Bagian 3: School Folks (Edited)

151 3 2
                                    

What do you think about first day school?

Bangun kesiangan? Ketinggalan dompet? Telat gara-gara macet? Gebetan di sekolah?

Bagi para siswi Sekolah Patih Jelantik, hari pertama sekolah berarti kembali mengepang rambut serta menyematkan jepit rambut berbentuk bunga kamboja. Sedangkan bagi para siswa, berarti kembali mengenakan udeng putih—sejenis ikat kepala khas Bali.

Rambut sebahu Ella terlalu pendek untuk dikepang, sehingga pelayannya hanya mengepang sedikit rambut bagian depan hingga samping—seperti biasanya—lalu menyematkan jepit kamboja di dekat telinganya.

Ella beranjak ke cermin besar, memastikan kemeja putih lengan panjangnya masuk dengan rapi ke dalam rok batik sebetis bermotif ondel-ondel biru-toska berwarna dasar putih.

Banyak yang menganggap seragam tersebut aneh karena menggabungkan batik Jakarta dengan aksesoris Bali. Tapi ketahuilah bahwa ini adalah satu-satunya seragam sekolah yang pernah dibahas dalam majalah Teen Vogue Asia, perancangnya? Tentu saja Victoire Martin.

Seragam Sekolah Patih Jelantik terkenal saklek, tapi siswanya bebas memilih alas kaki. Ini membahagiakan bagi Ella, karena ia sulit berpaling dari sepatu-sepatu Salvatore Ferragamo. Kali ini ia memilih ankle boots hitam yang beraksen garis warna rose dan biru muda.

"Sacrebleu!" ujar Victoire saat Ella muncul di ruang makan, "Not-that-shoes-again."

Victoire kerap mengkritik sepatu tersebut. Bukannya tak suka Salvatore Ferragamo, tapi menurutnya warna dan garis-garisnya terlalu menabrak motif ondel-ondel di roknya.

Ella tak ambil pusing. Ia duduk di kursinya yang biasa dan mengambil sebuah croissant. Victoire masih mengomel—dalam bahasa Perancis—saat ia menuangkan the earl grey dari teko ke dalam cangkir milik Ella.

"What's that thick book about?" tanya Victoire ketika Ella mengambil sebuah buku tebal yang baru saja dibawakan oleh Dewi—kepala pelayan di rumah tersebut.

"Ini? Fisika, Ma," jawab Ella, seraya memasukkan buku lain yang lebih tipis ke dalam backpack Dior stardust hitam dengan tali berwarna biru muda serta manik-manik warna-warni.

Ia memang menghabiskan waktu untuk merevisi rancangannya di Bali sehingga baru kembali ke Jakarta tadi malam dan tak sempat menyiapkan buku. Ngg, sebenarnya Ella memang tak pernah menyiapkan buku-bukunya, kepala pelayannya yang selalu melakukannya.

"Aah, at least your backpack matches both your shoes and skirt," komentar Victoire. Alih-alih mengomentari buku tebal tadi, malah kembali mengomentari sepatu dan kini tasnya.

Suara klakson mobil yang nyaring mendadak terdengar dan berhasil mencegah Victoire untuk berkomentar lebih jauh. Dari suaranya, mestinya mobil tersebut berada di depan rumah.

"Ricci ganti mobil?" tanya Victoire, dahinya berkerinyit.

Ricci memang selalu menjemput para sahabatnya—mengingat limusin Rolls Royce Phantom miliknya terlalu besar untuk dirinya sendiri, sehingga Victoire hapal dengan suara klaksonnya. Perkaranya, suara klakson yang kala itu terdengar memang berbeda dari biasanya.

Ella melirik jam tangan Dior yang dikenakannya—salah satu seri Grand Soir Kaleidiorscope—lalu menggelengkan kepalanya. Masih pukul enam pagi, Ricci tak mungkin menjemputnya sepagi itu karena sekolah mulai pukul delapan.

"Atau mungkin itu teman kencanmu di Bali," terka Victoire.

"Udah balik ke Stanford, Ma. Lagian dia bukan siapa-siapa, kok. The Elite's Line kan emang suka lebay," sahut Ella, sewot, meskipun sebetulnya ia penasaran dengan kabar Gandhi.

The Elite's Line: Social Trap!Donde viven las historias. Descúbrelo ahora