22 | (Bukan) Pamit

28.3K 3.1K 124
                                    

Bahkan sang mentari masih malu-malu menampakkan terangnya. Namun Raina dan Abyan telah lebih dulu bermandi keringat. Minggu pagi yang melelahkan. Sungguh.

"Ngaku kalah aja, Ai?"

"Gak ada !!"

"Napas udah ngos-ngosan gitu."

"Makanya Mas jangan cepat-cepat larinya. Toleransi... ah sama istri !!"

"Mana ada kata toleransi saat lomba, Sayang." ucap Abyan sembari tertawa. Ia menyetarai derap lari istrinya yang mengecewakan. Mirip siput, "ku tunggu di garis finish. Perempatan itu belok kanan. Setengah kilo lagi. Semangat, Ai." teriaknya menyebalkan lalu berlari dengan kecepatan yang seharusnya. Derai tawanya masih tertinggal di telinga Raina.

"Mas Abyan nyebelin !!" teriak gadid itu dengan bibir memberengut. Teriakan itu seperti penyemangat untuknya. Ia harus menang. Abyan yang jahat harus diberi pelajaran.

Raina menambah laju larinya. Napasnya benar-benar bisa habis. Jantungnya benar-benar bisa meluruh ke tanah, jika penyiksaan ini tetap diteruskan. Mau di tambah sebanyak apapun tak akan bisa menandingi laju suaminya. Menyerah. Raina menjatuhkan dirinya di rerumputan samping track jogging. Menselonjorkan kaki. Mengatur napas. Memejamkan mata yang berkunang-kunang.

Bodoh, karena menyanggupi tantangan Abyan semalam. Harusnya ia tak mengeluh saat pundaknya merasakan pegal-pegal setelah merombak beberapa letak furniture rumah biru. Harusnya ia tak kalap, hanya dengan iming pijitan di kaki dan lengan selama seminggu penuh. Harusnya ia tahu, jika Abyan jelas tak bisa dikalahkan soal olahraga. Bodoh. Raina bodoh, karena gampang saja dibodohi oleh Abyan.

"Hassh." erang Raina lalu beranjak bangkit. Baru seperti ini kakinya sudah merasakan kakinya hampir rontok. Belum lagi, bayangan ia harus memijit kaki juga lengan Abyan membuat ia makin jengkel.

Tak ia teruskan larinya. Ia berjalan begitu santai. Satu dua langkah, sepatu kets warna birunya menapaki track yang berwarna merah. Tangannya ia ikat di balik punggung. Hawa dingin bercampur embun yang tersisa membelai halus wajahnya. Raina begitu santai, sesekali bersenandung kecil. Toh tak ada gunanya lagi, sudah barang tentu Abyan tengah tertawa lebar merasa menang. Mata Raina sibuk berkeliling. Menerbitkan senyum, kala matanya bersiborok dengan beberapa orang. Netranya dimanjakan. Selalu terkagum-kagum pada lahan rumah-rumah yang begitu rapi. Entah itu dihiasi bunga, atau sekadar jejeran tomat yang berbuah. Raina bahkan sempat melihat pohon blueberry yang sudah berbuah masak. Ah. Weekend depan, ia harus menarik Abyan untuk berkebun bersamanya.

Raina memicing kala matanya sudah menemukan Abyan yang tengah duduk berselonjor di bawah sebuah pohon. Senyumnya melebar, kala matanya bersiborok dengan mata Raina yang berkilat sebl. Tangannya terangkat ke udara, memamerkan sebotol air mineral dingin. Pasti nikmat. Batin Raina merasakan kerongkongannya yang kering.

"Nggak usah senyum-senyum !!" sentak Raina kasar.

Alih-alih marah, Abyan malah tergelak keras. Pria itu bangkit, menarik Raina untuk ikut menselonjorkan kaki. Menyerahkan sebotol air mineral, yang langsut disaut dengan cepat oleh Raina.

"Itu haus apa haus, Ai."

Raina tak peduli. Ia tetap meneguknya cepat.

"Ingat suami !!" tambah Abyan lagi masih dengan senyum geli.

Ah. Paham. Raina menjauhkan botol itu dari bibirnya. Masih setengah. Dan sebenarnya dia masih haus. Tapi apa boleh buat, jika Abyan ternyata juga belum minum. Abyan menerimanya dengan kekehan menyebalkan. Mulai menegaknya dengan perlahan. Jakunnya naik turun. Rahangnya ikut bergerak. Belum lagi peluh, yang membasahi kulit Abuan yang kecoklatan. Pamer. Pria ini sedang pamer.

KulavargaWhere stories live. Discover now