Chapter 31

24K 886 38
                                    

'When I close my eyes and try to sleep. I fall apart I find it hard to breathe. You're the reason the only reason.'

-5SOS-

"Andre!" teriakku menepuk pipinya. 

Lelaki itu tak merespons. Seperti petir di siang bolong yang menyambar kepala, mataku membeliak saat meraba nadinya yang terasa lemah. Aku berteriak meminta tolong dengan rasa takut yang membekap, hampir menguras seluruh oksigen dalam dada melihatnya tak berdaya dan mungkin ... sedang meregang nyawa. Beruntung tak berapa lama, adik tiriku keluar lantas dia kembali masuk ke rumah. Detik berikutnya, ibu berlari bersama Lily di saat wajahku panik tak karuan.

"Dia pingsan!" seruku. "Tolong bantu aku membopongnya! Lily kau telepon dokter Clark!"

"Ini akibatnya kalau dia keras kepala," sahut ibu melingkarkan tangan kiri Andre ke bahunya. Sementara Lily kembali berlari masuk ke dalam rumah melaksanakan perintah tuk menelepon tetangga sekaligus seorang dokter.

"Bukan saatnya untuk mengomel!" ketusku lalu menggeret tubuh berat Andre dengan susah payah. 

Kakiku hampir tersandung batu. Sepertinya memiliki berat badan yang teramat kurus adalah pilihan terburuk. Di saat seperti ini saja, napas sudah tersengal-sengal seperti dipaksa lari maraton bermil-mil jauhnya. Terik matahari yang mulai merangkak ke ubun-ubun dan menyengat kulit ditambah suhu udara yang sialan panas seakan menambah penderitaan.

Apa dia akan mati?

Setelah berhasil membawa tubuh yang terkulai lemas itu di atas sofa ruang tamu, bersamaan dengan Lily yang berkata kalau dia sudah menelepon dokter Clark yang baru saja pulang dari rumah sakit setelah jaga malam. Sembari membuka kemeja dan sepatu yang dikenakan Andre, aku berkata kepada adik tiriku itu, "Tolong ambilkan baskom berisi air dan handuk di belakang, please."

"Apa sekarang kau peduli padanya?" tanya Lily seperti tidak tahu situasi. 

Aku menatap nyalang pada gadis berusia empat belas tahun itu. "Jangan tanyakan hal itu untuk saat ini Lily," semburku kesal seperti menuang bensin ke dalam bara api. 

Sebelum Lily berbalik, ternyata ibu datang membawa dua baskom berisi air yang diberi es batu dengan empat handuk di dalamnya. Dia menaruh baskom itu di atas meja lalu mengeluarkan sebuah thermometer dari saku baju lalu memasukkan ke telinga kiri si pria kopi.

"Empat puluh dua derajat!" serunya lalu buru-buru kami membasahi tubuh Andre dengan handuk basah. "Mom rasa dia mengalami heatstroke." 

"Kenapa dokter Clark belum juga datang?" gerutuku tak sabar. "Bagaimana kalau dia dehidrasi berat, Mom?"

"Kita tetap beri dia kompres es batu. Beruntung dia tidak kejang. Ya Tuhan ... kulitnya memerah semua." 

Wajah ibu tersirat rasa takut sampai pucat pasi, heatstroke memang bahaya kalau tidak segera ditangani. Meski bukan seorang yang menggeluti bidang medis, kami tahu efek suhu tubuh yang meningkat drastis akibat cuaca panas bisa menyebabkan kegagalan organ bahkan kematian. Belum lagi kasus di Amerika terbilang cukup banyak per tahunnya, jadi aku tidak salah kan kalau sekarang panik bukan main? Kalau sampai terjadi apa-apa, semua orang Manhattan pasti akan menghujat dan mengutuk sudah membuat anak pengusaha kaya mereka seperti ini. 

"Tolong ambilkan celana Will yang paling tipis, Lily," pintaku.

Gadis yang mirip dengan William itu bergegas pergi ke kamar berada di lantai dua sambil berteriak bahwa seharusnya aku menemui Andre selagi dia mau meminta maaf. Namun perkataannya segera dibantah ibu agar anak kecil sepertinya tidak usah ikut campur masalah orang dewasa. Sifat 'suka mencampuri urusan orang' yang diturunkan dari William itu memang membuatku kadang jengkel. 

Tapi ... mendapati Andre seperti ini, apa yang dikatakan Lily benar. Seharusnya aku mau menemui si pria kopi walau sekadar mengusirnya dari rumah, bukan membiarkan lelaki berambut cokelat tembaga ini berdiri berhari-hari sambil membawa kertas sialan seperti demonstran. 

Tanpa disadari, kristal bening sudah mengalir deras menuruni kedua pipi. Sehebat apa pun dinding yang kubangun untuk tidak memedulikan lelaki ini, nyatanya semua runtuh sekarang. Dewi batinku kini memaki betapa egoisnya Elizabeth Khan yang tidak mau memaafkan orang lain sampai berhasil membuatnya menderita. Betapa kejamnya Elizabeth Khan bisa membuat orang lain hampir tewas.

"I'm really sorry..."

###

"Bagaimana bisa dia seperti ini Mrs. Hawkins?" tanya dokter Clark ketika Andre akhirnya dibawa ke UGD terdekat. Kompres dengan air es saja ternyata tidak cukup katanya lelaki berperawakan bongsor itu, hingga dia menawarkan bantuan untuk ke rumah sakit. "Dia terlihat cukup buruk," tambahnya seraya menaikkan kacamata silinder yang sedikit melorot dari batang hidungnya. 

Aku dan ibu saling berpandangan. Sejujurnya, banyak hal yang ingin kukatakan pada dokter Clark, namun semua kalimat yang sudah tersusun rapi di kepala hanya tertahan di tenggorokan. Belum lagi saat menilik kondisi mobilnya yang seperti pembuangan sampah kala mencari  dompet Andre untuk keperluan administrasi. 

Audi hitam yang terlihat mewah dari luar tapi berbanding terbalik dengan kondisi di dalamnya.  Saat membuka pintu mobilnya, aku hampir muntah mencium bau menyengat yang mungkin dari makanan busuk yang disimpan selama berhari-hari. Kulihat banyak sampah seperti botol bir yang berserakan, putung rokok dengan abunya yang berceceran, dan beberapa bungkus snack. 

Yang lebih menyakitkan lagi adalah dia tidak makan sama sekali selama ... tiga hari berdiri di depan rumah. Oh Tuhan, sekejam itukah aku pada Andre? Aku sungguh menyesal.

"Dia akan baik-baik saja, kan?" sahut ibu. 

"Iya, beruntung kalian memberinya pertolongan pertama," kata dokter Clark. "Kita akan menunggu hasil laboratoriumnya untuk memeriksa kembali elektrolit. Ini infus kelima yang kumasukkan dan sudah kuperlambat tetesannya. Untung saja kau meneleponku dengan cepat Mrs. Hawkins. Jika tidak ... dia bisa mengalami komplikasi terutama pada otak dan organ dalamnya."

Mendengar penjelasan dokter Clark rasanya tungkaiku sudah tidak dapat menahan beban tubuh. Ya aku tahu komplikasi itu bisa menyerang Mr. Jhonson kalau tidak segera ditangani. Tapi ... sampai kapan dia terlelap seperti bayi tanpa dosa sementara kami menunggunya sadar? Tidakkah dia tahu kalau aku waswas sampai ibu menawari minuman saja aku tak minat. 

"Aku sudah memerintah perawat dan residenku untuk mengawasi Mr. Jhonson," kata dokter Clark. "Mari kita berharap dia segera pulih."

"Terima kasih."

###

Hingga pukul tujuh malam kelopak mata lelaki di depanku ini masih belum mau terbuka. Apakah dia sedang terlena dengan mimpi indah sampai enggan menenangkan hatiku yang masih gelisah. Tapi melihat irama napasnya yang naik-turun dengan teratur, menandakannya masih hidup. Ragu-ragu kucoba memegang tangannya yang tertancap selang infus di tangan kiri. Terasa hangat. Lantas bangkit dan menunduk tuk mendengarkan detak jantung di dada telanjangnya. 

Loop doop loop doop...

Mendengar suara irama jantungnya yang teratur dan tenang membuatku tersenyum tipis seolah dadanya adalah tempat ternyaman. Sementara suara jantungnya adalah melodi terindah yang pernah menyapa telinga. Kubelai dada bidang Andre dengan lembut. Suhu tubuhnya sudah tidak sepanas tadi siang, tapi kenapa dia tidak sadar juga? Kenapa mata biru itu tak segera terbuka lalu memandang diriku lagi seperti kemarin? Apa dia lelah karena berdiri terlalu lama? Atau dia lelah berjuang ... demi diriku?

Sekarang kau tahu kan betapa egoisnya dirimu, Elizabeth!

Air mataku kembali mengucur deras seperti sedang menguliti rasa keakuan yang mendarah daging. Rasanya begitu bodoh saat aku membenci Andre setengah mati, sementara sisi lainnya menjerit tuk menyadarkanku kalau  hanya dia yang bisa membuatku merasa dihargai sebagai seorang gadis.

Menatap wajah lelapnya yang dihiasi jambang lebat lalu membelai pipi yang makin tirus itu dengan perasaan campur aduk. Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi Andre lagi. Memaafkan dan memberinya kesempatan untuk menyakitiku lebih dalam atau menghiraukannya dengan risiko dia bisa saja seperti ini bahkan lebih buruk.

"Hanya kau orang gila yang mencintai gadis gila. Apa yang sebenarnya kau pikirkan tentangku?" lirihku parau. Menatap wajahnya lantas mengecup lembut keningnya dengan sayang. "I'm really sorry."

Sealed With A KissWhere stories live. Discover now