Part 21

21.7K 3K 147
                                    

Aku membisu dalam kesunyian. Sendiri di ruangan sempit tanpa menyalakan lampu. Kepala tengah memutar jejak menakutkan karena kedatangan seseorang tadi. Dia yang pernah hadir sekaligus merusak tangga impianku menuju bahagia.

Ya, firasat itu rupanya benar. Dia  memang Gaharu. Teman satu kampus dulu.

Waktu hampir menunjukan pukul dua belas malam. Tubuhku masih bersandar pada dinding. Satu persatu ingatan mulai memutar rekaman pembicaraan kami tadi.

Sosok itu membuka tudung jaketnya. Aku terkesiap begitu melihat wajah di balik jaket. Tebakanku tidak meleset. Sosok yang pernah terlihat saat berkunjung ke rumah Machi ternyata Gaharu.

Dia banyak berubah. Kulitnya lebih gelap. Janggut tak terawat dibiarkan memenuhi wajah. Penampilannya sangat berbeda dengan Gaharu di masa lalu. Seingatnya, salah satu mahasiswa populer di kampus itu selalu rapih. Sekarang laki-laki di hadapanku memakai kaus kumal warna merah dan jeans belel. Kakinya pun hanya sandal dengan model paling sederhana.

"Darimana kamu tahu tempat tinggalku? Untuk apa kamu datang?" Kesadaran pulih setelah sekian menit terdiam.

"Kamu dan Priya masih bersama?" Gaharu seperti sengaja mengabaikan keingintahuanku.

"Kamu keberatan atau berniat membongkar lagi aib lama keluarganya?" Emosi sontak menyala. Permainan kotornya membuatku muak.

"Tidak, itu sudah jadi cerita lalu." Sikap Gaharu terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja ditemui dan mempunyai kebencian padanya. "Kedatanganku khusus menemuimu. Aku ingin mengucapkan senang bertemu denganmu lagi."

"Jadi maksudmu, kamu susah payah menemuiku hanya untuk bilang halo?"

Tawa Gaharu memenuhi udara. Sekilas nadanya terdengar getir. Pandangannya sesaat beralih ke arah lain. Pada rimbunnya pepohonan di taman. Tangannya merogoh saku jaket, mengeluarkan secarik kertas lalu menyodorkannya padaku. "Ini nomor teleponku. Hubungi aku secepatnya."

Kutepis uluran tangannya dengan kasar. Ekspresi Gaharu bagai tak menyesali penderitaanku akibat perbuatannya menggurat kebencian di mataku. "Aku berharap ini pertemuan terakhir kita."

"Oh ya. Yakin kamu nggak berminat mengetahui siapa orang tuamu? Di mana keberadaan ayahmu?" Tangannya tidak lagi terulur namun kertas tadi masih berada di genggamannya.

Aku hampir tersedak ludah sendiri. Apa yang  Gaharu ketahui tentang orang tuaku. "Apa katamu tadi?" kataku setengah tak percaya.

Gaharu memakai kembali tudung jaketnya. Dia mengabaikan keterkejutanku. Dilewatinya diriku dan menaruh kertas tadi di meja teras. Tubuhnya lalu  berbalik menuju pagar. "Semua pilihan ada di tanganmu. Aku nggak akan memaksa kamu mengambil keputusan atau percaya. Lagi pula ini hidupmu bukan hidupku." Sosok bertubuh tinggi itu tersamar oleh derai hujan kala langit mulai gelap.

Kulirik meja teras. Pertanyaan besar menggantung di benak saat menatap kertas tadi. Setelah bertahun-tahun menghilang, alasan apa yang membawa Gaharu mengusik ketenanganku. Kemunculannya membuatku bingung setengah mati. Dia bahkan belum menjelaskan darimana tahu alamat tempat tinggalku.

Kepala terasa pusing. Berpikir berulang kali pun tidak juga menemukan jalan keluar. Semua terjadi terlalu tiba-tiba. Sesak melanda ketika membayangkan informasi Gaharu tentang asal usulku. Debar jantung perlahan berdegub tanpa irama. Antusias tanpa dasar mengalir seperti keringat dingin yang muncul di telapak tangan. Kemungkinan tindakan Gaharu hanya ingin mengelabuiku bukan sesuatu yang mustahil. Tapi dari dasar hati terdalam, sekali ini aku ingin percaya. Bila keajaiban itu ada, bila orang tuaku masih bernapas, aku ingin bertanya kenapa mereka memilih melepaskan kesempatan untuk membesarkanku. Apa salahku?

Jika (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang