Bagian VI

16 2 0
                                    

Aku senang mendengar suaranya terbahak. Mudah-mudahan memang ia sedang bahagia. Tapi kalau mengingat kejahilannya aku sesungguhnya kesal. Abang belum puas kalau aku belum berhasil dibuatnya menangis, meraung, dan meminta ampun padanya.  Aku mendengar pintu kamar diketuk. Mungkin mama mendengar suaraku. Aku bangun dari posisi nyamanku. Meraih gagang pintu dan ckrek..

"Telponan sama siapa, Dek!" sergahnya ketus.

"Abang kok, Ma," jawabku menja.

"Mana! Periksa dulu HP-mu."

"Ini masih online sama abang."

"Siapa, Dek?" tanya abang dari seberang sana.

"Mama, Bang." Mama menyerobot HP-ku.

"Hallo," sapa mama pada Bang Ir.

"Bulek?" suara abang nyaring ku dengar.

"Kamu Ir? Bagaimana kabarmu, Nak?"

"Baik, Bulek. Bulek dan keluarga semua sehat kan?"

"Alhamdulillah, Nak. Kapan kamu pulang?"

"Bulan depan, Bulek."

"O, ya sudah dilanjut sama adikmu."

Mama mengembalikan HP-ku. Ia berlalu dari kamarku.  Tetapi seblumnya ia memeriksa slot jendela kamarku, membetulkan hordeng yang tidak menutup jendela dengan sempurna. Mama menutup pintu dengan dengan perlahan. Kalau telponan sama abang semalam pun dibiarkannya aku. Mama percaya sekali dengan manusia semprul satu itu.

Aku tertidur setelah rinduku pada Bang Irvandi terobati setelah mendengar suaranya yang meneduhkan jiwa. Tidur mendekap mimpi indahku. Mimpi tetang kebebasanku. Kemerdekaanku. Lepas dari belenggu tirani kasih sayang yang salah kaprah.

Aku kaget sepulang dari sekolah Bang Irvandi sudah ada di rumah. Ia sedang menonton televisi di ruang tamu. Ia pra-pura tak acuh mendengar kami masuk ke rumah.  Menjawab salam tanpa menolah kepadaku dan mama.

"Bang Ir...!" Aku berlari kepadanya.

"Eh, adik kecilku. Sudah pulang, sayang. Sini cium abang dulu."

"Hmmm enggak pakai cium ya..."

"Kok begitu?"

"Aku ini sudah gadis, Abang. Enggak boleh lagi cium-cium aku sembarangan."

"Gadis? Hahaha...." Semprul itu malah terbahak, melecehkan kedewasaanku. Apa tidak tahu kalau aku sudah baliq, sudah halangan, sudah montok dadaku, dan aku sudah menyukai lelaki. Meski lelaki yang aku kehendaki sepertinya.

"Kok tertawa sih, Bang? Aku sudah berani pacaran loh, kalau diijinkan."

"Maunya tuh, adikmu itu Ir," sela Mama.

Aku bahagia sekali. Meski seandainya Abang menciumku aku akan pasrah, tapi dia sepertinya menghargaiku kali ini. tidak tahu kalau aku lengah, ia biasanya mencuri pipiku. Aku duduk disampingnya dan menyandarkan kepalaku dibahunya. Abang meremas-remas rambutku. Kasih sayang tulus itu bisa aku rasakan, dan aku merengguknya dengan khidmat.

"Capek, Sayang? Tadi pelajaran apa?"

"Capek banget, Bang. Pijiti Dewi ya..."

"Tadi pelajaran apa?"

"Fisika, Kimia, Geografi, dan Bahasa Indonesia. Pijitin...."

"Pijit apanya, sayang?"

"Kepala sama bahu." Abang Ir melayani permintaanku.

MUHRIMWhere stories live. Discover now