-Chapter 7-

1.5K 92 46
                                    

Suara kicauan burung-burung itu terbang diantara udara pagi yang membawanya untuk singgah memasuki rongga-rongga telinga manusia supaya dapat mendengarnya. Pagi yang ditemani matahari bersinar cerah kali ini sangat damai. Di dalam sebuah ruangan kecil, laki-laki itu terbaring diatas futon (kasur tradisional khas orang Jepang/Korea). Lengan kirinya tampak diperban. Dia masih memejamkan matanya. Menikmati tubuhnya yang beristirahat dengan nyenyak. Cahaya-cahaya yang mulai memasuki lewat jendela yang baru saja dibuka kakek itu mulai menyapa kelopak matanya yang tertutup pulas.

Dia membuka matanya perlahan. Menatap langit langit rumah kayu yang kini tempat berbaringnya. Seakan bertanya-tanya dimana dia sekarang.

Setelah kejadian semalam di Shibuya sepertinya dia pingsan dan tidak mengingat kejadian setelah itu.

"Jiji.." Dia duduk perlahan sambil mengucek ucek matanya seperti anak kecil yang baru bangun tidur.

"Pembunuh macam apa yang tidak tahan dengan hantaman pisau, heh?" Ejek kakek Oga kemudian meletakkan bubur disamping lelaki itu.

"Aku ini juga manusia"

"Oh, seorang yang suka membunuh itu, manusia juga rupanya" Ejek kakek Oga lagi sambil menyalakan rokoknya kemudian menghirup dan menghembuskan asap-asapnya keudara.

"Berhenti mengejekku!"

"Makanlah"

Laki-laki itu melirik kearah lengannya yang berbalut perban dengan rapih, "Siapa yang melakukan ini?"

"Tentu saja dokter, bodoh"

Dia napak cemas mendengar jawaban dari kakek tua itu. "Tenang, tidak ada orang yang tau siapa kau.. Lalu untuk apa kau takut pergi kerumah sakit, hah?. Ah, kau hampir saja kehabisan darah saat aku tiba. Kau memang bodoh. Kadang aku heran, otakmu yang hebat itu tidak berfungsi untuk beberapa hal ya"

Laki-laki itu mengambil mangkuk bubur disampingnya, kemudian melahapnya dengan rakus.

"Kau menikmatinya, ha?"

"Apa?" Dia berhenti menyuap.

"Perempuan-perenpuan itu...."

"Apa kau mau menceramahiku?"

Kakek tua itu tertawa, "Tidak"

"Apakau masih menjadi pembunuh bayaran, Jiji?" Laki-laki itu kembali menyuapi bubur kedalam mulutnya.

"Menurutmu, orang setua diriku ini apa masih bisa melakukannya?" Tanya Kakek Oga masih sambil mengembuskan asap rokoknya.

"Lalu, untuk apa kau menawariku, waktu itu?"

"Ah, hanya bercanda.. Lagi pula aku yakin kau tidak akan mau melakukan pekerjaan yang sama sepertiku dulu"

"Tentu saja tidak..."

"Lalu, untuk apa kau membunuh mereka?"

Laki-laki itu diam. "Kesenangan? Kebahagiaan? Cinta? Ya.. Aku mencintai mereka"

Kakek itu tertawa mendengar jawaban laki-laki yang sebenarnya bernama Kenta, namun dia menyembunyikan nama aslinya itu.

"Kau memang gila, tapi tidak dengan gangguan mental" Katanya terkekeh.

"Pujian yang menarik. Aku menyukainya"

"Mungkin suatu hari nanti, kau yang akan membunuhku, ha?"

"Aku tidak membunuh orang yang kusayangi. Aku hanya membunuh mereka yang kucintai, Jiji"

"Hahaha, ada bedanya ya?"

"Itu dua hal yang berbeda.... Menurutku"

Oga Jiji bangkit dari duduknya. Kemudian mengarah pada jendela yang tadi dibukanya. Dia melihat kearah luar. "Boleh kuberi saran?"

This Is MeWhere stories live. Discover now