ORANG tua itu agaknya senang sekali melihat ada orang bertanya kepadanya dan memberi kesempatan kepadanya untuk bercerita, maka ia lalu tarik tangan Lie Bun diajak keluar dari tempat yang berjejalan itu. Mereka lalu keluar duduk di atas rumput yang tumbuh di pinggir jalan.
Mula-mula orang tua itu agak heran melihat pakaian dan keadaan Lie Bun, tapi karena pada masa sesukar itu memang banyak orang kelihatan seperti pengemis. Ia lalu tidak perdulikan lagi.
"Kelenteng ini adalah tempat berkumpul atau pusat perkumpulan Bu-gi-hwee, sebuah perkumpulan yang kuat di kota ini, karena Coa-tihu sendiri ikut menjadi pengurus. Juga banyak hartawan di sini ikut pula menjadi penyokong hingga kedudukan Bu-gi-hwee sangat kuat. Untuk memilih anggota, maka selalu diputuskan oleh para pengurus, karena tidak sembarang orang boleh masuk menjadi anggota. Beberapa bulan yang lalu, seorang hartawan besar hendak masuk menjadi anggota. Tapi karena ia orang baru di kota ini dan pula pernah terjadi pertengkaran antara dia dengan seorang pengurus, hartawan she Kwa itu ditolak. Inilah yang menimbulkan hal kehebohan hari ini. Hartawan ini lalu masuk diperkumpulan Sin-seng-hwee yang berada di kota Nam-kiang yang tak jauh dari sini. Dan dengan adanya Kwa-wangwe di situ, maka perkumpulan itu menjadi besar dan kuat karena Kwa-wangwe selain kaya, juga ia mempunyai jago-jago silat yang berkepandaian tinggi. Selain itu ia mempunyai keluarga yang berpengartuh di kota raja, karena anak perempuannya kawin dengan seorang pembesar berpangkat teetok."
"Setelah merasa diri kuat, maka mulailah terjadi persaingan di antara Sin-seng-hwee dan Bu-gi-hwee, yang terjadi karena para anggota dan anak buahnya meniru sikap ketua masing-masing. Sebenarnya di antara Kwa-wangwe dan para pengurus Bu-gi-hwee hanya ada sedikit ketidak cocokan, tapi oleh para anggotanya persaingan itu dibesar-besarkan."
Ketika mendengar betapa orang tua itu ceritanya berkepanjangan, Lie Bun bertanya dengan halus.
"Lopeh, biarlah hal itu tak usah kita percakapkan. Yang hendak kuketahui hanya lui-tai ini apa maksudnya dan dibuka oleh siapa?"
Empe itu merasa kurang senang karena ceritanya diputus oleh pendengarnya, tapi karena pemuda itu bicara dengan gaya sopan dan halus, ia hanya berkata.
"Yang sedang kuceritakan ini langsung berhubungan dengan panggung lui-tai hari ini. Biarlah kupersingkat ceritaku. Permusuhan antara Bu-gi-hwee dan Sin-seng-hwee menjadi-jadi dan para hartawan dan bangsawan di kota Tung-kiang ini mengadakan adu jago dengan taruhan bahwa yang kalah harus membubarkan perkumpulannya dan menggabung kepada perkumpulan yang menang. Maka didirikanlah panggung lui-tai ini untuk mengadu jago."
Lie Bun terheran mendengar ini. "Dan yang mengadakan adu jago ini termasuk pembesar-besar sendiri?"
Empe itu mengangguk. "Ya, selain pertaruhan di antara kedua perkumpulan, banyak juga uang dipertaruhkan di antara para hartawan. Kabarnya sampai puluhan ribu tail perak!"
"Siapakah yang akan diadunya?" Lie Bun bertanya dengan hati tertarik sekali.
"Siapa lagi kalau bukan guru-guru silat kedua pihak? Aku sendiri tidak tahu siapa, tapi yang pasti tentu akan terjadi pertempuran hebat dan mati-matian karena kedua pihak mempunyai ahli-ahli silat yang pandai. Kabarnya akan diajukan masing-masing tiga jago silat!"
Mendengar keterangan ini, Lie Bun merasa tertarik sekali dan mereka berdua segera mendesak kembali ke tengah untuk menonton pertandingan hebat yang akan diadakan. Anak muda ini merasa sangat gembira hingga melupakan gurunya dan ia mendesak sampai di depan sekali, di mana berdiri penjaga-penjaga yang melarang orang luar memasuki pekarangan itu.
Ternyata kini kursi-kursi di pekarangan yang mengelilingi lui-tai telah penuh diduduki orang. Bagian kiri diduduki oleh rombongan tuan rumah, pembesar-besar dan hartawan-hartawan Tung-kiang, sedangkan di bagian kanan diduduki oleh pihak tamu dari Nam-kiang. Di atas panggung telah berdiri seorang tua berpakaian bangsawan, dan dibelakangnya berdiri tiga orang-orang tua yang tampak gagah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Bermuka Buruk - ASKPH
General FictionDiam-diam Lie Bun tersenyum. Ah, julukan ini tidak lebih buruk dari pada Si Topeng Setan, yakni julukan yang dulu kakaknya memberinya. Kemudian ia perhatikan kakaknya yang mulai bertanding. Hok Hwat Hwesio menjadi marah dan kirim pukulan berat ke ar...