Bab 3

39.7K 3.3K 34
                                    

Dengan tatapan kosong Indira memandang lurus pada layar televisi.

"Besok aku pulang. Ikut?" Indira menoleh sesaat ke arah Panji yang sudah duduk disebelahnya. Tadi siang begitu ia mendapat kabar yang cukup menggembirakan sekaligus membuat jantungnya berdenyut nyeri ia langsung memberitahukannya pada Panji, dan seperti biasa Panji tetap menanggapi dengan tenang.

"Dalam rangka apa?" tanya Indira. Ia tahu kesibukan sangat menyita waktu Panji dan biasanya ia akan pulang ke rumah orang tuanya jika ada acara penting saja.

"Mama bolak balik telpon. Ada libur dua hari jadi aku sempetin pulang."

"Oh."

"Jadi?"

"Ikut," ucap Indira sembari tersenyum tipis, "udah lama juga nggak ke makam."

***

Ibu Panji menahannya untuk sekedar memakan barang sesuap nasi, Indira mengikutinya dan setelahnya Indira meminta izin dengan sopan untuk menuju ke rumah yang sudah tak berpenghuni tepat di ujung jalan komplek.

Tadi ia sempatkan ke makam, tapi hanya sampai tepian jalan ia meminta Panji memutar balik mobilnya. Ia sadari telah banyak merepotkan Panji, tetapi hatinya tidak akan siap untuk menghadap tiga makam orang tersayang dihidupnya dengan tenang. Ia pasti akan menangis sejadi-jadinya.

Lebih dari sepuluh menit Indira melamun di depan gerbang rumah yang kini tampak sedikit usang dengan tangan menggantung memegang kunci. Tersadar. Indira membuka gembok pintu gerbang, menggeser pelan hingga menimbulkan bunyi berderit.

Rumah dua lantai dengan halaman yang cukup luas. Rumput tampak sedikit meninggi, biasanya Ibu Panji akan menelpon hanya sekedar mengabarkan jika ada tukang potong rumput, dan biasanya juga Indira akan langsung mengiyakan tawaran Ibu Panji. Indira tidak mengutus siapapun untuk menjaga rumahnya, hingga begitu ia membuka pintu rumahnya bau debu langsung terasa dihidungnya.

Tak ada yang berubah, semua barang terletak ditempatnya hanya tertutup helaian kain putih, masih sama seperti kenangannya lima tahun yang lalu sebelum ia memutuskan untuk hijrah ke Ibukota.

Dua belas tahun yang lalu Ibunya meninggal karena penyakit tuberkulosis, sudah lama Ibunya terjangkit virus itu dan kematian Ibunya adalah sesuatu yang sudah diikhlaskan meskipun saat itu ia baru berusia lima belas tahun dan harus kehilangan sosok Ibu. Ayahnya menyusul Ibunya sekitar tiga tahun yang lalu, meninggal karena penyakit diabetes. Indira hanya merasa sedih sebentar karenanya, ia paham jika itu sudah digariskan oleh Tuhan.

Indira membuka pintu kamar Adara, kakaknya. Lututnya langsung merasa lemas, ia tak pernah berani untuk memasuki area Adara, kenangan tentangnya akan selalu membekas dalam ingatannya, Adara sangat lembut dan penyayang, ia juga pintar dan mudah untuk dicintai, banyak orang yang ingin dekat dengannya dan kadang membuat Indira merasa rendah diri karena sang kakak memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan dirinya. Adara juga menjadi kebanggaan ketika ia berhasil lulus menjadi mahasiswi kedokteran, semuanya terasa sempurna sebelum kejadian mengguncang yang membuat Indira menjerit tak percaya.

Ia tidak bisa membentengi diri untuk tidak merasa marah yang berujung pada dendamnya hingga saat ini, saat kakak yang paling dicintainya. Orang terdekatnya. Orang yang senantiasa menggantikan peran Ibunya dan mendengarkan berbagai keluh kesahnya, meninggal dengan cara tidak wajar. Ia tidak dibunuh, melainkan bunuh diri, suatu hal yang sampai saat ini ditampik oleh batin Indira.

Kakaknya tidak mungkin meninggalkannya dengan cara seperti itu. Mereka tidak berkekurangan, mereka juga dibesarkan dengan kasih sayang, sulit rasanya memahami situasi dimana kakaknya memilih mengakhiri hidup dengan menerjunkan mobil ke jurang. Rasa tidak percaya itu diperparah dengan keterangan polisi yang mengatakan kalau kakaknya dengan sengaja mengiris urat nadinya, ketika mobil yang diterjunkannya tak berhasil membuat nyawanya melayang.

Revenge Where stories live. Discover now