Biru menahan napasnya. Ia bahkan lupa menghirup oksigen kalau saja Bulan tidak menjentikan jemari lentik itu tepat di depan wajahnya.
Bulan tersenyum. Senyum yang membuat gadis ini terlihat benar-benar cantik di matanya. Bagaimana bisa gadis ini berubah-ubah kepadanya? Kemarin Bulan jelas-jelas terlihat begitu kesal dan menatapnya tidak bersahabat, lalu saat ini keadaannya seolah terbalik. Bulan bahkan mengucap "hai" dengan sangat manis. Membelai sepasang telinga Biru dengan lembut hingga ia lupa bernapas.
Bulan memutar kedua matanya, kesal. Di depannya, Biru hanya terdiam menatapnya tanpa membalas sapaan manisnya. "Bales dong!" tuntutnya kesal, membuat Biru lantas tersadar dari lamunannya.
"Eh, ya. Hai?" balas Biru meragu. Laki-laki itu menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Ada apa ya, Kak?"
Lagi, Bulan tersenyum. "Memang harus ada apa-apa dulu buat ngobrol sama lo?"
Diam-diam, Biru menelan ludahnya dengan sulit. Demi Tuhan! Sedang apa gadis ini sebenarnya? Apa yang ia inginkan dari Biru?
"Nggak usah mikir aneh-aneh. Gue cuma mau berteman kok."
Jawaban itu tentu saja membuat kening Biru mengernyit dalam. Oh, ayolah! Siapa yang ingin berteman dengannya? Ia bahkan sudah terkenal di hari pertamanya menjadi mahasiswa resmi. Tentu saja, terkenal karena penampilannya yang sangat buruk. Tapi, inilah Biru.
Beberapa mahasiswa yang berlalu lalang melewati mereka tampak terkejut bahkan sampai ada yang terang-terangan mengamati keduanya seolah memastikan bahwa penglihatannya masih berfungsi dengan baik.
"Kelas lo ruang berapa?" tanya Bulan memecah keheningan yang tercipta sejenak.
"604 Kak, tapi kata anak-anak di grup sih nggak ada dosen," jelas Biru membuat Bulan mengernyit. "Hari pertama nggak ada dosen?" tanya Bulan dengan kening mengernyit.
Biru hanya manggut-manggut. Memang begitulah yang dikabarkan Randy, ketua angkatannya.
"Siapa dosennya?"
Biru menelengkan kepalanya menatap Bulan yang kini sibuk dengan ponselnya. "Bu Yani kalau nggak salah. Atau Bu Yanto? Hmm, Biru lupa deh."
Bulan terkekeh geli. Tawa kecil yang terdengar begitu manis di pendengaran Biru. "Nggak ada ibu-ibu namanya Yanto!"
Biru hanya mengulum senyum seraya menggaruk kepalanya. Tawa merdu itu masih terngiang dalam benaknya, membuat Biru tersenyum-senyum sendiri dan tidak menyadari Bulan yang menatapnya dengan sebelah alis terangkat.
"Heh!"
Biru mengerjap, membalas tatapan Bulan yang menatapnya tajam. "Maaf Kak," ringis Biru lantas menunduk.
"Ikut gue."
Biru mendongak. Baru saja ia ingin bertanya, Bulan sudah berjalan menjauh darinya. Laki-laki itu pun mengejar Bulan dengan mudah karena langkah panjangnya. Ia memperlambat langkahnya begitu dirasa mereka nyaris bersisian. Biru merasa tidak sebanding berada di samping Bulan. Belum lagi tatapan-tatapan bengis yang akan menusuknya nanti.
Bulan memasuki lift dan menekan tombol 6. Biru yang melihat itu pun bertanya-tanya, untuk apa ke lantai 6? Bukankah tadi ia sudah bilang bahwa dosennya tidak hadir? Atau mungkin, Bulan sendiri yang memiliki urusan di sana? Tapi mengapa harus mengajaknya?
Lift terbuka. Biru mengekori Bulan hingga keduanya sampai di ruang 604, kelas Biru.
"Kak Bulan? Ngapain ke sini? Kan dosennya—"
Bulan membuka pintu ruang tersebut dan menampilkan seluruh anak-anak angkatan Biru tengah bersenda gurau. Seluruh yang di dalam lantas terdiam begitu senior cantik yang mereka segani masuk ke dalam kelas, diikuti oleh Biru di belakangnya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Untuk Bulan
RandomSekuel: Lagu Untuk Bintang * Setelah kepergian Bintang kecil mereka, Bulan tidak seperti Bulan yang dulu. Meskipun di depan bundanya serta Langit, sahabatnya, Bulan tetap menunjukkan cahayanya, tapi ia membeku di dalam. Bulan yang semula memiliki ba...