14 | Memangkas Jarak

28.1K 3.1K 42
                                    

"Kemarin ke mana saja?"

"Main. Dari pada di dormi sendirian. Yang ada aku bakal gangguin me time kamu sama anaknya duda itu."

"Gak boleh bicara gitu."

"Ya. Gak boleh bicara gitu." ulang Abyan dengan nada mengejek.

Pria ini tengah marah. Sesampainya Raina di kamar kosnya yang gelap semalam, Raina buru-buru mengisi daya ponselnya. Ia tinggal membersihkan diri, juga menunaikan ibadah isya'. Raina tak ikut bergabung dengan dengan Dhea juga Vanya yang tengah betekur dengan sebuah serial dari negara bombay. Memilih langsung melempar tubuhnya di atas ranjangnya yang tak seberapa empuk.

Matanya nyalang menatap langit-langit kamar yang tak diberi plafon. Benar-benar hanya genting yang berwarna coklat tua hasil bakaran api. Jika hujan turun begitu deras, genting itu akan basah. Tak jarang merembes, hingga meneteskan beberapa titik air. Raina merasakan kantuk, tapi batinnya tak mendukung. Perasaannya tercerai jadi dua. Lega, karena rasanya semakin mudah untuk kembali menyambung silaturahmi dengan Yuda. Sesak, karena Abyan tetap saja tak berusaha menghubunginya. Pria itu marah. Benar-benar kekanakan.

Maka Raina mengambil inisiatif. Ia menghubungi nomor Abyan. Dan hanya di sambut oleh suara operator yang mampu menggugah dengusan sebalnya. Abyan sudah pasti sengaja mematikan ponselnya. Raina membuang napas sekali lagi. Ia mengirim pesan pada Abyan. Melampirkan puluhan kata maaf. Semoga pria itu mengerti posisinya.

"Kemarin Mas bilang silahkan. Kenapa sekarang malah marah sama aku?"

"Mmm."

"Jangan kekanakan dong, Mas?"

"Mmm."

Pria ini …

"Maaf. Gak tahu lagi harus ngomong apa. Aku salah, maka dari itu aku minta maaf."

"I need a cup of coffee to this case."

Raina mendengus, "Maafmu hanya seharga dengan secangkir kopi, huh?"

"Ya sudah kalau—"

"Fine. Aku traktir kopi nanti."

"Nah gitu dong," Abyan bisa mengeluarkan tawa sekarang. Begitu lepas, seolah ia baru saja mendapat undian milyaran dolar,  "tapi aku yang bayar. Kamu pilih tempatnya saja." tambahnya kemudian.

"Kenapa begitu? Kan aku yang mau minta maaf."

"Masak cowok sekeren aku dibayarin. Harga diriku bisa jatuh berantakan nanti." katanya dengan diiringi tawa yang menggelegar.

Raina tidak menanggapi dengan serius. Menginterupsi saja ia tak berani. Tawa Abyan hilang setelah menyadari kesenyapan Raina. Suara berat itu berganti menginterogasi kegiatan Raina seharian ini. Dari melakukan apa saja dengan Rania, hingga melakukan apa saja dengan Papanya Rania. Gaya bertanya pria tiga puluh tahun ini serupa polisi yang tengah menangani sebuah kasus besar. Memaksa sampai Raina menjawab. Jawaban pun harus sejelas mungkin, tak boleh hanya retoris apalagi sebuah gumaman. Jika Raina tetap menolak, Abyan akan memakai pusaka terakhirnya. Diam.

Diamnya Abyan entah bagaimana bisa membuat Raina kalang kabut. Ia tak ingin mengecewakan pria ini, entah karena alasan apa. Hati kecilnya membenarkan untuk tak menyembunyikan apapun pada pria ini. Namun Raina takut menceritakan segalanya untuk kemudian membuat Abyan terluka. Seperti kali ini, Abyan membiarkan menit bergulir berlalu tanpa arti sedetik bibir Raina berhenti menceritakan segalanya. 

"Dia punya maksud lain, Ai." ujar Abyan tidak menyetujui kelapangan hati Raina untuk kembali menjalin silaturahmi dengan Yuda.

"Jangan berprasangka buruk begitu, Mas. Tidak akan ada yang berubah dengan keputusanku. Aku benar-benar hanya berteman dengan Mas Yuda. Percaya sama aku, Ya?"

KulavargaWhere stories live. Discover now