Empat belas

5.1K 353 32
                                    

"MAU, KALIAN SEMUA GUA SELEKSI ULANG?!!!"

"Gue nggak mau punya petugas PMR kayak kalian yang cuma bisa numpang nama dan dikenal banyak orang di sekolah! Udah punya tugas masing-masing, kan? Tapi kenapa masih aja sibuk ngegosip! Kayak nggak ada waktu lain aja! Bukan gue berbangga diri soal kejadian kemarin pagi, tapi gue nggak mau hal kayak gitu terjadi dua kali!"

Itu suara Rio yang tengah memarahi seluruh petugas PMR di tengah-tengah lapangan. Tak hanya sendiri, ada beberapa anggota penting PMR yang berdiri di sebelahnya dan juga ikut memarahi anggota yang lain.

Manila yang akan ke ruang OSIS sendiri itu terhenti mendengar suara Rio yang begitu kencang. Ia begitu terlihat marah, sangat marah.

Manila baru pertama kali melihat Rio semarah itu, dan semoga tak melihatnya lagi.

Memiliki izin dispensasi untuk pergi rapat sekbid dengan anggotanya, ia pun masuk ke ruang OSIS yang nyatanya sudah ada beberapa anggota yang lain.

Ia memasuki bilik rapat, di mana sudah ada Hayana, Tyar, dan tiga seniornya seperti Razar, Rakha, dan Riri.

Masih ada dua anggota lainnya yang belum datang tapi mereka akan segera memulai diskusinya.

Razar, selaku ketua dari sekbid-nya itu menunjukkan sebuah kertas lembar kepada mereka. "Ini rangkuman acara yang jadi list kita, tapi yang baru terlaksana class meeting, kebersihan kelas bareng sekbid empat, sama pameran seni. Dan sekarang waktunya baksos."

"Buat bakti sosial, kalian ada saran tempat? Udah dari lama gue suruh kalian nyari itu." Rakha memandang ketiga juniornya itu bergantian.

"Gue dapet satu. Yaitu panti jompo yang dinaungi sebuah yayasan," kata Hayana.

"Gue dapet sih, cuma masih agak ragu. Gue ada satu tempat panti asuhan gitu deket rumah, tapi banyak donaturnya di situ. Sedangkan gue yakin banyak panti asuhan lain yang belum banyak donatur yang butuh bantuan. Menurut gue gitu," ujar Tyar, gadis yang rambut pendeknya sejajar dengan telinga.

"Manila?" Riri menatap Manila yang sedari tadi diam.

"Kalo rumah sakit, gimana?" Manila menaikkan alisnya. "Ada satu tempat rumah sakit masih di daerah sini. Rumah sakit buat anak-anak pengidap penyakit kanker. Semua dokter khusus kanker ada di situ, dan mereka menerima pengobatan untuk semua jenis kanker. Dari kanker otak, payudara, kanker hati, usus, dan lainnya."

"Tapi bukannya kalo rumah sakit kayak gitu pasti selalu dapet bantuan dari pemerintah?" Tanya Razar, memastikan.

"Dapet, kok. Mereka dapet bantuan dari pemerintah sekitar dua bulan sekali. Tapi karena membludaknya pasien di sana bikin rumah sakit kekurangan pasokan obat, makanan bergizi, dan lain-lainnya. Kenapa bisa kekurangan? Karena rumah sakit itu nggak mengambil biaya sepeserpun dari pasiennya, alias gratis."

Rakha yang menyimak Manila terdengar setuju. "Boleh deh kita survei di situ. Mau kapan?"

"Besok?" Riri memberi usul.

"Besok gue nggak bisa," Razar menyela.

"Kalian?" Riri menatap Manila, Tyar, dan Hayana bergantian.

"Gue bisa-bisa aja sih," ucap Hayana diikuti Tyar yang juga mengatakan bisa.

"Gue nggak tahu. Gue takut tiba-tiba ada sesuatu bentrok di rumah jadi gue nggak bisa dateng," kata Manila dengan ragu.

Riri mengangguk paham. "Ya udah nggak apa-apa. Berarti besok yang bisa dateng survei, kita kumpul setelah pulang sekolah.

Semua mengangguk paham. Tiba-tiba Rakha yang memperhatikan Manila dengan serius itu berkata, "lo habis dikeroyok orang?"

"Kecelakaan," jawab Manila dengan singkat.

You're My Sunshit [SELESAI]Where stories live. Discover now