Bagian X

27 3 2
                                    

Kalau ada Inayah, si kaca mata pantat botol itu tidak berkutik. Fahrur Riza melipir pergi entah kemana.

Jam pertama pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Pak Dwi guru Idolaku sudah duduk di muka kelas. Mantan anggota Bengkel Teater milik WS.Rendra itu meminta PR puisinya dikumpulkan. Tanganku langsung meraih tas dalam laciku. Aku membuka resleting tas sekolahku, lalu tanpa curiga tanganku menelusup ke dalam tak. Ya Allah betapa terkejutnya aku ketika tanganku meraih sesuatu yang menggelikan. Sepertinya ada kepala manusia dalam tasku.

"Tidaaaaaaaaaak!" aku menjerit sekencang-kencangnya, dan tas itu aku lemparkan jauh-jauh dariku. Satu kelas heboh, mereka bingung tentang apa yang terjadi. Aku menangis dengan menutup mukaku, dan tertelungkup di atas meja.

"Apa apa, Dewi?" tanya Pak Dwi halus.

Aku tidak menjawab. Kawan-kawan satu kelas pun hanya saling pandang. Aku pun tidak tahu ada apa dalam tas ku itu. aku memegang rambut kasar dalam tasku. Akhirnya Si Dungu bertindak sebagai Don Kisot. Ia membuka tasku dan....

Ya Allah, betapa malunya aku ternyata tas ku di isi sapu ijuk yang sudah patah. Bukan kah sapu itu milik mama? Ya Ampun ini pasti kejahilan Bang Irvandi. Betapa malunya aku ketika satu kelas tertawa terbahak-bahak. Mereka seperti mendapat hiburan segar dariku. Aku menangis sejadi-jadinya. Fahur riza menghampiriku dan menyerahkan tas ku.

"Sudah jangan menangis," hiburnya kepadaku.

Aku masih menangis senggugukkan. Kawan-kawanku masih heboh, tertawa. Sepertinya Pak Dwi pun tidak bisa menyembunyikan kegeliannya. Dia terdengar ikut terpingkal-pingkal. Setelah aku reda dari tangisku, Pak Dwi memulai pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

Yang membuatku terhibur, puisiku mendapat pujian dari Pak Dwi.  Zahra yang mempunyai suara bagus disuruh mendeklamasikan puisiku. Aku tersenyum, dan puisi itu sebenarnya Bang Ir yang menuliskan.

Aku langsung memukul Bang Ir di parkiran sepeda motor, saat menjemputku siang ini. Aku pukuli punggungnya kuat-kuat dan aku menangis sepanjang jalan sambil memeluknya dari belakang. Suara knalpot sember skuter busuknya menyamarkan suara tangisku.

"Ada apa sayang? Kok ngambek enggak jelas begini?"

"Jangan pura-pura tidak tahu deh. Kamu itu benar-benar jahat kepadaku, Bang!"

"Ya ampun. Mana ada orang jahat mau jemput kamu?"

"Jahat! Pokoknya Jahaaaaaaaat! Jahat!" Tangisku semakin menjadi.

"Coba jelaskan. Abang jahat apa, sayang?"

"Heh! Jangan belagak goblok deh, Bang!"

"Loh. Apa sayang?" tanya Bang Ir pura-pura polos. Dasar manusia semprul.

"Abang kan yang memasukkan potongan sapu ijuk dalam tasku?"

"Hahaha..." Bang Ir ngakak sejadi-jadinya.

Aku memukulinya pun sejadi-jadinya. Ia menjerit-jerit di tengah jalan. Aku tidak pedulikan itu. Kok tega sekali lah manusia ini. Ih, rasanya ingin aku remas-remas mukanya sampai lecek seperti kertas contekan.

Sampai disebuh cafe, skuter busuknya dibelokkan. Entah apa lagi maksudnya. Aku masih sembab oleh tangisku tadi, mukaku masih cemberut seperti pantat ayam.

"Mau apa mampir di sini?" tanyaku jutek.

"Traktir kamu.  Sebagai permohonan maafku, sayang."

"Tidak sudi! Pokoknya kita pulang!"

"Hmmm, ngambek? Marah?"

Aku mewek lagi melihat mukanya yang tidak ada rasa bersalahnya itu. Aku benar-benar dibuat kesal kali ini. Sungguh jahilmu tidak lucu!

MUHRIMNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ