Dua puluh empat

2.9K 293 15
                                    

Mungkin kalian akan mengatakan aku pengecut, karena lari dari masalah, tapi aku harus apa.

Berharap tidak ada yang terjadi, sedang di video itu aku melihat Lana begitu bernafsu melahap bibir Seta.

Mungkin berikutnya wanita ular itu akan memperkosanya, mungkinkah.

Aku pergi karena tidak bisa melihat wajah Seta, membayangkan apa yang dilakukan wanita itu membuat ku, kesal, marah, ingin sekali menumpahkan rasa yang menyesakkan dada

Keheningan di dalam mobil yang di kendarai Ayah menuju bandara seakan diciptakan untuk ku, untuk mendukung kegalauan hati ku.

Apa aku bisa memaafkannya kalau sampai wanita itu berhasil meniduri Seta.

Kenapa dia tidak pergi saja ketika melihat wanita ular itu.

Bukan takut, untuk jaga - jaga, wanita itu punya banyak akal dan tipu muslihat.

Dan apa yang ku perkirakan terjadi, wanita itu melakukannya lagi, menyakiti ku.

Sesampai di bandara, pesawat delay, seakan dunia tidak ingin membiarkan ku meninggalkan Seta.

Ponsel ku berdering, untuk apa Leon menelepon ku.

"Was ist los, Leon (Ada apa, Leon)?"

Aku bertanya dengan nada malas.

"Ini aku, Vania."

Ku kernyitkan dahi, ku jauhkan ponsel dari telinga dan melihat layar ponsel, benar nomer Leon.

"Ada apa, Va?'

"Kau masih di bandara, aku kira kau sudah berangkat?"

"Pesawatnya delay."

"Seta, dia tertidur di hotel ku, yang ada di Sudirman, karena Lana...."

"Aku tahu, tolong jaga dia!"

Aku segera memutuskan sambungan, tidak sanggup mendengar Vania melanjutkan kata - katanya.

Bimbang, bingung, serba salah, aku tidak tahu harus berbuat apa.

Aku melihat Ayah menatap kosong ke depan, sedang Ibu menekuri lantai, menyembunyikan kesedihannya.

Apa aku begitu pengecut, melarikan diri, padahal belum tentu Seta tidur dengan wanita itu.

Tapi bisa saja Seta ditiduri, tapi mana mungkin itu terjadi, disana ada Vania dan pasti ada Leon, pikiran gila apa lagi yang menghantui otak ku, ayolah berpikirlah logis.

Memang wanita banyak menggunakan otak kirinya, tapi otak kanan kan juga punya, kecuali tidak punya otak.

Setengah jam lagi aku harus check in, aku beranjak dari duduk dan meraih koper.

"Nak Em, apa kamu tetap mau pergi?"

"Ayah tahu Seta salah, tidak bisakah kamu jangan pergi, dengan kondisi kalut?"

"Ibu meminta maaf atas kesalahan Seta, dia pasti tidak sengaja, kasih dia kesempatan!"

"Ayah akan menghajarnya nanti, karena menyakiti mu."

Aku lelah, aku menatap kedua mertua ku yang saling bergantian memohon, perasaan bersalah menyelimuti ku.

Aku harus berani melawan ketakutan, yang selalu membuat rasa percaya pada lawan jenis selalu buruk.

Apapun yang terjadi, aku harus percaya bahwa Seta tidak bersalah, wanita ular itu yang bersalah.

Aku akan berusaha memaafkan, walau semua sudah tidak sama lagi.

Menautkan keping - keping kepercayaan yang telah hancur memang tidak mudah.

Emily Rose Hartono adalah wanita pemberani, bukan pengecut yang lari dari masalah.

Aku harus percaya, seperti Kak Han percaya bahwa Seta adalah yang terbaik untuk ku.

Sudah cukup dulu aku memaafkan wanita itu, aku akan pastikan dia tidak mengganggu ku dan orang - orang di sekitar ku.

"Kita pulang Yah, Bu!"

Mereka masih mencerna apa yang aku katakan, begitu tersadar Ibu langsung memeluk ku dan menangis, sedang Ayah tersenyum lega.

Ayah segera meraih koper dan menghela kami ke parkiran.

Ibu berkali - kali mengucapkan syukur dan mengelus punggung ku.

Melihat kelegaan di wajah mereka, membuat relung di dada ku tidak sesak lagi, seperti kelegaan mereka, aku bisa menatap masa depan lebih baik lagi.

Jalanan sepi, tapi hati ku tidak sepi lagi, senyum terlukis di wajah ku.

Yang ada sekarang, aku ingin segera bertemu dengan suami ku.

Wajah ku merona di kala hati menyebut Seta sebagai suami.

"Ya benar, saya sendiri, saya akan segera kesana."

Ayah menerima telepon setelah menepikan mobil, ia melirik ku dari spion dan aku tahu ada yang tidak beres.

"Ada apa Yah?"

Aku begitu tidak sabar, ingin tahu apa yang terjadi.

"Kita ke suatu tempat dulu."

Ayah berkata setelah membuang napas, setelah itu menghidupkan mobil, melaju, membelah tol dalam kepekatan malam.

Perasaan ku menjadi tidak enak dengan ekspresi Ayah yang berubah tegang.

"Ayah kemana kita?"

"Sabar ya, Em!"

"Tapi Em, ingin ketemu Mas Seta."

"Nanti, ia baik - baik saja."

Aku semakin curiga, begitu mobil di belokkan ke arah gerbang sebuah rumah sakit.

"Ayah, kenapa kita kesini, jangan bilang........"

Entah mengapa perasaan tidak enak yang sejak tadi ku rasakan semakin membuat ku takut.

"Ayo, turun!"

Ibu yang sejak tadi diam, seakan juga merasakan hal yang sama dengan ku.

Kami tiba di lobby dan ayah langsung bertanya ke bagian informasi.

"Seta, Turangga Seta."

"Ayah."

Itu suara Ibu yang bertanya tidak percaya, lalu terisak, Ayah langsung memeluknya, mengelus perlahan punggung Ibu, menenangkannya.

Hanya air mata yang bisa keluar sedang bibir ku tidak kuasa mengeluarkan kata.

Dengan linglung, mengikuti Ayah dan Ibu menuju lift, sesekali Ayah menoleh kepada ku.

Pikiran ku tidak menentu, otak tidak bisa berfungsi.

Bagaimana keadaan Seta, bagaimana keadaan ayah dari anak yang ku kandung.

Apakah ia baik - baik saja, atau tidak, ya Tuhan, jangan jadikan pikiran negatif ku terjadi.

Bagaimana kalau ia koma, cacat, apapun itu, aku akan bersama dengan dia, aku berjanji.

Aku tidak akan lari lagi, apapun masalah di antara kita, aku akan selalu menemani mu.

Ya Tuhan, selamatkan suami ku, karena aku sungguh mencintainya, karena aku belum menjadi isteri yang baik baginya.

____________________________________

Thx 4 view, vote n comment.

Ich liebe dich, I luv u.


The Scorpion Lady (Completed)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz