13

6.9K 243 31
                                    

Author's View

Terdengar derap langkah kaki seorang pria dengan gesture wajah britanish yang tengah berjalan tergesa-gesa. Sesekali ia melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya. Helaian rambut kehitamannya terlihat bergoyang diterpa angin yang berhembus cukup kencang. Ia mendegus kesal sembari memperbaiki letak tas gendongnya yang nampak merosot. Skandar. Ya, itulah nama pria berwajah britanish itu.
Skandar berhenti tepat di depan menara Eiffel yang menjadi kebanggan kota Paris. Setiap hari ia pergi kesana, berharap akan bertemu dengan cintanya, Eve. Meskipun sampai satu minggu lebih, ia tak berhasil bertemu dengan Eve, namun Skandar tak menyerah. Ia percaya tuhan akan menemukan Eve. Tunggu saja, sebentar lagi ia akan bertemu dengan Eve.
Skandar tak kehilangan akal, ia mengerahkan semua orang suruhannya untuk menggeledah kota Paris mencari keberadaan Eve. Bahkan ia sudah menyelundupkan satu orang suruhan kepercayaannya untuk menyelinap masuk kedalam rumah musuhnya -Justin Bieber- dengan menyamar menjadi seorang pelayan. Licik memang tapi mau bagaimana lagi. Cinta sudah membutakan segalanya dan membuat Skandar harus melakukan hal selicik itu untuk mendapatkan Eve kembali.
Skandar memandang menara Eiffel di depannya dengan tatapan nanar. Hatinya sudar terlanjur luka dan tak dapat disembuhkan. Ia sudah terlambat satu langkah, mungkin lebih. Orang yang dicintainya telah menjadi milik orang lain bukan milik dirinya. Skandar Keynes. "Aku akan mendapatkanmu kembali, apapun caranya" sebuah senyum melengkung sempurna, tercetak dalam wajah tampannya.
Drtdrtdrtrtrtrtrt......
Getaran iphone miliknya berhasil membuat lamunan Skandar buyar. Dengan malas, ia merogoh kantong celananya dan membuka pesan yang tertera pada layar iphone miliknya.
"Saya sudah mendapatkan alamat nona Eve, tuan muda"
Skandar tak dapat menahan senyumnya dan membuat mood Skandar kembali membaik. Akhirnya yang ia tunggu-tunggu, membuahkan hasil juga. Tak salah ia mengerahkan semua orang suruhannya. Dengan senyum yang masih terpajang dalam wajah tampannya, ia membalas pesan dari salah satu orang suruhnya.
"Bagus. Cepat kau kirimkan alamatnya"
Setelah selesai mengetik isi pesannya, Skandar memencek tombol 'send' dan memasukkan iphonenya kembali. "Kita akan bertemu kembali lagi, Eve"
(((

Terlihat seorang wanita tengah berdansa mengikuti alunan musik yang terdengar di sebuah bar. Sesekali wanita itu nampak meneguk minuman yang berada di dalam genggamannya. Pria yang berada disampingnya hanya menggelengkan kepalanya menatap sahabatnya tengah mabuk berat memikirkan mantan pacarnya yang jelas-jelas sudah ia campakkan dulu. Aneh memang, sangat aneh malah. Cinta memang bisa membutakan siapa saja yang telah mengidap syndrome cinta akut.
"Sudahlah Sel, tak ada gunanya kau seperti ini. Justin sudah mempunyai istri dan tentunya ia sangat mencintai istrinya" ucap pria di sebelah wanita yang tengah mabuk berat itu memberi sebuah nasehat untuk sahabatnya yang terlihat seperti orang gila.
"Justy-" Gurau wanita itu dengan tubuh yang sempoyongan. Matanya nampak sayu dan penglihatannya terlihat agak kabur. Dengan langkah terhuyung ia melangkah mendekati sahabatnya dan mengalungkan kedua tangannya pada leher sahabat laki-lakinya.
Pria berambut pirang itu Nampak terkejut, namun ia tak melepaskan kedua tangan sahabtnya yang tengah bertengger di lehernya. "Selena kau-"
Tak sempat laki-laki itu melanjutkan perkataannya, mulutnya telah dibungkam oleh wanita berambut hitam didepannya -Selena-. Dengan lembut ia mendorong tubuh Selena menjauh darinya dan menatap wanita yang selama ini ia cintai. "Sel, aku bukan Justin tapi aku Cody" lirih pria berambut pirang itu -Cody- menatap sendu wanita didepannya.
"Maaf-" lirih Selena merasa bersalah telah mencium sahabatnya sendiri dan menganggapnya sebagai Justin. Pria yang sangat ia cintai, lebih tepatnya ia sangat terobsesi dengan mantan kekasihnya itu -Justin.
Cody beranjak dari tempatnya dan berjalan menghampiri Selena yang berdiri di depannya, lalu membawanya ke dalam dekapan hangatnya. "Tak apa, kau tenang saja aku akan membantumu untuk mendapatkan Justin kembali" ucap Cody mantap meskipun ia tak dapat memungkiri bahwa akan membuat dirinya menderita. Tak apa, asalkan orang yang ia cintai bahagia, pikir Cody.
(((

Gradasi keemasan terlihat indah membuncah diatas langit. Membentuk sebuah pemandangan yang sangat indah nan menakjubkan, bak sebuah lukisan yang terukir di atas langit. Seulas senyum manis terpampang jelas pada wajah cantik Eve. Tak henti-hentinya ia berdecak kesenangan membayangkan kepingan-kepingan kisah roman picisannya yang terus saja bergelayut dalam pikirannya. Ya kisah cintanya dengan sang suami, siapa lagi kalau buka Justin. Gee, Eve dapat merasakan wajahnya memanas menahan gejolak cinta yang ia rasakan. Eve menggelengkan kepalanya pelan, berusaha menghapus kepingan kisah romannya -tadi pagi.
"Kau akan gila, jika senyam-senyum sendiri sayang" cetus Justin sembari melingkarkan kedua tangannya, untuk memeluk Eve dari belakang dan meletakkan kepalanya pada bahu istrinya. Justin membenamkan wajahnya pada leher jenjang Eve dan menghirup aroma tubuh Eve. "Ada yang lucu? Hm?" lanjut Justin dan mempererat pelukannya.
Eve tersenyum tipis. Tak mungkin ia menceritkan apa yang dipikirkannya -kejadian yang membuatnya bahagia. Ia menggelengkan kepalanya dan membalikkan tubuhnya menatap wajah Justin yang terlihat semakin tampan -ketika wajahnya terkena semburat jingga mentari. Eve mengalungkan kedua tangannya pada leher Justin dan berjinjit mencium pipi Justin. "Tidak ada Just, aku hanya senang saja" Eve menundukkan kepalanya sembari tak melepaskan kalungan kedua tangannya.
"Kau mulai nakal ya?" cetus Justin dan mengerlingkan matanya. Justin tersenyum melihat Eve membenamkan kepalanya pada dada bidangnya -Justin. "Okay, kau yang mulai Eve. Jangan salahkan aku jika aku bertindak-"
"Bertindak apa?" potong Eve dengan kening berkerut mendongakkan kepalanya menatap wajah suaminya.
Justin mendengus kesal, Eve memotong ucapannya. Ia paling tak suka jika ada seseorang yang menyela ucapannya. "Jangan menyela ucapanku, nona manja" cibir Justin dan mencubit hidung Eve gemas dan sedikit kesal.
Eve mengembungkan pipinya dan merenggut kesal. "Aku tidak manja, Justin"
Justin memutar kedua bola matanya jengah dan berusaha menetralkan emosinya yang mulai menjalar ke ulu hatinya. Ia menghembuskan nafasnya pelan dan menatap Eve jengkel. "Kau tidak manja tapi sangat amat manja dan kekanakan. Benarkan Jevelyn Bieber?"
"Justin-" rengek Eve tak terima dan semakin menekuk wajahnya. "Aku tidak-"
"Terserah" ketus Justin dan mengibaskan tangannya tak peduli. Ia berjalan masuk ke kamarnya tanpa memperdulikan Eve yang terlihat nanar menatap punggung Justin.
Eve menghela nafas dalam. Ia menjitak kepalanya sendiri sembari merutuki kesalahan -fatal- yang dibuatnya. See, Justin marah padanya. Dan tentunya, ini semuanya salahnya. Eve membalikkan tubuhnya menatap pemandangan -yang sangat ia sukai-, Menara Eiffel. Bibirnya melengkung sempurna melihat mentari yang akan segera tenggelam dan akan digantikan oleh sang rembulan dan bintang-bintang. "Aku harus minta maaf padanya" guman Eve pelan dan mulai menjejalkan kakinya untuk berjalan masuk ke dalam kamarnya. "Aku tak ingin dia berubah" lanjutnya. Eve tersenyum tipis melihat Justin yang terlihat asyik menonton telivisi yang berada di dalam kamar pribadinya dan Justin.
Eve menghembuskan nafasnya pelan, mengatur mentalnya sebelum ia mendapat siraman rohani dari mulut manis Justin. Ia kembali berjalan dan berhenti tepat di depan Justin yang tengah bersandar di atas sofa yang empuk. "Justin-" Eve tak berani menatap mata hazel milik Justin. Ia takut Justin akan melayangkan tatapan tajam padanya. Ia lebih memilih menatap jari-jari tangannya yang terlihat menari-nari memainkan ujung bajunya.
"Just-" ulang Eve memanggil Justin lagi berharap Justin mengucapkan sepatah kata untuknya. Eve menghembuskan nafasnya, sepertinya ia akan sangat sulit bernafas jika berada di dekat Justin. Dengan hati-hati dan sedikit gerakan dramatis, Eve mendongakkan kepalanya menatap wajah suaminya. "Justin, do you hear me?"
Justin memutar kedua bola matanya jengah, melayangkan tatapan jengkel. "Eve minggirlah, kau tak lihat aku sedang menonton tv" cetus Justin. Ia menatap Eve dengan sebal, mengapa wanita didepannya ini merasa Justin marah padanya? Tidak- ia tidak marah. Hanya saja ia sedikit kesal dengan sikap kekanakan Eve.
Eve merentangkan kedua tangannya, berusaha menghalangi Justin menonton telivisi. "Aku tidak akan minggir, sebelum kau memaafkanku. Ayolah Justin, aku tahu kau marah padaku, iyakan?" cercau Eve panjang lebar.
"Mrs. Bieber dengar ya- aku tidak marah padamu, jadi bisakah kau minggir. Sekarang?!" gertak Justin kesal. Ia tak mungkin bisa marah padanya wanita yang sangat ia cintai, terlebih Eve adalah detak jantungnya.
"I know your're lie my husband, please forgive me..." Eve mengatupkan kedua tangannya dan menatap Justin dengan penuh permohonan. "Aku akan menuruti semua permintaanmu, asal kau mau memaafkanku" ucap Eve bersikeras.
Justin mengerutkan keningnya, tak mengerti melihat Eve yang sangat keras pela memohon maaf padanya. What for? Memangnya wanita didepannya ini tak mengerti apa yang ia ucapkan? Ia sudah memaafkannya. So, untuk apa Eve minta maaf padanya?. But- tunggu dulu, Eve akan menuruti semua permintaannya, asalkan ia mau memaafkan wanita didepannya. Justin tersenyum tipis, ia tahu apa yang harus ia lakukan. Justin menatap kedua bola mata biru cerah milik istrinya dan ia langsung menarik pergelangan tangan Eve sehingga gadis itu jatuh menimpanya. "Aku sudah memaafkanmu, so kau harus menuruti permintaanku" bisik Justin tepat di gendang telinga Eve.
Eve menggeliat geli, merasakan hembusan nafas Justin yang -terasa- menggelitik lehernya. Gee, ia dapat memastikan wajahnya sudah merah padam akibat ulah Justin. Dengan sedikit keberania ia mendongakkan kepalanya menatap wajah tampan suaminya dan memeluknya erat. "Terimakasih" Eve melepaskan pelukannya dan merengkuh wajah suaminya. Ia mencium kedua pipi Justin cepat dan membanamkan kepanya pada dada bidang suaminya. Menyembunyikan semburat merah yang terpampang pada kedua pipi mulusnya.
Justin tersenyum renyah, melihat apa yang baru saja dilakukan istrinya. Gee, baru pertama kalinya Eve menicumnya. Meskipun hanya dipipi, tapi dapat membuat detak jantung Justin bergemuruh cukup kencang. "Hei, jangan sembunyikan wajah cantikmu itu sayang. Ayolah tatap aku" goda Justin sembari mengacak rambut istrinya.
"Tidak mau, Justin jelek" celetuk Eve tetap mempertahankan menyembunyikan wajahnya. "Aku tahu kau akan terus menggodaku."
Justin tersenyum mengejek. "Baiklah jika kau tak mau menatapku, jangan salahkan aku jika aku melakukan 'hal' yang tak pernah kau fikirkan" Eve tetap bergeming mendengar ucapan Justin. "Okay, itu yang kau mau. Rasakan ini" imbuh Justin dan menggelitik Eve yang berada di pangkuannya.
Eve menggeliat geli melihat tangan Justin yang menggerliya tubuhnya. Tawanya pecah dan terus meronta-ronta memohon Justin menghetikan aksinya gilanya. "Please, Just...aku sudah tak kuat" keluh Eve memegangi perutnya yang terasa sakit akibat tertawanya yang tak berhenti.
Justin mendorong tubuh Eve pelan sehingga tubuh gadis itu terbaring di atas sofa. Ia menindih tubuh Eve dan menatap dalam kedua bola mata biru cerah milik istrinya. Justin mendekatkan wajahnya pada leher Eve dan mencium leher beberapa kali. "Kau milikku"
Eve menelan ludah tanpa berniat -atau tak berani- menghetikan aksi Justin. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Mungkin hari itu telah tiba, hari dimana ia akan menjadi seorang wanita yang sesungguhnya. "Justin-" cercau Eve tak tahan dengan sentuhan Justin.
Justin menghentikan ciuamannya dan beralih kembali menatap wajah Eve yang terlihat sendu. Justin mengukir senyum manisnya dan mulai memejamkan matanya perlahan seiring wajahnya yang mendekat pada wajah Eve. Eve kontan langsung menutup kedua bola matanya rapat dan merasakan hembusan nafas Justin yang menggelitik permukaan wajahnya. Bibir kedua sejoli yang tengah kasmaran bertautan erat, memendam asa dan gelora yang membuncah hati mereka berdua. Justin melumat bibir mungil lembut dan penuh perasaan, berharap Eve akan membalas ciuamannya. Eve yang terhanyut dengan ciuman manis Justin, tanpa sadar ia mengalungkan kedua tangannya pada leher suaminya. Perlahan-lahan Eve mulai membalas ciuaman Justin dan merasakan Justin tersenyum dalam ciuman mereka berdua.
Justin menggigit bibir bawah Eve dan menyusupkan lidahnya menelusuri rongga mulut Eve. Entahlah, ciuman yang tadinya lembut kini berubah menjadi ciuman panas mereka berdua. Tangan Justin yang sedari menopang tubuhnya agar tak menindih tubuh istrinya, kini mulai aktif membelai tubuh Eve yang masih terbalut pakaian lengkap. Ciumannya kini beralih mencium leher jenjang Eve dan sesekali menggigitnya gemas. Membuat sebuah tanda cinta, kissmark. Tangannya pun dengan nakal menyusup masuk ke dalam baju yang dikenang Eve, membuat wanita itu mengerang geli.
Justin yang sudah tak tahan langsung membopong tubuh Eve tanpa melepaskan ciumannya. Ia merebahkan tubuh istrinya di tempat tidur dan segera menindih istrinya. "May I?" Tanya Justin meminta persetujuan istrinya.
Eve mengangguk lemah dan memejamkan kedua bola matanya perlahan menikmati setiap sentuhan yang diberikan Justin.
(((

Eve menggeliat mencoba membuka matanya perlahan-lahan. Ia tak ingat sudah berapa lama ia tertidur dan merasakan tubuhnya terasa pegal-pegal. Eve mengerutkan keningnya menatap pakaiannya dan Justin berserakan di atas lantai. Gee, apa yang terjadi? Pekik Eve dalam hati. Eve membekap mulutnya -berusaha agar tak berteriak histeris- dan tentunya agar Justin tak bangun dari tidurnya. Ia-yakin bahwa Justin tidur di sampingnya dengan keadaan polos -sama sepertinya. Dengan hati-hati ia melepaskan tangan Justin yang melingkar diatas dadanya dan berjalan menuju kamar mandi sembari memungut pakaiannya dan Justin. "Aku harus mandi" celetuk Eve dan masuk ke dalam kamar mandi.
Sekitar dua puluh menit berendam dalam bath up dan menjernihkan pikirannya yang masih berputar mengingat kepingan-kepingan memori yang memalukan sekaligus terindah dalam hidupnya. Bagaimana tidak, Justin telah melihat semuanya. Melihat mahkota berharga yang dimiliki setiap wanita. Tapi-itu wajar bukan? Justin suaminya dan ia berhak melihatnya.
Eve menghela nafas dalam dan menggelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan pikiran yang menggelikan itu. Eve tersenyum tipis melihat Justin yang tengah tertidur pulas. Tampan. Eve memandang lekat-lekat wajah tampan suaminya, tak berani melihat ke bawah. Ia memegang wajahnya yang kembali memanas dan segera keluar dari kamarnya.
Eve mendesah lega dan bersandar pada pintu kamarnya. Ia memagang dadanya merasakan detak jantungnya yang bedegup lebih kencang. "Aku akan gila jika seperti ini terus" Eve melangkahkan kakinya menuruni tiap undakan anak tangga. Ia akan memasak untuk dirinya dan Justin. Setelah pertempuran selama dua jam tanpa henti, membuat perutnya terasa berdisko ria meminta jatah makanan.
Eve mengikat rambutnya asal dan memasang celemek. Ia siap bertempur kembali -tentunya untuk membuat makan malam. Lasagna. Makanan itu terlintas dalam pikirannya dan sedetik kemudian ia membuka kulkas mencari bahan-bahan apa saja yang ia butuhkan.
Eve kembali berkutat memotong sayuran dan sesekali melirik ke atas kompor. Memastikan bahwa makanan yang ia masak tidak gosong. Eve memekik senang, seandainya jika ia berada di rumah Justin, sudah dipastikan ia hanya duduk manis tanpa melakukan pekerjaan apapun. Eve meletakan hasil masakannya di atas meja makan dan berlalu kembali ke dapur. Ia akan membuat teh untuk dirinya dan Justin sebelum membangunkan suaminya.
Eve memekik kaget merasakan tangan seseorang memeluknya dari belakang. Justin. Tentu saja pria itu, mana mungkin pria lain. Disini hanya ada Justin dan dirinya, jadi sudah dipastikan bahwa yang memeluknya adalah suaminya. "Kau sudah bangun?" Tanya Eve berusaha menjaga nada suara yang tak karuan. Sekuat tenaga ia berusaha menjaga detak jantungnya agar tak berdegup dengan kencang dan menyembunyikan semburat kemerahan yang menyembul pada kedua pipinya.
Justin tak menjawab, ia masih sibuk memeluk erat Eve dari belakang. Dibenamkannya wajahnya pada leher Eve dan menghirup aroma tubuh Eve. Membuat istrinya menggelinjang kegelian. "Just-in stop-. Lebih baik kau- tunggu di meja ma-kan saja- " ucap Eve terbata-bata dan berusaha melepaskan tangan kekar Justin yang mulai menyelusup masuk ke dalam pakaiannya.
Justin menghentikan aksinya dan membalikkan tubuh istrinya. Ia meregup bahu Eve dengan kedua tangannya dan menatap tajam kedua bola mata biru cerah milik istrinya. "Okay, tapi kau harus ingat kau punya janji padaku. Nanti aku akan menagih janjimu"
Eve memutar kedua bola matanya jengah dan melipat kedua tangannya. "Okay, sekarang kau tunggu di meja makan. And don't disturb me?!" gertak Eve kesal dan membalikkan badannya menuangkan air hangat pada dua cangkir kosong yang berisi the dan gula.
Justin tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya pelan dan membuntuti istrinya berjalan menuju meja makan. Justin duduk di depan Eve dan memulai memakan makanan yang dibuat istrinya. "Enak" guman Justin berdecak kagum menikmati hasil masakan istrinya.

"Tentu, kau harus bangga memiliki istri sepertiku" Eve mengembangkan senyumnya dan memuji dirinya sendiri.
Justin yang mendengarnya memutar kedua bola matanya jengah. Penuturan Eve terlalu sangat terlalu percaya diri. "Kau terlalu percaya diri, Mrs. Bieber
"Terserah" Eve mengibaskan tangannya tak peduli mendengar ucapan yang dilontarkan suaminya. Lebih baik menikmati sisa makannya daripada beradu mulut dengan suaminya, sudah dipastikan dirinya akan kalah telak.
(((

Eve menyandarkan kepalanya pada dada bidang Justin sembari memandangi hamparan bintang di langit yang terlihat begitu dari balkon kamarnya dan Justin. Justin tersenyum tipis melihat sikap Eve yang begitu manja padanya. Justin memeluk tubuh mungil Eve yang berada di pangkuannya dan tak henti-hentinya mengangumi wajah cantik istrinya. "Sungguh cantik" Justin berdecak kagum dan bibirnya melengkung sempurna membentuk senyuman yang amat manis.
Eve mendongakkan kepalanya menatap mata Justin yang menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. "Apanya yang Justin" Eve bingung dengan perubahan wajah Justing yang -sepertinya memerah menahan malu.
"Ti-dak ada. Pemandangannya sangat cantik" ucap Justin gegelapan dan mengadahkan kepalanya menatap bintang-bintang yang beredaran diatas langit.
Eve mengangguk mengerti dan meletakkan kedua tangannya diatas tangan suaminya yang tengah mendekapnya erat. "Aku sungguh bahagia, Justin"
(((

My Arrogant HusbandWhere stories live. Discover now