01 | Ramadhina

44.5K 3.7K 56
                                    

Please, enjoy it.

<><><><>

Ini akan jadi kepulangan pertama Raina setelah dua tahun melarikan diri dari tanah tempatnya tumbuh. Menebas kesakitannya dengan memulai hidupnya yang baru bersama lingkungan yang lain. Nyatanya berhasil. Tak sekalipun harapan kecil untuk menjadi bagian penting dari pria milik orang lain itu berani menyelinap dalam otak juga sanubarinya. Sekalipun nama itu terlintas, Raina hanya akan mengingat bagaimana kurang ajarnya pria itu melukai perasaannya. Hanya itu.

Sudah, Raina. Hati kecilnya memperingatkan. Dari dalam angkutan desa yang akan membawanya menuju gang kecil rumah sederhana milik bapak juga ibu, Ia memandang hamparan sawah yang telah menguning. Padi-padi itu merunduk dalam, seolah takut pada matahari juga penciptanya. Beberapa petak sawah, bahkan sudah panen. Tersisa batang-batang yang ditinggalkan oleh buahnya. Sebagian dari petak-petak itu dikerumuni banyak sekali warga. Dari pria hingga wanita, mereka gotong-royong menuai padi. Biasanya mereka tidak akan dibayar dengan uang, melainkan dengan beberapa kilo padi basah yang jika sudah dijemur akan menyusut setengahnya. Begitulah hidup di desa. Tidak semuanya diperhitungkan dengan angka.

Lahan persawahan mulai hilang. Matanya disuguhi oleh deretan rumah warga yang mulai menjamur. Raina tersenyum kecil. Dua tahun lalu, rumah-rumah di desa ini tidak semegah ini. Hanya rumah sederhana dari kayu yang di pasah. Beberapa lantainya juga hanya pasir yang dicampur dengan semen, yang terasa menusuk tiap kali dipijak dengan kaki telanjang. Bukan keramik bahkan marmer yang mahal. Rupanya para penduduk desa mengalami peningkatan pendapatan. Entah dari sawah mereka yang sukses panen, atau dari kiriman anggota keluarga mereka yang bergaji tinggi karena menjadi TKI di luar negeri.

Rumah tuan tanah pastilah yang paling megah. Sementara rumah-rumah lain tak memiliki pagar, kediaman tuan tanah terlalu sombong dengan pagarnya yang tinggi menjulang. Rumah-rumah lain menggunakan pot bunga dari plastik, sementara istana tuan tanah menggunakan pot-pot besar nan cantik. Oh, jangan lupakan dua buah mobil pribadi juga dua buah pick up yang memenuhi halaman luas istana bernuansa hijau itu.

"Gang depan kiri, Pak." ujar Raina pada sopir angkutan desa yang gemuk juga hitam terbakar panasnya matahari.

Tepat di sebuah gang kecil yang ia sebut, roda angkutan desa warna biru ini berhenti. Setelah membayar ongkos, Raina menurunkan tas berisi beberapa helai pakaiannya. Juga sebuah kardus tak seberapa besar. Ia tak akan lama di sini, hanya seminggu puasa juga tiga hari setelah lebaran. Entahlah, Raina tidak betah tinggal di desa ini, kendati ia tak sampai hati meninggalkan rindu di hati bapak dan Ibu.

"Mbak Raina, pulang?" itu pekikan kecil dari Susan. Gadis kecil yang kini mulai beranjak remaja. Dua tahun lalu, gadis itu masih SMP, dan sekarang ia terlihat cantik dari seragam putih abu-abunya.

Raina tersenyum kecil, menanggapi antusiasme Susan, "iya. Kangen bapak sama Ibu. Udah besar kamu sekarang, ya? Cantik." Raina menyentil poni ke samping gadis itu. Terlihat centil dengan tambahan bando warna pinknya.

"Mbak Raina bisa aja," Susan tersipu malu, ia membantu membawakan tas tetangganya ini, berjalan berdua melewati jalanan yang berkerikil kecil, "ini oleh-oleh ya, Mbak? Bakpia atau geplak? Bagi dong?"

"Boleh-boleh. Main ke rumah nanti waktu buka ya?"

"Siap. Mbak Dina udah nikah loh, Mbak. Udah tahu belum."

Dina itu salah satu sahabat karibnya semenjak kecil. Mereka bersekolah di tempat yang sama hingga Sekolah Menengah Atas. Selepas itu, Dina memutuskan untuk bekerja di salah satu Supermarket di kota, sementara Raina melanjutkan jenjang pendidikannya. Semenjak itu, persahabatan mereka sekadar ala kadarnya. Tak seakrab dulu, hanya sesekali bertukar sapa via pesan singkat.

KulavargaWhere stories live. Discover now