Dia? (2)

2.9K 535 114
                                    

Dia? (2)

Sudah kesekian kalinya Namira menghela napas, satu tangannya ia pakai untuk menopang dagu. Wajahnya cemberut dan bibirnya sedikit ia majukan.

Namira menoleh ke arah sampingnya. Jika dihitung, mungkin sudah hampir sepuluh kali Namira menoleh, tapi, sama saja, tidak ada hasilnya. Hanya memperlihatkan tubuh yang tegak, yang sedang duduk dan menunduk sambil membaca buku.

"Eng... Kak?"

Tidak ada jawaban.

Namira menggigit bibir bawahnya "Kak? Eng... Jadi gimana? Perasaan dari tadi kita duduk aja, gi-gitarnya mana?"

Tidak ada jawaban kembali. Hanya terdengar suara kendaraan yang sesekali melintas, diiringi dengan angin sore yang membuat bulu kuduk Namira merinding, Dingin.

Namira menatap seseorang yang ada di sampingnya dengan geregetan, Namira mengerucutkan bibirnya kesal, Namira merasa jika dirinya terlihat seperti orang gila. Berbicara sendiri.

"Neng maaf," Namira menoleh ke belakang saat merasakan pundaknya yang ditepuk pelan, diiringi suara lembut dari seseorang.

"Iya Bu?" Namira menatap Bu En lembut, sama seperti Bu En.

"Ini Ibu teh mau ngasihin ini, ini punya Neng, bukan?" tanya Bu En dengan logat sundanya sambil menyodorkan sebuah gelang perak yang bergantel hati.

Namira terkejut dan baru menyadari jika pergelangan tangan kanannya hampa, tidak ada sebuah gelang perak yang bergantel hati.

Namira menghela napas lega, untungnya gelang itu tidak hilang di tempat yang sulit.

"Iya Bu, itu punya saya. Kok bisa ada di Ibu, ya, Bu?" tanya Namira heran sambil melihat-lihat gelang perak yang kini sudah ada pada genggamannya.

Bu En tersenyum "Kemarin, Ibu teh lagi bersih-bersih warung pas kalian udah pulang. Nah, Ibu liat gelang itu di bawah kursi, 'kan yang duduk di kursi terakhir teh, kalian. Jadi itu pasti gelang punya Neng, masa punya Nadhif, sih," kata Bu En dengan nada menggoda di akhir kalimat sambil melirik Nadhif yang masih membaca buku.

Namira tersenyum sumringah "Makasih ya, Bu. Saya nggak tahu loh kalo gelang saya ilang, soalnya nggak pernah saya lepas." Namira memasang kembali gelang miliknya.

"Iya sama-sama. Pasti gelangnya dari Nadhif, ya? Jadi pasti Neng takut dimarahin kalo gelangnya ilang, Nadhif mah da emang kitu ih, diem-diem nyeremin," ucap Bu En dengan nada ngeri.

Nadhif menutup bukunya dan berbalik badan, menoleh ke arah Bu En.

Bu En menyengir "Becanda ah, Nadhif mah suka dibawa serius gitu."

Nadhif menghela napas dan beralih menoleh ke arah Namira "Lo boleh pulang," ucap Nadhif, santai dan datar.

Namira melongo. Yang benar saja? Namira sudah membatalkan pulang bersama Dira karena Nadhif yang meminta pertanggung jawaban. Namira sudah membatalkan acara curhat-curhatan bersama Dira karena Nadhif yang meminta pertanggung jawaban. Namira sudah menunggu sangat lama hanya untuk melihat Nadhif yang sedang membaca?

Dan setelah itu? Nadhif menyuruh Namira pulang? Pulang? Yang benar saja, pulang?

"Sebenernya Kak Nadhif nyuruh saya kesini itu, ngapain?" Sungguh, yang Namira rasakan sekarang sangat tidak karuan. Marah, kesal, pengen nangis dan teriak, semuanya bercampur.

"Lo boleh pulang sekarang." ulang Nadhif kembali

Namira diam-diam mengepalkan kedua tangannya. Cowok nggak punya hati!

Namira mendengus kesal sebelum melenggang pergi meninggalkan Nadhif. Tentunya dengan sejuta perasaan yang teramat sakit. Sangat sulit untuk diucapkan.

Just YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang