Bagian XI

23 2 8
                                    

Kok ada ya manusia se jahil ini hidup di jagad raya ini. Aku bergumam dan mengumpat sendiri dari dalam hati. Aku sudah tidak mampu lagi memakinya, muka tidak bersalahnya itu membuat aku gagu. Sampai di rumah aku buru-buru turun dari skuter busuk itu. Kamar tidurku pasti sudah menungguku menerima curahan hatiku. Pintu kamar aku banting sekaras mungkin. Hmmm kasihan kau pintu, apa salahmu hingga ku aniaya kamu?

"Sayang, buka pintu," suara Bang Irvandi memelas dari balik pintu, setelah ia memarkir skuter busuknya di garasi.

"Enggak!" teriakku dengan suara parau.

"Maafkan abang, Dik," rengeknya lagi.

"Minta maaf sama Tuhan sana!" balasku dengan emosi yang masih juga belum reda.

Aku terngkurep di atas pembaringanku. Aku masih terisak oleh tangis yang belum reda. Malu yang mesti ku tanggung dari perbuatan Bang Ir rasanya belum juga hengkang dari benakku.

"Sayang, kamu enggak makan? Nanti sakit loh..," saura Bang Ir kesepian di balik pintu.

"Biar sakit sekalian. Abang pasti puas kalau aku sakit!" balasku dengan suara sember. Tenggorokanku seperti tersekat bongkahan batu.

"Enggak boleh begitu. Mana mungkin abang seperti itu, Dik? Suara Bang Ir yang sebenarnya terdengar teduh dan mendamaikan hati, tapi aku masih belum mau tunduk terhadap kelembutan suaranya.

Sepertinya Bang Ir menjauh dari pintu kamarku. Suara tapak kakinya sepertinya diseret paksa ke arah ruang tengah.  Tidak lama, suara televisi mengisi kekosongan dimensi ruang di rumahku.  suara itu pun  menelusup masuk sampai ke kamarku.

Suara mobil Mama masuk garasi rumah tidak membuatku bangun dari pembarinag. Aku masih menelungkup membelakangi langit-langit kamarku, meski aku tidak pernah membenci langit-langit itu. Dia yang selalu mendengarkan segala keluh kesahku jika aku sendiri terpasung kasih sayang orang tua.

"Ir. Mana adikmu?" terdengar sapa Mama kepada Bang Irvandi.

"Lagi ngambek, Bulek," jawab Bang Ir

"Kamu apakan lagi adikmu, Ir?"

"Enggak ada kok, Bulek. Hanya ada gagang sapu ijuk yang ikut sekolah tadi."

"Ir...Ir, kamu itu suka sekali membuat adikmu mewek."

"Hahaha..." tawa Bang Ir pecah. Tawa itu terasa ngilu menghardik ulu hatiku. Perasaan tidak bersalahnya itu yang membuat aku sakit hati.

Terdengar suara kaki Mama mendekati kamarku. Bunyi telapak kakinya khas dan sangat aku kenali.

"Wi.., kamu enggak makan?" suara Mama di balik pintu.

"Enggak lapar, Ma," jawabku dengan nafas masih tersengal.

Mama berusaha membuka pintu, tapi pintu aku kunci dari dalam. Aku tidak ingin manusia jahil itu menelusup ke kamar, dan membuat aku semakin kesal kepadanya.

"Buka pintunya, Sayang," rengek suara Mama.

"Iya, Ma," balasku dari dalam kamar.

MUHRIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang