1. (Bukan) Pernikahan Impian

49.3K 3.8K 218
                                    


Selamat membaca :)

_______________________________________________


"Saya terima nikah dan kawinnya Revvina Celovia Sitta Auriga binti Zaroca Garandra Auriga dengan mas kawin tersebut tunai."

"Bagaimana saksi. Sah?"

"SAH."

"Alhamdulillah."

TIDAK SAH! TIDAK SAH!

Kalau bisa, pasti Revvina sudah berteriak kencang supaya pernikahan ini menjadi tidak sah. Namun, sudah pasti juga, dia akan dicoret dari daftar keluarga oleh orangtuanya. Langsung dicoret, tanpa kompromi.

Resmi menikah. Segala pemikiran untuk melarikan diri dari pernikahan ini buyar seketika. Revvina pasrah. Statusnya hari ini berubah drastis setelah lelaki di sampingnya menjabat tangan ayahnya. Dia sudah tidak lajang lagi, tetapi wanita bersuami. Status di KTP-nya pun sebentar lagi pasti berganti.

Selamat tinggal hidup bebas. Selamat tinggal status lajang, desahnya dalam hati.

Revvina mengerutkan kening. Sebuah punggung tangan kini melambai-lambai di depan matanya. Kode sekali kalau punggung tangan itu minta dijabat, lalu dikecup manja. Tapi bukan Revvina namanya kalau akan langsung bergerak menyambut tangan itu. Dia diam saja. Males gila cium tangan lelaki tidak dikenal. Eh... tapi lelaki itu suamiku sih, lagi-lagi dia bermonolog dalam hati.

Revvina menoleh ke samping, Maminya memberikan perintah lewat tatapan mata agar dia mencium punggung tangan itu. Karena takut dengan wanita yang telah melahirkannya, terpaksa Revvina mencium tangan lelaki yang baru saja resmi menjadi suaminya itu.

Segala prosesi berjalan cepat, mulai dari ritual mencium tangan suami, bertukar cincin, menandatangi buku nikah, dan lain sebagainya. Pakaian yang dikenakannya bahkan sudah berganti. Dan tahu-tahu saja, sekarang dirinya sudah berdiri di pelaminan.

Hari ini Revvina tampil mengagumkan dalam balutan gaun putih bertabur ribuan swarovski. Gaunnya mirip dengan yang dikenakan oleh artis terkenal itu. Berlebihan memang, tapi ini kemauan Maminya tercinta. Rambut panjangnya sengaja dibiarkan tergerai begitu saja di pundak, plus tiara yang bertengger di atas kepala, menambah aura kecantikan yang memang sudah tampak nyata.

"Lihat kakak iparmu, senyumnya sangat manis. Tidak seperti dirimu."

"Lah, Nina sih emang wajar kalo senyum manis. Dia nikahnya sama Abang, pacarnya dari jaman abege. Aku kan beda." Aku terpaksa.

Revvina merengut, menatap sebal pada lelaki di sebelahnya. Berani sekali lelaki itu mengatur bagaimana dia harus berekspresi. Mentang-mentang lelaki itu suaminya, lalu Revvina harus menurut, begitu?

Revvina kembali mendengus, entah sudah berapa kali dia melakukan hal itu. Ditatapnya lelaki yang berdiri dengan gagahnya di sebelahnya dengan sengit. Lelaki yang sejak tadi membuat gadis itu naik darah. Bagaimana pun juga, lelaki itu turut andil menjadikannya sebagai pengantin di pelaminan ini. Coba kalau lelaki itu tidak melamarnya, sekarang Revvina pasti sekarang sedang berkeliling sambil mencicipi makanan dan bukannya malah berdiri di pelaminan dengan sepatu berhak sepuluh sentimeter. Super menyebalkan!

"Senyum, Revvina, atau saya cium di sini sampai lemas."

Bukannya tersenyum, Revvina malah menghadiahi lelaki itu dengan pelototan mata. Beraninya lelaki itu mengancam dirinya. Apa katanya tadi? Cium? Memangnya dia berani?

Revvina mendesah. Baru satu jam, tapi kakinya sudah pegal sekali. Dia bahkan tidak bisa tersenyum dengan benar karena merasa lelah dengan semua rangkaian acara hari ini. Seharusnya, Abangnya yang tercinta itu saja yang menikah hari ini. Tidak seharusnya dia ikut dinikahkan juga.

Untung pernikahan ini tidak diliput oleh wartawan sehingga Revvina bisa berekspresi apapun yang ia mau. Coba kalau ada, sudah pasti dirinya harus memasang senyum terbaiknya sejak tadi.

Mata Revvina memindai seisi ruangan. Rivanno dan istrinya terlihat begitu bahagia, mata mereka berbinar-binar. Senyum tak pernah lepas dari bibir mereka. Tak ada ekspresi lelah sama sekali yang tampak pada wajah mereka. Padahal tamu undangan tak ada habisnya, sedari tadi masih saja bergiliran memberikan selamat kepada dua pasang pengantin di pelaminan.

Revvina kini beralih menatap orangtuanya yang juga memasang wajah bahagia kepada para tamu undangan. Senyum mereka secerah sinar mentari. Revvina hanya bisa geleng-geleng kepala, bagaimana bisa orangtua yang begitu disayanginya itu menjebaknya dalam pernikahan yang tidak ia inginkan begini.

Keterlaluan! Kejam!

Puas menatap kedua orangtuanya, kini Revvina kembali melirik lelaki yang berdiri tepat di sebelahnya. Lelaki berparas tampan itu tengah menebar senyum manis pada siapapun yang memberikan ucapan selamat. Lelaki disebelahnya... suaminya... oh benar, suaminya. Lelaki yang satu jam lalu menjabat tangan Papinya, mengambil alih segala hal atas dirinya sekarang adalah suaminya. Dan ia istri dari lelaki itu.

"Tidak bisakah kamu tersenyum, setidaknya hari ini saja."

Revvina kembali mendengus. Lelaki itu hanya bisa memerintah saja sedari tadi. Memangnya mudah tersenyum saat hati dirundung duka? Apa tadi katanya, hari ini saja? Lalu besok-besok? Dia tidak boleh tersenyum, begitu? Aneh sekali.

Lelaki itu memang suaminya, tetapi bukan berarti Revvina harus menuruti semua perkataan lelaki itu nantinya, kan?

Revvina menyemangati dirinya sendiri, kemudian memasang senyum terbaiknya. Tak ada yang akan tahu kalau ia adalah pengantin yang tengah berduka.

"Nah, itu baru cantik."

Sialan! Revvina rasanya malu sekali. Selayaknya perempuan lain, dia pasti merona jika dipuji cantik oleh orang lain, apalagi oleh seorang lelaki. Untunglah blush on di pipinya cukup tebal untuk menutupi rona merah itu. Kalau tidak, pasti lelaki di sebelahnya akan besar kepala dan menganggap Revvina menyukai lelaki itu.

Revvina sebenarnya tak habis pikir, dua minggu lalu ia masih sibuk membantu kakak kembarnya mempersiapkan pernikahan. Sibuk kesana kemari menemani calon kakak iparnya fitting baju dan mengecek catering. Namun tiba-tiba saja kedua orang tuanya memberikan kabar buruk padanya. Ingatan dua minggu lalu itu tidak bisa dia enyahkan begitu saja. Berawal dari kejadian dua minggu lalu dan sekarang dia jadi pengantin.

"Jangan memandangi saya terus. Nanti naksir. Itu ada yang mau salaman."

"Hah?"

Revvina mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali. Meski sedang melamun, namun ia mendengar dengan jelas apa yang diucapkan lelaki itu. Jadi dari tadi ia memandangi suaminya? Konyol sekali.

Revvina ingin menghilang secepat mungkin lalu menenggelamkan dirinya di rawa-rawa. Memalukan sekali dirinya. Tidak sadar memperhatikan seseorang dan orang itu malah menangkap basah dirinya.

Di depannya kini berdiri teman SMA yang juga merangkap sebagai sepupunya, Namira. Namira datang dengan calon suaminya. Senyum mengembang di bibir gadis yang tak lama lagi akan berdiri di pelaminan juga.

"Nggak nyangka gue, lo nikah sama dia. Jodoh emang nggak kemana. Selamat ya sist," bisiknya pelan lalu mengecup kedua pipi Revvina.

Dahi Revvina berkerut. Namira kenal dengan suaminya? Berbagai spekulasi kini saling beradu di pikirannya. Jangan-jangan, lelaki di sebelahnya memang 'orang itu'. Tetapi kenapa wajahnya berbeda? Apa dia operasi plastik? Revvina gila sendiri sekarang. Rasanya ia ingin berteriak keras-keras supaya lega. Namun dia bisa dikira gila dalam arti sebenarnya kalau berteriak di tengah pernikahannya sendiri.

Oke, tarik napas, embuskan. Revvina menyugesti dirinya sendiri agar tenang. Masih banyak tamu yang butuh disalami. Dia tidak boleh gila sekarang. Nanti, kalau resepsi selesai baru ia boleh berteriak sepuasnya.

Itupun kalau dirinya masih memiliki cukup tenaga.

***

Mau dilanjutkah ini? Haha

The Princess BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang