Chapter 7

6.4K 273 7
                                    

Maaf ya atas very slow updatenya, dan ceritanya makin nggak jelas. semoga masih ada yang minat nungguin cerita ini. makasi :)


--------------------------------------------------------------------------------------

Selama dua minggu kedepan aku bisa bernafas lega. Karena bisa terbebas dari amukan Chris. Sungguh aku belum siap menghadapinya. Kata Bian, Chris sedang keluar negeri melakukan perjalanan bisnis. Dan semenjak pulang dari rumah orangtua Bian, Bian menjadi berbeda. Dia menjadi lebih manja denganku. Tapi aku menyukainya.

Minggu ini adalah minggu tersibuk dikantor. Seringkali Bian lembur dan aku akan menemaninya. Bian selalu marah-marah ketika aku menemaninya lembur. Katanya nanti aku sakit jika ikut lembur dengannya seperti ini. Tapi dengan keras kepalanya aku akan menolaknya. Dia kira, dia juga tidak akan sakit jika kerja tanpa henti seperti ini? Aku sempat menyuruhnya untuk istirahat, tapi yang ada dia malah mendiamkanku dan tidak menghiraukanku. Disaat dia mulai tidak nyaman, aku akan memijatnya supaya lebih rileks dan membuatkannya kopi setiap cangkirnya kosong.

Ingin sekali aku marah padanya karna empat hari ini dia kerja gila-gilaan. Pulang jam 2 pagi dan berangkat kerja jam 7 pagi. Hari ini aku pulang lebih dulu dari Bian. Aku sudah diwanti-wanti untuk berhenti menemaninya lembur. Karna malas berdebat lebih panjang, aku meng-iyakan saja perintahnya. Dan disinilah aku sekarang di apartemen Bian, menonton tv sambil menunggunya pulang. Ini sudah tengah malam dan belum ada tanda-tanda Bian akan pulang.

Ketika mataku hampir tertutup, aku mendengar pintu apartemen terbuka. Bian berada disana, aku bangkit dan menghampirinya. Baru akan mengeluarkan suara untuk menyapanya, tubuh Bian ambruk menimpa tubuhku. Untuk saja kepalaku tidak gegar karena terbentur. Sakit tubuhku jatuh membentur lantai ditambah tertimpa tubuh besar Bian.

"Bian.. kau tidak apa-apa?" aku menepuk-nepuk pipinya pelan tapi Bian hanya diam saja. Aku meraba keningnya dan tanganku rasanya terbakar. Ya Tuhan, badannya panas sekali. Yang kutakutkan akhirnya terjadi. Bian sakit. Aku terus mencoba membangunkannya, untuk pindah berbaring ke kamar. Aku tidak mungkin bisa mengangkat tubuhnya yang lebih besar dari tubuhku. Aku takjub pada Bian, dia menahan untuk tetap sadar dan sampai apartemen dengan selamat.

Bian membuka matanya, aku membantunya berdiri dan memapahnya menuju kamar. Membaringkannya di ranjang dengan hati-hati. Aku melepas pakaiannya dan menggantinya dengan piyama. Dia terus bergumam tidak jelas. Aku ingin marah padanya karna keras kepala dan sampai sakit seperti ini, tapi aku juga kasihan melihatnya pucat tidak berdaya begini.

Aku memeriksa suhu tubuhnya dengan termometer dan panasnya 39 derajat. Aku mengambil baskon berisi air dan juga saputangan, mengompres dahinya.

"Bian, Bian.. kamu sudah makan?" tanyaku sambil menepuk ringan pipinya. Dia mengerang dan menganggukkan kepalanya. Aku kembali kedapur, mengambil obat demam dan segelas air putih. Jika besok panasnya tidak turun, aku akan mengajaknya kerumah sakit. Aku ingin menelpon Bunda, tapi tidak enak karna ini tengah malam. Mungkin besok aku akan mengabari Bunda tentang kondisi Bian.

"Bian, minum obat dulu ya?" aku mengguncang pundaknya, memaksanya bangun sebentar untuk menelan obatnya. Bian tidak juga membuka matanya. Dia terus bergumam tidak jelas, dan mengerang kesakitan. Pasti sangat tersiksa. Karna Bian tidak juga membuka matanya, aku memasukkan pil demam kedalam mulutku, begitu juga dengan airnya. Membuka bibir Bian, aku mentransfer obat itu padanya. Bian menelannya, dan aku kembali menyalurkan air padanya melalui bibirku agar pahitnya berkurang. Bian membuka matanya sedikit dan memandangku dengan sayu.

"Dingin.." katanya sangat pelan. Aku mengganti kompres pada dahinya dan menyelimutinya sampai lehernya. Kurasakan Bian masih kedinginan, badannya menggigil. Aku sangat takut.

Oh Gay , Look At Me Please 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang