First Impression

73.9K 6.8K 732
                                    

"Cepaaaaaaat!"

Mifta membentak Gigi yang berjalan dengan langkah malas-malasan melewati ruang prodi Ilmu Administrasi Negara. Gadis itu menggerutu dengan wajah yang diberenggut karena ibunya seharian ini terus-terusan berteriak dan  memerintah macam-macam.

"Gi, jangan pakai baju itu!"

"Gi, jangan makan lagi! Demi Tuhan perut kamu sudah melendung seperti orang bunting!"

"Pakai high heels! Badanmu terlalu pendek seperti babi! Nanti si Koko nggak bisa bedain mana kamu mana mobil mini cooper-nya!"

Dan lain-lain, dan sebagainya, dan seterusnya.

Mereka naik melalui tangga ganda ke lantai tiga. Beberapa Mahasiswa melempar senyum simpul setiap kali berpapasan dengan keduanya di koridor Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Pelangi.

Gigi hanya tersenyum sekadarnya menanggapi sapaan para Dosen----teman Miftha---yang menegur atau bahkan melempar ledekan padanya. Langkah kaki gadis itu dipercepat menyamai mamanya yang masuk ke ruang prodi Ilmu Pemerintahan.

"Mam," Bisik Gigi. Ia mencegat tangan Miftha dan menarik wanita itu agak menjauh dari pintu. "Aku mau ke kamar mandi." Ijin gadis itu sambil memegang perutnya.

Mata Mifta terputar jengah. Ia tau ini hanya akal-akalan Gigi untuk menggagalkan pertemuan yang sudah dirancangnya empat kali dan selalu gagal ini.

"Jangan coba-coba kabur kamu!" Mifta mencubit pipi anaknya gemas. "Si Koko gak gigitan kok anaknya, kenapa selalu lari setiap kali ingin ketemu?" Tanpa mendengar protes Gigi, Miftha menarik tangan gadis itu masuk ke ruang prodi.

"Selamat siang, Bu Mifta." Sapa beberapa orang yang Gigi kenali sebagai dosen di jurusan Ilmu Pemerintahan ini. Miftha membalas sapaan rekan-rekannya dengan riang.

"Eh ada Gigi, siang Gi, makin subur ajah."

Yawlaaaa.

Gigi rasa-rasanya ingin menyambit kepala orang yang selalu mengatainya 'subur'. Oke dia tau badannya sedikit berlemak di bebera titik, tapi ... bisakah tidak membahasnya di tempat ramai seperti ini?

Saat dia sibuk mendumel dalam hati, dilihatnya Miftha berbicara dengan seorang pria yang tengah duduk di balik kubikel dan mengobrol dengan seorang dosen. Kacamata pria itu bertengger ke dorsum hidung greeks-nya.

Mengikuti arah telunjuk Miftha, tatapan pria itu terarah ke Gigi. Langkah Gigi seketika memberat ketika sepasang mata yang agak besar dan berat itu membidiknya.

"Sini!" Perintah Miftha yang sudah masuk ke ruangan kecil tepat di sisi kanan ruangan prodi.

Pria itu berjalan beberapa langkah di belakang Miftha dan Gigi mengekori keduanya.

Mifta menutup pintu, dengan semangat wanita bercardigan biru itu mendorong Gigi untuk duduk di kursi chitos tepat di sebelah pria itu yang sudah lebih dulu duduk di sana.

"Gi, ini Koko. Mantan Mahasiswa dan anak bimbingan Mama, juga sekarang sedang ambil gelar Doktoral di sini." Jelas Miftha dengan semangat. "Dan Koko, ini Gigi, anak yang saya ceritain itu loh."

Varco mengulurkan tangan demi mengurai sebuah jabatan. Dengan tangan bergetar, Gigi menyambut uluran tangan dingin itu dan menggenggamnya kaku.

"Hai Gigi. Senang bertemu denganmu."

Bola mata Gigi hampir saja terpeleset ke kiri mendengar dialeg yang begitu formal ini, namun ia berusaha menahannya. Yang Gigi bisa hanya melempar senyum dengan diameter sempit.

Mencopy cara bicara Koko, Gigi membalas, "Hai, Koko. Senang bertemu denganmu juga."

Miftha bertepuk tangan excited, lalu meraih hugo bag-nya di meja. "Oke Mama tinggal ngajar dulu, kalian ngobrol-ngobrol ajah, siapa tau cocok dan mungkin sebulan atau dua bulan lagi kita dapat kabar baik." Ia melangkah ke pintu kemudian kembali menoleh. "Kata Bu Mila, kamu juga masih jomblo kan, Ko? Mamamu curhat ke saya beberapa hari lalu, katanya itu si Varco, udah 28 tapi gak pernah bawa cewek ke rumah."

Varco tersenyum simpul. Tidak membantah apalagi menjawab pertanyaan Miftha. Beruntung tanpa menuntut jawaban, wanita itu segera pergi dan meninggalkan Gigi dan Koko yang tergulung kekakuan di dalam ruangan itu.

Awkward.

Tangan Gigi bermain di atas pangkuannya, membuat gerakan ketukan dengan ujung jari di permukaan pahanya yang terbalut jins biru. Gadis itu berusaha menumbuk kekakuan dengan menciptakan beberapa gestur untuk peralihan. Tidak ada yang bersuara di antara mereka, hanya terdengar deru pendingin ruang dan suara-suara para dosen di luar.

"Umur berapa?" Tanya Varco tiba-tiba. Pria itu menatap Gigi dengan pandangan meremehkan.

"25." jawab Gigi, pendek.

Varco tertawa mengejek. "25 belum punya pacar?" Tanyanya. "Yang benar saja. Belagu apa gak laku?"

Sial! Apa-apaan cowok ini? Sifatnya berganti cepat seperti slide presentasi. Tadi ramah sekarang ketus.

Melipat tangan di dada, Gigi  melempari Varco tatapan runcing. "Kamu sendiri? 28 masih jomblo?" Ia mengurai tawa mencemooh. "Keliatan banget ga ada yang mau!"
Berdiri, Varco memperbaiki kemejanya. "Tetap sendiri atau bahasa kerennya 'jomblo' itu adalah pilihan saya untuk saat ini," Kata lelaki itu pelan. "Kalau saya mau, saya bisa pacaran dengan tiga cewek dalam seminggu.  lagipula saya laki-laki. Nyandang gelar jomblo sampe usia 30 juga gak masalah."

Bola mata Varco tergerak vertikal. Laki-laki itu meniti Gigi dari ujung rambut hingga kaki gadis itu. "Kamu ini nih yang berpotensi jadi perawan tua," ujarnya seraya berjalan mendekati pintu tapi sebelum membuka pintu Varco berbalik menatap Gigi yang tengah mengembungkan pipinya dengan tampang malas.

"Cepat cari pacar sebelum Manopause. Saya nggak mau yah pertemuan ini berujung ke hal-hal aneh, seperti perjodohan misalnya. Oh jangan sampe yah Mama saya dan Mama kamu ngambil tindakan bodoh. Saya gak mau dijodohkan dengan perempuan, 25 tahun, nggak laku, gendut!" Setelah mengucap rentetan hinaan, Varco ke luar ruangan dengan sedikit membanting pintu.

Yaawla. Apa-apaan itu?

"Sialan!" Umpat Gigi. "Siapa juga yang mau dijodohin dengan tiang bangunan kayak kamu?" Teriak gadis itu, murka. Dalam hati, ia berdoa semoga tidak bertemu dengan setan jangkung ini lagi.

Gigi Kokoحيث تعيش القصص. اكتشف الآن