Apakah aku bisa ketemu Siti Nurbaya, mungkin?

16 0 0
                                    

Ballroom Mulya Hotel at 07.25pm

‘my goodness! Apakah ini yang disebut pesta bangsawan? Karena yang kulihat disini semuanya adalah kaum bangsawan! Mungkin hanya akulah yang berasal dari kaum renaissance.

Edgar mengambilkan 2 gelas sampanye yang ditawari oleh waitress.

“aku tidak bisa minum alcohol.”

“formalitas. Peganglah, aku tidak menyuruhmu untuk minum.” Dan aku pun mengambilnya.

“kalau boleh aku tahu, ini sebenarnya pesta apa?”

“nanti kamu akan tahu.”

Kenapa aku selalu diberi suatu jawaban dimana aku harus mencari tahunya sendiri.

“aku ingin ke toilet.”

“baiklah.”

Sesaat aku terlepas dari genggamannya, rasanya sesak berada dalam ruangan yang besar tapi dipadati dengan begitu banyak tamu undangan seperti ini. Aku lebih memilih dikerubuni anak-anak jalanan dibandingkan oleh mereka dan tempat seperti ini.

Aku berjalan mencari tulisan toilet atau gambar perempuan dengan rok, cukup jauh juga dari ruangan pesta. Percakapan kecil yang kutangkap di toilet ini, menafsirkan sebuah jawaban yang kucari barusan.

“syl, apakah kau melihat pasangannya hari ini?”

“belum, kenapa?” jawab suara yang lebih halus dari suara pertama tadi.

“tidak, hanya bertanya. Tadi aku sempat berkenalan dengannya, lumayan, tapi masih terlihat seperti anak-anak.”

“oh ya?” Tanya suara yang halus tadi seperti tidak yakin.

“apakah kau yakin dia yang akan menjadi tunangannya?”

Terdapat suatu jeda, perempuan yang bertanya itu tidak bisa menjawab. “entahlah, aku tidak yakin.”

“bukankah kamu yang harusnya menikah dengannya?” tanya seseorang lagi namun tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Ku menunggu di balik bilik toilet itu hingga langkah ketukkan heels mereka hilang dibalik pintu. Kemudian kudapati diriku kini sendirian didalam toilet dan kupandangi diriku saksama dibalik cermin, dibalut dengan sebuah white sleeveless mini dress, terlihat menawan seperti yang diharapkan Edgar, didandani menjadi seperti seorang putri, dan aku tidak tahu apa-apa.

“nah ini kau, akhirnya!” jawab Edgar lega seperti mendapatkan mainannya kembali. Ia menungguku didepan toilet dan bergegas menarik tanganku. “mereka sudah menunggu kita, ayo.” Katanya lagi terburu-buru.

“apakah aku…” aku berusaha bertanya dengan suaraku yang kian lama kian mengecil dibandingkan suara mic yang ada didepan kami. Walaupun tidak mengerti dengan percakapan kecil di toilet tadi, tapi aku bukanlah perempuan bodoh disini. Semenjak masuk ke pesta ini, semua orang menatap kami, ya aku dan Edgar. Banyak orang yang datang lalu lalang ketempat kami sekedar mengobrol dan memperkenalkan diriku sendiri. Aku tidak tahu apa itu, tapi acara ini pasti adalah acara yang penting bagi Edgar maupun bagi perempuan dengan suara halus tadi.

“….kami persembahkan Edgar Satria Oei, waktu dan tempat kami persilahkan.” Ucap seorang MC mempersilahkannya naik ke atas panggung hingga aku pun ikut terseret naik bersamanya.

Adrenalinku mengalir begitu deras, sampai aku pun bisa mendengar suara degup jantungku berdetak, nafasku sesak ingin pingsan tapi genggaman jemari Edgar yang kuat terus membuatku sadar untuk tetap berdiri mantap disampingnya. Aku tidak lagi mendengarkan apa yang diucapkannya, walaupun dia tepat berada disampingku. Aku sibuk menyelidiki setiap sudut orang yang bisa kulihat, tapi tak ada yang kukenal satupun. ‘siapa dia sebenarnya? Kenapa aku tidak tahu apapun tentang dia?’ ya jelas aku tidak mengenalnya, dia berbeda jurusan denganku, bahkan aku tidak mengetahui dia mengambil jurusan apa.

Semua orang bertepuk tangan, sepertinya akan turun. Aku menatap Edgar berharap ia segera turun dari panggung ini tapi dia balik menatapku dan menjulingkan matanya kearah tamu undangan. Aku kurang mengerti dan tiba-tiba saja aku langsung tersenyum menatap kearah tamu undangan. Aku sudah tak tahu lagi harus berbuat apa, aku benar-benar ingin pingsan. Kenapa aku mau mengikuti permainan gila ini?!

Seorang gadis kecil membawakan kotak merah dikedua tangannya. Edgar membuka kotak itu dan mengambil cincin yang masih tersemat indah ditempatnya dan menyematkan dijari manis kananku. Dunia seakan-akan ingin runtuh. Aku belum ingin menikah! Dan sekarang giliranku menyematkan cincin itu dijarinya.

Setelah prosesi sakral itu selesai, semua tamu undangan tepuk tangan gembira atas pesta ini yang ternyata adalah pesta pertunangan seseorang bernama Edgar Satria Oei, pemuda tampan yang menggotongku sendirian ketika aku pingsan dari gedung I sampai ke poliklinik, membajak kartu mahasiswaku sampai sekarang, and I don’t know anymore, its too fast….

“jadi ini pilihanmu?” Tanya seorang wanita paruh baya dengan nada judes mengenakan kebaya putih yang mengkilap indah, menghampiri kami ketika kami telah turun dari atas panggung.

“iya oma.” Jawabnya mantap.

“namamu siapa?” Tanya nenek itu lebih halus menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Indah Andreana, oma.” Jawabku kemudian sungkeman ditangannya.

“masih kuliah? Tinggal dimana?” tanyanya lagi dengan nada lebih lembut lagi sambil mengernyitkan keningnya akan tingkahku.

“iya oma, di daerah Gorlon.”

“kamu anak daerah? Keluargamu kerja apa?”

“oma, oma janjikan tidak akan menyinggung soal latar belakang keluarganya.”

Oma menatap tajam kearahnya, menandakan beliau tidak suka pembicaraannya disela orang lain.

“iya, aku anak Celebes. Mamahku usaha kecil-kecilan dirumahnya.”

“seperti?” Tanya oma dengan nada mendesak.

“Oma” sela Edgar merasa pertanyaan Oma terlalu intimidatif.

Oma menghela nafas panjang sepertinya berusaha menerima kenyataan yang mungkin baginya pahit ini. “baiklah oma akan membicarakan hal ini dengan orang tuamu. Bagaimana dengan ayahmu?”

“separated. Aku dibawah asuhan mamahku.”

Oma manggut-manggut mengerti.

“apakah oma akan menceritakan hal ini pada orang tuaku?”

“tentu saja, ini adalah suatu hal besar, kita harus membicarakannya sebagai suatu keluarga besar juga.”

“tapi oma, bisakah aku yang membicarakan hal ini dengan mamah. Mamah mungkin akan berpikiran yang tidak-tidak tentang diriku jika mengetahui hal ini dari orang lain.”

“jadi orang tuamu belum tahu akan hal ini?”

Aku mengangguk pelan seakan-akan aku yang salah tidak memberitahukan hal sepenting ini kepada orang tua. Oma berpaling menatap tajam Edgar, matanya menyiratkan suatu pertanyaan besar ‘bagaimana mungkin hal sepenting ini tidak diketahui oleh orang tuanya?’ Aku kemudian menatap Edgar berusaha mencari bantuan, dan sepertinya dirinya sendiri juga sangat butuh bantuan jika ini sudah harus menyangkut orangtuaku.

Oma berpaling menatapku, memberikan senyum keibuannya, ‘apakah ada yang lucu? Itu benarkan, jika orang tuamu mendapatkan anaknya telah melaksanakan pertunangan itu menandakan anaknya telah MBA atau sejenisnya.’

“tenanglah, oma tidak akan membicarakan hal yang macam-macam.”

“tapi oma, kumohon. Aku takut pada mamahku.” Ucapku sungguh-sungguh. ‘sungguh aku lebih takut pada mamahku dibandingkan dengan setan!’

Oma tertawa lagi, “baiklah, baiklah, kamu yang akan membicarakan hal ini dengan mamahmu, bicarakanlah dengan baik supaya kamu juga mendapatkan restu dari mamahmu.”

Spontan aku langsung tersenyum sumringah oma membiarkan aku mengatakan langsung hal ini pada mamah. ‘astaga aku punya tugas yang berat sekarang.’

“sebaiknya kamu tinggal dirumahnya Edgar, ini sudah malam. Nanti saya akan menyuruh supir untuk mengantar kalian pulang.” Perintahnya.

Aku tidak tahu apakah ini mimpi atau kenyataan, tapi ketika aku mendapatkan suatu sensasi rasa sakit setelah aku mencubit tanganku, rasanya…. Ini bukan mimpi! Dan cincin berlian itu masih ada di jari manisku!! Ini nyata for godsake!!! Bahkan Siti Nurbaya hanyalah sebuah dongeng belaka, tidak lebih dari ini.

Disenchanted, When The Lights Went OutWhere stories live. Discover now