I'm dancing on my own

8 0 0
                                    

“maukah kau berdansa denganku?” terdengar suatu bisikan halus yang sangat familiar dibelakang telingaku. Aku berbalik mencari sosok yang berbisik itu.

“Kevin?” tanyaku kaget. “apa yang kau lakukan disini?” tanyaku lagi melepaskan minuman ringan yang kupegang daritadi, menunggu Edgar yang entah hilang kemana.

“harusnya aku yang bertanya, kenapa kau bisa menjadi tunangannya Edgar.”

“ehm itu…. Aku….” Jawabku terbata-bata.

“ada yang salah?”

“tentu saja tidak.” Jawabku mantap. “oh maksudku iya, ada sesuatu yang salah disini.” Jawabku gagap lagi. 

Seperti biasa Kevin hanya memberikan senyum kecilnya lagi padaku. Hatiku nyaman bersamanya, tapi entah mengapa dia tidak demikian. Hari ini dia begitu gagah bak seorang pangeran berkuda putih datang untuk membangunkan sang putri yang telah tertidur sangat lama. Dongeng sleeping beauty sirna sekejap dalam sekali kedipan mata, aku berada dalam dunia nyata dan aku bukanlah putri yang akan dibangunkan oleh sang pangeran, Kevin.

“by the way, would you mind to dance with me?”

“I cant.” Desisku putus asa. “I cant dance.”

“oh just come, I will teach you somehow.” Bujuknya lagi dan tanpa basa basi meraih tangan kiriku mengajak ke tengah-tengah ruangan yang dijadikan sebagai dance floor.

“Kevin…” desisku lagi.

  ‘Everything by lifehouse’ menjadi backsound dansa kami berdua. Kevin meletakkan tangan kanannya yang begitu besar ke pinggangku yang kecil ini, menggenggam lembut jemari kiriku dan berdansa begitu halusnya. Aku berusaha mengikuti gerakannya tapi kadang kala aku tak sengaja menginjak kakinya. Bersandar dibawah dadanya yang besar, aku bisa mendengar detak jantungnya sayup-sayup dibalik tulang iganya dan nafasnya yang berhembus dirambutku.

‘You're all I want 
You're all I need 
You're everything, everything’

Sebuah penggalan lagu yang sangat kuingat, ingin sekali penggalan lagu ini kuberikan pada Kevin. Ku menatap wajahnya yang bersinar dibalik temaram lampu yang sedikit diredupkan dan bulir-bulir kecil air mata pun berjatuhan.

“apakah kau mencintainya?”

“huh?”

“Edgar, apakah kau benar-benar mencintainya?” Tanya Kevin lagi.

“apa maksudmu?”

“kalau kamu mencintainya, kamu tidak akan menangis seperti sekarang.”

“aku tidak menangis.”

“jangan berbohong padaku Indah, aku mengenalmu lebih dari siapapun.”

Aku terdiam seraya menunduk mendengar kata-katanya. Ketika Kevin mengucapkan nama depanku artinya dia serius dengan percakapan yang dia bicarakan.

“entahlah..”

“jangan bertindak bodoh! Kamu tidak tahu apa-apa tentang dia.” Balasnya lagi masih dengan nada suara yang sama.

“apakah kau telah mengenalnya?” tanyaku menatap wajahnya langsung.

Kevin tak bergeming sedikitpun, dia berusaha mengalihkan pandangannya berpura-pura mengatur langkah kakinya.

“kenapa kau tidak mengatakannya padaku?” tanyaku keras.

“apakah kau ingin aku berbuat demikian?”

“tentu saja!” jawabku mantap. “tapi tidak usah, semuanya sudah terlambat, kau sudah dalam jalanmu sendiri.”

“jadi apakah kau menerima dia, dan tidak ingin aku merebutmu kembali?” desaknya dengan nada kecewa.

Disenchanted, When The Lights Went OutWhere stories live. Discover now