6. Gombalan Maut

7.5K 673 197
                                    

Yang kurasakan saat ini, seperti ada yang menusuk tepat ke dalam hatiku. Rasanya ... kenapa bisa sampai seperih ini?

"Gu-gue salah ngomong?" Aku menatapnya ragu.

Kenapa rasanya sangat sakit ketika melihat senyum yang biasanya begitu manis kini berubah menjadi senyum penuh kekecewaan?

"Lo tau, gak? Lo mirip banget kayak dia. Dia, perempuan yang paling gue sayang, perempuan yang udah pergi dari dunia bertahun-tahun yang lalu. Lo ngingetin gue dengan dia," ucap Vegi sedih.

"Dia? Dia siapa? Mantan pacarnya, kah? Gue disama-samain?"

Vegi menggelengkan kepalanya, seperti dia bisa mengetahui isi pikiranku. "Bukan. Dia bukan mantan pacar gue. Tapi, dia adik perempuan gue. Adik gue satu-satunya. Adik kesayangan gue."

Aku membulatkan mataku. Bukankah Vegi anak tunggal?

"Lo pu-punya adik? Kok gue baru tau?"

"Karena lo ga pernah mau cari tau soal hidup gue. Ya, kan? Emang ga banyak orang tau gue punya saudara. Namanya Lista. Diambil dari kata light star. Sama seperti namanya, dia selalu ceria," ucap Vegi dengan mata menerawang.

Aku bungkam. Sebelum akhirnya, dia kembali berbicara. "Lo mau tau kenapa gue bilang lo mirip kayak Lista?" Aku menganggukkan kepala pelan menjawab pertanyaannya. Sekarang aku merasa bukan hanya sekedar ingin tau ataupun iba. Aku ...

Peduli.

"Lista sama gue itu beda enam tahun. Dia anak yang periang, suka tebar senyum, dan yang paling penting ... dia ngga pernah berbagi kesedihannya kepada siapapun. Selama bertahun-tahun dia nyembunyiin penyakitnya. Gue emang sering liat muka dia pucet, tapi dia selalu bilang kalau dia cuma kecapekan. Bodohnya gue, karena percaya gitu aja. Sampai akhirnya, empat tahun yang lalu, Lista pergi ninggalin kami semua, dengan penyakit kanker otak yang dia derita. Lista meninggal di umurnya yang masih tujuh tahun."

Vegi menatapku. Tepat ke dalam bola mataku. Ada begitu banyak kesedihan yang dia simpan sejak dulu. Begitu banyak beban yang mungkin dia pikul sejak dulu. Sedetik kemudian, Vegi meneteskan air matanya. Aku tidak tahan lagi. Biarkan aku mengambil jalanku sendiri.

Aku menarik Vegi ke dalam dekapanku. Aku memeluknya. Memeluk erat untuk dapat merasakan sakit yang dia rasakan saat ini. Ini murni kemauan hatiku, bukan hanya sekedar rasa kasihan.

"Lo selalu ada di saat gue butuh seseorang. Sekarang giliran gue. Biarin gue yang jadi sandaran untuk lo. Karena lo ngga sendirian. Ada gue di sini. Di sisi lo," ucapku padanya. Aku mengusap-usap punggungnya lembut.

"Gue bego, ya? Gue ga becus jagain adik gue sendiri. Gue gagal sebagai seorang kakak. Gue sayang banget sama dia. Gue nyesel. Gue mau dia balik lagi. Gue kangen senyum dia, gue kangen tingkahnya yang bikin gue gemes. Gue kangen dia. Gue kangen adik gue, Lista."

Dia benar-benar menyesal. Menyesal begitu dalam. Menyesal karena telah kehilangan seseorang yang sangat dia sayang. Aku bisa merasakannya. Aku bisa merasakan kehancuran hatinya akibat penyesalan.

"Dia udah tenang. Adik lo udah bahagia di sisi Tuhan. Jangan tangisin dia. Lo ga mau kan, adik lo di sana gelisah karena lo? Kalau lo sayang sama dia, lo bisa berdoa. Bales rasa penyesalan lo bukan dengan cara kayak gini. Jangan siksa diri lo sendiri. Lo bahagia, otomatis Lista juga bahagia."

Jemuran Zone Where stories live. Discover now