III

65 9 1
                                    


Hari ini, selasa, setiap pulang sekolah, kelas Celia kebagian jadwal praktikum, entah apa yang dipelajari, Celia tetap mengikutinya, walaupun itu sangat menyita waktu istirahatnya. Celia masuk dengan wajah yang suntuk, sejak kemarin malam dia memimpikan kakaknya, Egar, yang entah dimana sekarang, bahkan ia tidak mempunyai nomor ponsel kakaknya hingga sekarang. Egar memang sudah 6 tahun pergi dari rumah, akibat ayah ingin Egar menjadi seorang arstiek atau ahli hukum, namun Egar mengelak, ia tidak ingin menjadi seperti ayahnya, selalu berkerja dibawah tuntutan ini itu. Ia ingin bebas, seperti angin yang pergi kemanapun tanpa ada beban sama sekali, ia memang menekuni di bidang seni musik. Setiap hari sepulang sekolah, ia selalu mengajak Celia dan Kak Eify ke studio musik, menunjukan kemampuannya didepan adik-adik tersayangnya, namun setelah pertengkaran ayah dan bunda mengenai masa depan kak Egar, ia merasa kalau ini sudah menjadi hal yang buruk dalam kehidupannya, ia memilih untuk pergi tanpa sepengetahuan keluarganya, ia hanya memberi sepucuk surat untuk kak Eify dan Celia berserta sebuah pick bertuliskan EEC dengan kilat perak kecil di pojok bawah pick itu. Bunda mendapat kartu dan sebuah surat bertuliskan,

'Bun, maafin kakak pergi tanpa ngasih tau bunda, ini kartu atm hasil kakak manggung, bunda boleh nyimpen atau dipake untuk keperluan Eify sama Celia, kalau bunda butuh, pakai aja, kakak pasti ngirim walapun enggak setiap bulan. Maafin kakak selalu pulang malem dan engga belajar sama sekali. Bilangin ayah kakak minta maaf gabisa jadi yang ayah mau, udah cukup masalah ayah sama bunda tentang kakak, aku bisa jaga diri sendiri, aku udah gede, bunda gausah khawatir, kakak gajadi anak yang nakal, kakak selalu pulang sore, maafin kakak pergi kayak gini, buat Eify sama Celia kakak selalu ngejaga kalian dari jauh. Kakak bakal pulang tapi engga sekarang.' Kepergian kak Egar memang Celia tidak bisa memaafkannya. Egar pergi setelah mengucap selamat ke Celia karena menang lomba gitar vocal.

"Cel, itu guru daritadi nerangin, kamu ngerti ga? Jelasin dong, aku gangerti sama sekali." Nisa menggoyangnkan badan Celia agar sadar dengan ucapan guru kimia, entah sudah keberapa kalinya ia melamun disetiap pelajaran.

"Hah?? E-e-iyaa itu maksudnya nanti kita masukin garam secukupnya, terus diaduk abis itu disaring pake kertas saringan, nah terus kita tuang ke mangkuk, nanti kita bakar sampe airnya habis, nah terus kita ngeliat garamnya jadi kristal apa engga, maaf ya kalo salah, eheheh aku lagi gafokus nis maaf" jawab Celia sambil menatap Nisa dengan penuh penyesalan

"iya gara-gara mikirin Devon jadi ngelamun mulu kerjaannya dia.." celetuk perempuan bernama Gladis Alena Arntavenna, tepat persis di seberang Nisa, dua kelompok dari kelompok Celia adalah Devon, mungkin sedari tadi Devon melihat Nisa, Celia dan Gladis secara seksama, sudah jelas sekali kalau Devon mengetahui percakapan 3 orang ini, Celia yang sudah sadar ketika Nisa menggoyangkan badannya berkali-kali, kini menatap garang sahabatnya yang secara blak-blakan menyebut nama Devon didepan Nisa yang memungkinkan terdengar oleh Devon sendiri.

"Orang gila, emang. Asal nyaut aja, belajar Dis, udah tau nilai kimia lo begitu, bukannya ikutin instruksi malah nyelosor omongan gue sama Nisa," mengalihkan topik yang dibicarakan Gladis, ia mengerti kalau Devon dengan-jelas-bisa-mendengar-omongan mereka bertiga.

"Aku ke kamar mandi dulu ya, nyuci muka sebentar" Celia bangkit dari kursinya, membenarkan rok yang sedikit kusut dan melenggang pergi keluar lab praktikum.

"Gila emang si Gladis, asal main sebut aja, dikira gamalu apa kalo kedengeran, untung sahabat. Kalo engga udah aku giles pake gergaji pak Inok." kemudian Celia mencuci mukanya berkali-kali dan merapihkan rambutnya yang berantakan.

Devon, yang sedaritadi melihat Celia keluar dari lab praktikum, mengalihkan pandangannya kembali ke kertas, namun ia tidak bisa fokus, pikirannya dikelilingi oleh Celia, teman sebangkunya dulu yang ia sukai sejak awal bertemu.

"Eh aku kamar mandi dulu ya, kebelet" Izam hanya meng-iyakan, kemudian ia meminta izin guru untuk ke kamar mandi. Di dalam lorong, tak sengaja Devon melihat Celia keluar dari toilet yang sedang mengeringkan tangannya dengan tisu, ada niatan untuk menyapa, namun nyalinya begitu kecil hanya untuk menyapa seorang Celia.

"Hey Ras," Celia melangkah dan membelakangi Devon, badan mereka bertolak arah, sejarak 2 meter badan Celia berhenti dan berbalik kearah Devon, sama hal dengannya, badannya berhenti dan berbalik kearah Celia.

"Cel," "Gef," keduanya memanggil nama, entah apa yang ingin mereka bicarakan, tiba-tiba Devon membuka suara

"Ladies first," tangannya mengarah ke Celia, dan beberapa langkah mendekatinya.

"Yang manggil duluan kamu, so kamu duluan," sahut Celia. Ia memang sudah berkali-kali dipertemukan dengan Devon dikeadaan ini, jadi sudah berkali-kali Celia selalu yang terakhir untuk bertanya.

"Oke," Devon mendekat, kemudian tubuhnya berlutut dan secara tiba-tiba mengikat tali sepatu. Celia sontak terkejut, pasalnya ini baru pertama kalinya Devon berbuat seperti ini dalam kurun waktu 4 bulan.

"Kalo jalan tali sepatu gakeiket, bisa jatoh kamu, nanti kalo jatoh siapa yang nolong? Oh iya, tugas ekonomi mau ngerjain dirumah siapa? Apa di kafe aja? yang deket sekolah?" omongan Devon tak terdengar indah ditelinga Celia, ia masih dalam keadaan terkejut dan membeku dengan perlakuan Devon yang seperti ini.

"Cel? Kamu dengerkan?" Devon berdiri dan tepat hampir mengenai muka Celia, untungnya Devon lebih tinggi 12 cm dari Celia, jadinya ia harus sedikit menunduk untuk berbicara dengan Celia.

"Eh i-i-iya katanya dirumah Andin, nanti kalo udah fix aku kasih tau kamu lagi," gemetar benar badan Celia akibat Devon yang terlalu dekat dengannya, Celia tahu persis sifat Devon tidak seperti ini, namun di lorong yang sunyi dan sepi, bisa merubah Devon 180 derajat dengan yang aslinya.

"Oh oke, yaudah nanti SMS aku aja, jam berapa dimana sama aku harus bawa apa aja." jawab Devon dengan tersenyum kearah Celia, menunjukkan gigi gingsul kanannya dan mundur beberapa langkah.

"Oh iya tadi manggil kenapa?" Celia sudah lupa dengan ia memanggil Devon untuk tujuan apa, namun ia mengingat kembali mengapa ia memanggil Devon.

"Oh engga tadi cuman manggil doang terus mau nanya 'mau kemana?'" Bohong. Jelas jelas itu terlihat bohong. Bukan itu tujuannya. Sebenarnya, Celia ingin menatap wajah Devon sebentar, wajahnya mengingatkan dengan kak Egar, yang ia rindukan selama 6 tahun lebih.

'gue pengen liat muka lo, kangen kak Egar. Gue cuman pengen natap muka lo sebentar aja, galebih. Sakit awalnya gue merhatiin muka lo yang sedikit demi sedikit mirip kak Egar, entah sekarang kayak gimana dia, dimana dia, dan wajahnya dia berubah setelah 6 tahun, gue gatau, Gef,' kadang Celia memanggil Devon dengan Gefarras, Devon, Gef, Ras, apapun itu.

"Oh, tadi mau ke kantin sebentar, mau nelfon mamah minta siapin jaket buat nanti malem, kalo jadi kerja kelompok." kemudian Celia mengangguk dan meminta ke Devon untuk menitipkan salammnya buat tante Hanum, yang tanpa disengaja pernah bertemu di sebuah pasar buku dekat dengan stasiun bersama Devon dan adik kembarnya, Descha dan Dergy. Dan hari Celia kembali normal.

RĂBDARE  [Slow Update]Where stories live. Discover now