PART 3

11.4K 278 7
                                    

PART 3

“Keane… masakanku enak kan?” tanya Rara.

                “Ya…”

                “Tidak bisakah dari koki menjadi teman kencan?”

                Keane menyemburkan kopinya dan terbatuk-batuk.

                “Kau tidak apa-apa, Keane?” Rara menyodorkan segelas air putih hangat.

                Keane meneguk air putih yang disodorkan Rara. “Ya, aku baik-baik saja. Sepupu, sudah kubilang, aku bukan penggemar―”

                “…anak kecil… Tapi, Keane, apa salahnya kau mencoba untuk mau berkencan denganku?”

                “Masa kau tidak tahu seleraku? Kau sudah di sini selama dua bulan kan? Aku suka wanita berdada besar, langsing, pinggul besar, cantik, bibir seksi, dan… yang pasti bukan anak kecil.”

                “Da… dadaku cukup besar, dan―”

                “Cukup, sepupu! Jangan macam-macam. Besok adalah hari pertamamu kuliah. Memangnya selama OSPEK tiga hari kemarin tidak ada pria yang kausukai?”

                “Aku tidak bisa memilih orang yang kusukai ataupun kucintai. Cinta yang memilih, Keane.”

                “Tahu apa anak kecil sepertimu tentang cinta? Sudah, aku mau tidur.”

***

Rara mencuci piring sambil menangis.

                “Apakah Keane yang membuatmu menangis?”

                Rara terisak. “Apakah aku tidak seksi, Luck?”

                Lucky berdeham. “Sebenarnya kau seksi, kau tahu… hanya saja baju yang kaukenakan selalu longgar. Entah sampai kapan Keane akan keras kepala dengan mengatakan bahwa ia tidak menyukai anak kecil.” Lucky bertolak pinggang. “Tapi Ra, Keane itu peduli padamu, kok. Ini rahasia, tapi aku akan memberitahukannya padamu. Yang membantumu untuk mengumpulkan perlengkapan OSPEK hari kedua dan ketiga itu bukan aku, tapi Keane. Dia menyuruhku untuk tutup mulut…”

                Rara menatap Lucky dengan mata berbinar. “Benarkah?”

                “Ya, kakakku selalu begitu untuk orang yang disayanginya. Berusaha membantu dengan sekuat tenaganya,” jelas Lucky.

                “Berarti dia menganggapku saudaranya… hanya itu?”

                “Untuk sementara, kurasa begitu, Ra.”

                “Tapi aku takkan menyerah!”

***

Sebulan kemudian Keane pergi dinas ke luar kota, dan baru pulang tiga hari kemudian.

                “Keane, aku melihat mobilmu di luar. Kau pulang semalam? Boleh aku masuk?” Rara membuka pintu kamar Keane dan menyalakan lampu. “Selamat pagi, Keane. Kau mau sarapan apa, Keane? Baru jam delapan, sih, tapi aku ingin kita sarapan bersama―”

                “Silau… matikan lampunya, sepupu… hai, pagi…”

                Tubuh Rara menegang. “Apakah… teman kencanmu… mau ikut sarapan?”

                “Teman…?” Keane menoleh ke sampingnya. “Honey, bangunlah. Kau mau sarapan?”

                Wanita di sebelah Keane membuka matanya dan ia terkejut mendapati Rara di kamar Keane. Ia menarik selimutnya untuk menutupi tubuh telanjangnya. “Siapa dia, Honey?”

                “Dia sepupuku, Rara. Ra, kenalkan, ini Marie, rekan kerjaku dari kantor cabang.”

                Rara berbalik. “Aku… akan menyiapkan sarapan.” Rara berusaha agar suaranya tidak  bergetar. Lalu ia menutup pintu kamar Keane dengan keras.

                “Ada apa dengannya? Dia cemburu?” Marie menggosok matanya.

                “Bukan urusanmu. Sekarang, kembalilah ke hotel.”

                “Apa? Semalam jam satu kau menarikku ke sini. Setelah kita bercinta, pagi-pagi aku bermaksud untuk ke hotel tapi kau bersikeras menahanku. Dan sekarang kau mengusirku begitu saja? Aku belum sarapan.”

                “Percayalah, kau takkan menyukai tumis kangkung.”

                “Tumis kangkung?”

                “Aku akan berikan ongkos taksi.”

                “Baiklah, sabar, aku akan pergi. Kapan kita bertemu lagi?” Marie mengenakan pakaiannya.

                Keane memberikan ongkos taksi tapi Marie menolaknya. “Maaf, tidak ada yang berikutnya, Nona.”

                “Tidak, Keane. Kau sangat hebat dan―”

                “Setelah ini kita hanya rekan kerja, seperti sebelumnya. Kau tahu kan, bahwa teman kencanku selalu berbeda. Terima kasih untuk semuanya. Bye, Nona.” Keane menutup pintu rumah setelah mengantarkan Marie ke depan rumah untuk mencari taksi. Ia menghela napas lalu pergi ke ruang makan yang menyatu dengan dapur. “Kau masak apa, sepupu Rara?”

                “Roti bakar dan telur mata sapi.”

                “Tidak ada sop jamur atau tumis kangkung? Atau acar ikan?”

                Rara yang memunggungi Keane berusaha menahan air matanya yang ingin menyerbu keluar lagi. Ia mencoba agar suaranya terdengar ceria. “Marie takkan menyukai masakan itu, Keane.”

                “Marie sudah pulang. Dia bilang akan sarapan di hotel.”

                “Apa? Kau… tidak mengantarnya?”

                Keane berdeham. “Tidak, sepupu. Aku masih punya banyak teman kencan lain yang perlu kuurus.”

                Rara berbalik dan dengan cepat menghampiri Keane. Ia mencengkeram bagian depan kemeja Keane yang tidak terkancing. “Jadikan aku teman kencanmu, kumohon.”

                “Tidak.”

                “Hanya teman kencan, Keane. Aku tidak minta kau untuk menjadi pacarku atau mencintaiku. A… aku hanya ingin kau memelukku…”

                “Hentikan, Rara… aku tidak bergairah dengan anak kecil sepertimu…”

                “Benarkah begitu?” Rara mundur beberapa langkah. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menghitung sampai tiga. Dengan cepat Rara melepas kaos dan bra-nya. “Apa kau tidak bergairah…?”

                Keane mengepalkan tangannya, berusaha untuk tetap tenang. Ia memandangi tubuh bagian atas Rara yang telanjang.

                Putih, bersih, dan langsing. Tapi kini memerah dan bergetar. Pundaknya yang kecil gemetar minta dipeluk. Bibirnya yang mungil dan merah muda sedikit membuka, menunggu ciuman Keane.

                Dengan perlahan Keane mulai mendekati Rara.

***

HELL AND HEAVENWhere stories live. Discover now