"Nobody's gonna love you like I love you." – The Moffatts-
"Jadi, kau sudah siap menceritakannya?" tanya Emilia dengan tangan terlipat di dada, menatapku lekat seperti ingin mengorek sampai ke akar.
"Ya dan tidak, tapi ... kurasa mungkin ini sudah waktunya," jawabku jika mengingat apa yang dikatakan oleh dokter Margaretha tempo hari.
Gadis di depanku melirik buket bunga mawar yang sudah menghitam dan menunjuknya dengan dagu. "Apakah itu termasuk?"
Mr. Jhonson? Mungkin ...
Sebelum kata-kata dalam kepalaku meluncur, bel pintu berbunyi. Buru-buru Emilia bangkit dan membuka siapa yang akan bertamu ke tempat tinggal kami. Aku melongok dan mendengar seseorang di luar sana menyebut namaku. Tak sabar, aku ikut beranjak dan melihat seorang kurir mengenakan baju merah menatapku sekilas. Emilia berpaling dan berkata,
"Ada seseorang mengirim paket untukmu."
"Aku?"
Dia menyerahkan sebuah kotak yang dibungkus kertas cokelat dengan namaku yang tertera di sana. Emilia pergi tuk duduk kembali di atas sofa sementara aku masih bertanya-tanya tentang siapa pengirim benda ini.
Mr. J?
Hanya kata itu yang ada di bawah namaku. Seketika pikiran ini langsung tertuju pada sosok pria yang memberiku bunga dan mengajakku jalan berdua. Aku duduk, memangku bungkusan itu kembali memandangi Emilia tuk mulai merangkai semua jalan cerita yang rumit.
Kubuka kaus dengan gaya turtle neck yang selalu menjadi andalan untuk menutup rahasia. Menunjukkan sebuah luka kecil yang menjadi dasar rahasia terbesar yang kupendam selama bertahun-tahun. Emilia mengernyit dan memicingkan mata lalu dia menggeleng pelan tidak mengerti.
"Aku punya rahasia di ini, Emilia." Kutunjukkan sebuah keloid tipis bekas jahitan dan rasanya diriku kembali ditarik ke masa kelam itu. "Dulu ... ada seseorang yang awalnya kupercaya sebagai ayah setelah George meninggalkan kami. Lalu ..." ucapanku terhenti, mataku berkaca-kaca setiap membuka lembar demi lembar luka yang sudah tertutup ini. Air mataku berdesakan ingin keluar sampai menengadahkan kepala untuk tidak menjadi perempuan lemah.
"Dia memperkosamu?" tebak Emilia to the point.
Aku mengangguk pelan. "Dan menyiksaku." Mendadak sekujur tubuhku gemetaran kala serangan kenangan itu datang menerpa. Walau memejamkan mata rasanya bayangan wajah ayah tiriku masih terlihat jelas.
"Kau harus menghadapi ketakutanmu, Elizabeth ..."
Suara dokter Margaretha menggema di kepala, seperti cahaya yang berusaha menerangi sisi gelap diriku. Tanpa kusadari, Emilia merangkul tubuhku sambil menangis.
"Hei, ada aku di sini, Elizabeth," ucapnya sambil mengelus rambutku dengan sayang. "Aku sungguh minta maaf karena sudah berpikiran bahwa kau tidak percaya padaku. Aku ... tidak tahu jika yang kau pendam sebesar ini."
Emilia menangkup wajahku, menghapus linangan air mata yang membasahi pipi. Aku yakin wajahku terlihat jelek sekarang. Apalagi setelah membuka hal yang tidak diketahui orang lain. Tapi, gadis blonde di depanku ini pun sama, dia menangis. Dari sorot matanya, dia terlihat sangat bersalah sudah mendiamiku selama hampir dua minggu.
"Kau adalah wanita berharga, Elizabeth. Camkan itu, oke! Aku bersumpah tidak akan membiarkan orang lain menghancurkan hatimu lagi," ucapnya dengan penuh keyakinan. "Terima kasih sudah percaya padaku, Lizzie."
"Apa kau masih mau berteman denganku setelah mengetahui ini semua?"
Emilia menganga lalu tertawa. "Kau kira aku ini apa? Tentu saja aku masih menerimamu menjadi temanku, kita sudah mengenal lama, Elizabeth."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sealed With A Kiss
Romance(Terbit tiap minggu) Hidup selalu berubah seperti roda yang berputar tanpa henti layaknya perjalanan Elizabeth Khan usai bertemu dengan pengusaha kaya, Alexandre Jhonson. Sayang, seseorang di masa lalu Elizabeth kembali datang untuk mengintai dan me...