Part 10

31.1K 3.5K 141
                                    

Semua orang tentu pernah bermimpi untuk bahagia termasuk dalam kehidupan percintaan. Berpisah dengan pasangan dalam keadaan masih diliputi cinta yang besar bukan sesuatu yang mudah. Tetapi terkadang kenyataan pahit harus rela ditelan, mengorbankan rasa yang ada untuk membuktikan cinta itu sendiri.

Aku tidak minta dikasihani, semengenaskan apapun jalan yang ditempuh. Apa yang terjadi adalah suratan takdir. Tidak mudah dan memang tidak akan pernah mudah hidup dengan bayang-bayang dirinya. Tapi ini keputusan terbaik untuk aku dan Priya meskipun

"Hei, Dam. Melamun aja, sudah selesai beres-beresnya?" Membuka pintu kamarku.

Enam tahun sudah aku meninggalkan kota penuh kenangan ini. Membangun harapan baru dari titik nol. Perasaan bersalah menghantui Mimih, dia merasa kemalangan yang menimpaku karena tidak cukup kuat menjagaku. Sedikit demi sedikit, kepedihan menggerogoti tubuhnya hingga kesehatannya menurun.

Puncaknya aku harus berbesar hati kehilangan sosok yang selama ini menjadi pengganti orang tua. Pelindung sekaligus penyemangat disaat diri berada dalam kondisi terpuruk. Dua tahun sebelum kepergiannya, Mimih sering melamun, bergumam tidak jelas sepanjang hari.

Kepindahan ke kota lain membuatku terpaksa harus berhenti kuliah dan memulai mencari kampus yang biayanya relatif terjangkau untuk keuangan. Hasil penjualan rumah tidak seberapa karena di memang butuh uang cepat, itupun harus di potong hutang pada lintah darat.

Untuk menyiasati kebutuhan sehari-hari, aku bekerja di pagi hari dan kuliah saat malam. Mimih sendiri kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru. Dia lebih banyak berada di dalam rumah yang kami kontrak.

Keberuntungan mulai berpihak ketika lamaran pekerjaanku diterima sebuah perusahaan besar setelah lulus. Setahun berlalu, kehidupan kami mulai membaik tetapi tidak dengan kondisi Mimih. Terkadang aku khawatir harus meninggalkannya seorang diri dan harus menyewa orang untuk menjaganya saat bekerja. Sayang sekali sebulan setelah kepergiannya, aku justru dipindahkan ke kantor pusat yang berada di kota itu.

"Sudah, barang dan bajuku tidak banyak kok." Sebagian besar barang masih ada di rumah kontrakan. Aku baru saja memperpanjang masa sewa untuk setahun kedepan sebelum tau akan dipindahkan.

Meta, satu-satunya teman yang bisa dipercaya membantu kepindahanku. Dia mengetahui masalah yang terjadi padaku. Kami masih berkomunikasi meski terpisah jarak dan waktu. Dari dia sedikit banyak aku mengetahui perkembangan kehidupan Priya.

Gaharu menepati janjinya dengan mencabut laporan, tidak lagi mengusik kehidupan mantan kekasihku. Priya kembali melanjutkan kuliah dan hidupnya tanpa ingin dikaitkan lagi keberadaan diriku. Selain itu aku tidak ingin mendengar apa-apa lagi.

"Kita makan dulu yuk, aku tau tempat yang enak." Tawaran Meta tidak mungkin kutolak meskipun sebenarnya ingin melepas lelah di ranjang. Dia sudah susah payah mencarikan tempat kos disekitar kantorku yang baru disela-sela kesibukannya mengurus pernikahannya.
Kami menyusuri jalanan menggunakan sepeda motor milik Meta. Aku sulit menikmati pemandangan tanpa menghadirkan rasa perih. Sosok Priya muncul dalam ingatan dan aku tidak ingin terbuai dalam mimpi semu.

Tempat yang Meta tuju rupanya sebuah coffe shop. Dia bilang coffe shop ini cukup ramai di kunjungi anak muda. Bagiku kemanapun boleh selain mengunjungi tempat yang pernah aku dan Priya datangi.

"Lo suka ice chocolate kan, coba deh. Manisnya pas, nggak buat eneg. Blueberry cheese cake nya juga enak." Meta mendorong pesananku yang baru datang.

"Gue memang butuh yang kayak gini untuk mempermanis hidup yang sepet," candaku.

Meta tersenyum lirih, dia tau aku sedang menghibur diri. Kembali ke kota ini bukan sesuatu yang mudah. "Semua orang pantas untuk menikmati indahnya hidup, tidak terkecuali dirimu. Yakin deh, suatu hari ada orang yang mampu menjaga lo."

Jika (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang