Tiga puluh lima.

3.6K 258 76
                                    

"Permintaan dia itu konyol banget. Jelas-jelas bakalan bahayain diri dia, mana mau sih gue turutin?"

Masih di dalam kamar Rio bersama Emir, Ican, dan Morgan, juga Macika yang masih memohon-mohon pada Rio.

"Aku bisa menepi tanpa ketahuan mereka..." Macika bersikukuh.

"Dia minta izin sama gue kalo pas kita tawuran nanti, dia mau rekam momen itu. Siapa yang gila, coba?" Rio menatap ketiga temannya bergantian.

Emir yang rebahan di kasur itu langsung terduduk. "Demi?" Lalu beralih menatap Macika yang wajahnya tengah ditekuk. "Lo gila?"

"Gini deh. Oke, gue izinin lo buat rekam momen itu," kata Rio yang langsung diberi senyuman oleh Macika, "tapi emang lo tega pas lo rekam itu, lo liat gue tepar di aspal dengan bercucuran darah?"

Raut muka Macika langsung berubah. "Jangan ngomong gitu, ih. Nggak baik ngomong gitu kayak gitu!"

"Gue bilangin, malah gini. Gue serius. Misalnya pas lo rekam gue kan dari jauh, terus gue lagi dihajar sama mereka, gue babak belur, gue diinjek-injek sama mereka dan gue tepar di tanah dengan bercucuran darah. Lo sudi rekam momen itu?" Rio menjelaskan dengan raut wajahnya seakan-akan ia sedang seperti itu.

"Jangan ngomong gitu, Kak!" Macika menjadi takut sendiri.

"Makanya, dengerin apa kata gue. Kalo kata gue 'nggak' ya jangan lakuin. Itu bahaya. Gue nggak mau lo kenapa-napa," ujar Rio yang benar-benar khawatir pada gadis itu.

"Bener kata abang lo, Cik, lo-nya aja yang eror. Mana mungkin sih dia ijinin lo rekam hal kayak gitu. Gue juga kalo jadi Rio nggak bakal beri ijin," ujar Ican.

"Ya udah, aku nggak bakal lakuin itu." Macika takluk juga akhirnya.

Morgan yang masih bersandar di pintu kamar itu berkata, "oke, udah kan masalahnya selesai? Gikiran gue yang ngomong ya." Ia berjalan ke arah sofa lalu duduk.

"Tentang dia, apa yang mau lo pesan ke gue?"

****

Raya duduk santai sambil menyantap bakso dan es teh manisnya di sebuah warung bakso di pinggir jalan. Bukan di dekat rumahnya, ini masih setengah jalan menuju rumahnya.

Saat di angkot tadi, Raya merasakan bahwa perutnya sangat lapar akibat istirahat tidak sama sekali makan. Hingga ia memutuskan makan sebuah bakso pinggir jalan seorang diri.

Warung bakso pinggir jalan itu bersebelahan dengan sebuah gang besar yang akan menuju sebuah perkampungan nanti. Entah kampung apa, Raya tidak pernah ke situ. Untungnya ada warung bakso di sini yang dapat menunda laparnya.

Raya menghela napas lega setelah habis menyantap bakso dan es teh manisnya itu. Keadaannya lebih baik daripada tadi. Percayalah, Raya bisa kalap jika lapar.

Raya bangkit hendak membayar semua yang dia makan. Setelah membayarnya, ia kembali duduk sambil memainkan ponselnya. Tak benar-benar fokus pada ponselnya, ia sesekali mengamati jalan raya yang tak padat hari ini.

Hingga matanya langsung fokus pada sebuah motor besar yang ia kenal—berjalan masuk ke gang dekat warung bakso itu.

"I-itu? Manila sama Tommy, 'kan?" Raya tidak menyangka bahwa motor besar barusan memasuki gang tersebut.

Pandangan Raya mengikuti ke mana motor itu pergi. Jika memang tempat tinggal Manila di sebuah perumahan elit, kenapa mereka berdua mengarah ke perkampungan ini?

Bisa jadi saja Manila punya tempat tinggal lain? Entahlah, itu masih menjadi pertanyaan bagi Raya.

Raya menggendong tas ranselnya lalu pergi ke mulut gang dan mengamati dari jauh ke mana motor itu pergi.

You're My Sunshit [SELESAI]Where stories live. Discover now