ( revisi )

4.9K 467 1
                                    

*Thanks 4 view, read, vote n I'm waiting 4 comment this far he he he*

____________________________________

"Apa kalian mau menikah?"

Kak Han bersuara keras menanggapi keterkejutannya.

Aku menegang tidak percaya Pak Seta langsung bicara di depan keluarganya dan Kak Han.

"Seta kamu tidak main - main?" tanya Ibu Asti bingung.

"Kami tidak main - main," jawab Pak Seta masih dengan memeluk pundak ku.

"Kalau begitu kapan waktunya kita melamar ke keluarganya?" itu adalah suara Pak Purba yang sepertinya senang dengan berita ini.

"Secepatnya, bukan begitu sayang?" kata Pak Seta sambil tersenyum padaku.

Entah bagaimana sekarang, justru aku merasa menjadi korban dari permainanku sendiri.

Aku hanya mengangguk sambil memaksakan senyum terbaikku.

"Seta, ini adalah kado ulang tahun Ayah paling indah," kata Pak Purba dengan binaran di matanya.

"Ibu setuju, kado terbaik yang Ayah terima," Ibu Asti bicara tidak kalah antusiasnya.

Aku hanya tersenyum kikuk, ingin rasanya membenamkan diri ini ke dalam palung laut yang terdalam, aku merasa bersalah karena mempermainkan perasaan kedua orang tua itu.

"Sudah malam kami pamit," aku berkata canggung dengan situasi ini.

"Seta kamu antar calon isterimu sana!" perintah Ibu Asti.

"Tidak usah Bu, aku searah dengan Emily jadi biar aku antar sampai apartemennya," sela Kak Han.

"Iya Bu, saya biar sama Kak Han saja," kataku mendukung.

Setelah berpamitan aku berjalan cepat keluar rumah, ingin segera menetralisir tubuh dan otakku.

Sebelum tanganku menyentuh pintu mobil, sebuah tangan menarikku balik sehingga aku terhuyung, sebelum jatuh tanpa sadar aku sudah berada di pelukan hangat dan begitu mendongak sosok Pak Seta begitu dekat wajahnya dengan wajahku.

"Kau pergi tanpa pamitan padaku?" tanya Pak Seta padaku.

Aku hanya terdiam, susah sekali menggerakkan bibir apalagi badanku.

"A.... ku...." lidahku begitu kelu, entah mengapa.

"Kau gugup, apakah pelukanku membuatmu nyaman?" tanya Pak Seta sambil menarik kepalaku untuk merebahkan di dada bidangnya dan untuk sesaat ku pejamkan mata.

"Sampai kapan kalian bermesraan?" itu suara ketus Kak Han.

"Mengganggu saja," dengus Pak Seta kesal.

Aku lalu tersadar dan menarik diriku menjauh. Tapi Pak Seta menahannya, setelah mencuri ciuman sekilas di bibirku, ia melepasku.

"Hati - hati di jalan," kata Pak Seta sambil membukakan pintu mobil untuk ku, sedang aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis.

"Yang lagi kasmaran, ada pria tampan di sebelah masih saja menengok ke belakang," Kak Han bersuara dengan nada kesal.

"Kak Han apa - apaan sich?" belaku sambil menggelengkan kepala.

"Kau benar - benar mau menikah dengan Seta?" tanyanya tidak percaya.

"Kenapa, Kakak tidak percaya atau meragukanku?" jawabku.

"Em, pernikahan bukan mainan, pernikahan itu sakral, aku tidak mau kalian saling menyakiti satu sama lain," terangnya berat.

"Sebenarnya siapa yang Kakak kuatirkan?"

Aku lirik mukanya yang tampak serius, entah karena ucapanku atau karena jalan yang kami lalui.

"Tentu saja kalian berdua," jawabnya tambah kesal

"Yang aku lihat, Kakak sangat kuatir dengan Pak Seta," penasaran akhirnya ku keluarkan juga.

"Aku sangat mengenalmu Em, obsesimu menyakitimu, dan pasti akan menyakiti Seta, bahkan Ayah dan Ibu," terang Kak Seta sambil menghembuskan nafas.

Aku terdiam, sebenarnya apa keinginanku, disisi lain aku senang tapi sisi yang lainnya aku merasa bersalah.

"Semuanya akan baik - baik saja, Kak Han tidak perlu khawatir," jawabku pelan.

"Cintailah Seta!" serunya.

"Apa....." kataku kaget.

"Cintai Seta, dia pria yang baik, apalagi aku tidak suka Ayah dan Ibu terluka, aku begitu sedih karena melihat hubungan semu kalian!" kata Kak Han pelan.

Untuk sesaat kami terdiam hanya melihat lalu lintas di depan mobil.

Pikiran kami mengembara entah kemana, tenggelam dengan semua yang ada.

"Kak Han tidak perlu khawatir, tidak akan ada yang akan tersakiti," kataku akhirnya.

"Semoga, apa kamu sudah beritahu keluargamu tentang rencana pernikahan mu?" tanya Kak Han sambil melihatku sekilas.

"Tidak, tidak akan, maksudku belum," jawabku gugup.

"Em, lupakan obsesimu untuk balas dendam, apa salahnya Seta padamu, tidak semua pria seperti dalam pikiranmu?"

Kak Han berkata sambil sesekali menghembuskan nafas.

"Aku tidak memandang Pak Seta
seperti itu, aku harap bisa mempercayainya," jawabku ragu.

"Apa kamu nyaman bersamanya atau kamu suka Seta?" Kak Han melirikku sekilas.

"Aku nyaman dan merasa terlindungi, tapi suka.....
aku tidak tahu," kataku pelan.

"Bagus artinya sedikit demi sedikit kamu bisa menyukainya dan kemudian mencintainya," kata Kak Han mengangguk - anggukkan kepala seperti mengerti pikiranku.

"Entahlah Kak, aku takut," kataku dengan air mata yang mulai mengambang di pelupuk mataku.

"Kamu berhak bahagia, aku jamin Seta bisa mewujudkannya dan lagi tampaknya dia menyukaimu," senyum mengembang di wajah Kak Han.

" Ha ha ha, bagaimana Kakak tahu, belajar jadi cenayang, " kataku sambil tertawa getir.

"Percaya padaku Em," Kak Han ikut tertawa.

"Percaya itu pada Tuhan, bukan pada Kakak."

Kami akhirnya tertawa bersamaan, sedang mobil membelah jalanan yang tidak pernah sepi.

******
Jangan lupa juga lihat lapak sebelah cerita yang lain.

" Wahrheit "

Thx 4 everything.
:)

The Scorpion Lady (Completed)Where stories live. Discover now