Chapter 1. Seharusnya Memang Seperti Itu

39.7K 2.9K 366
                                    


Di semester keempatnya, lelaki kriwil itu dihubungi kembali oleh ibunya. Wanita yang melahirkannya dua puluh tahun lalu itu berbisik pelan, separuh memohon padanya. Lelaki kriwil itu berdecak enggan. Dia masih ingin tinggal lebih lama di sini, tetapi dia bisa apa? Neneknya sudah tua. Pamannya dari pihak ayah mengajak sang nenek tinggal bersama. Sementara ia tahu sungkan. Sungkannya terlalu besar. Meski darah ayahnya mengalir dalam tubuh, namun lelaki kriwil itu masih punya ibu.

Neneknya sering sakit, sementara Theo sibuk bekerja. Darimana dia mendapatkan uang? Ibunya menikah lagi, punya keluarga sendiri, dan tentunya pengeluarannya sudah besar. Theo tidak suka membebani ibunya. Lalu ketika sang paman dari pihak Ayah menarik neneknya, Theo makin galau. Theo paham yang terjadi sebenarnya. Sangat. Ia sangat paham. Ketika paman dan bibi dari pihak ayahnya berdiskusi, berbicara soal banyak hal tentangnya.

“Lalu dia mau jadi tanggung jawab siapa? Dia emang keponakan kita, tapi dia masih punya ibu!”

Theo sadar betul dengan apa yang mereka diskusikan. Selama ini dirinya dianggap beban oleh kakak-kakak ayahnya. Andaikan ditawari pun, dirinya juga belum tentu mau menggantungkan hidupnya pada mereka.

“Theo sayang Mama? Nggak kasihan ke Nenek?” Kali ini ibunya juga memberikan pertanyaan. Pertanyaan itu kembali menghujatnya, sementara pikirannya terluka sekali. Theo tidak bisa seperti ini. Kalau ditanya, jelas dia sangat menyayangi mamanya. Namun kalau untuk memilih, jelas ia tidak ingin pergi dari tanah kelahirannya. Ia tahu kalau ibunya sudah berdiskusi dengan kakak-kakak mendiang ayahnya. Jadi semua itu sudah diatur, sementara dirinya tidak berhak mengeluarkan pendapat tentang nasibnya sendiri.

Di semester keempatnya inilah, Theo mulai bosan hidup.

Theo bisa hidup sendiri di sini. Bahkan sejak ayahnya meninggal pun ibunya sudah pergi, bekerja jadi TKW ke Jepang. Hingga akhirnya sang ibu jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah dengan warga sana. Berkali-kali Theo diajaknya turut serta, namun waktu itu sang nenek menolak. Beliau tidak pernah rela kalau cucu tersayangnya pergi. Theo adalah harta dan warisan terakhir yang ditinggalkan oleh anak bungsunya.

Sekarang, permasalahannya berbeda.

Theo tidak bisa bertahan seperti ini. Ia sanggup mengurusi neneknya sampai kapan pun. Namun di sisi lain Theo juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ibunya punya keluarga sendiri, dan tentunya dia tidak ingin jadi beban tambahan. Lagipula ibunya tidak bekerja. Beliau jadi ibu rumah tangga, ikut suaminya. Jelas tidak mungkin Theo menggantungkan hidup pada suami ibunya.

Ketika pamannya menarik sang nenek, saat itulah dunia Theo seperti terombang-ambing. Neneknya menjerit kencang layaknya anak kecil waktu itu. Beliau menangis, memeluk leher Theo erat dan berteriak pada semua orang.

“Jangan ambil cucuku!!”

Padahal saat itu Theo tahu, neneknyalah yang direbut paksa darinya.

Demi menyenangkan sang ibu dan juga karena tidak ada tempat lagi untuknya, Theo memutuskan untuk pergi. Ia sadar, tidak ada siapa-siapa yang akan menemaninya di sini. Dia bisa saja tinggal sendiri, atau tinggal di cafe bersama pegawai yang lain. Mereka juga keluarga Theo, keluarga baru meski tak terikat oleh darah.

Namun, keputusan tetap keputusan. Meski hatinya berat, lelaki kriwil itu pergi juga menemui ibunya. Dia setuju pindah ke Jepang, namun dengan beberapa syarat. Dia tidak akan pernah mau tinggal bersama ibunya. Dia memutuskan untuk tinggal sendiri. Semua berubah. Tidak ada nenek yang selalu menyambutnya suka cita ketika dia pulang kuliah, tidak ada nenek yang membangungkannya untuk berangkat kerja, juga... tidak ada pelukan neneknya.

Lelaki kriwil itu menangis selama di pesawat. Wajahnya tertutupi jaket mulai berangkat hingga sampai di Bandara Haneda, Tokyo, Jepang. Dia tidak bisa bahasa Jepang, dan ini kali pertamanya pergi ke luar negeri.

Secret Of YakuzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang