6. Ternyata Dia...

5.5K 396 7
                                    

Siang ini Aku kembali duduk ditepian danau dibelakang kampus, tak lupa dengan headset yang menyumpal telingaku dan sesekali bernyanyi mengikuti alunan lagu yang berputar diponsel pintarku, rasanya hari ini tak seburuk hari-hari sebelumnya, karena sejak pagi tadi Aku tak menemukan Dirga dan genknya, sepertinya jika bertemu ketiga lelaki itu nasibku akan buruk, melebihi buruknya jatuh kejurang, melebihi sakitnya keselek duri ikan, melebihi perihnya ketimpa tangga, pokoknya melebihi hal buruk apapun itu.

Aku baru menyadari sepertinya ada seseorang yang duduk disampingku, perlahan Aku menoleh melihat sesosok yang mungkin dari tadi mendengarkanku bernyanyi mengikuti alunan musik yang berputar diponsel pintarku. Betapa kagetnya aku saat melihat dia.. Dia.. Dan dia lagi.., Aku sedikit menggeser dudukku untuk menjauh darinya.

"Udah nggak usah kaget "
Ucapnya datar dengan tatapan lurus tak menoleh sedikitpun.

"Mm-Mau.. Apa Kamu kesini.."
Tanyaku gugup, takut, gemetar dan dengan dentuman jantung yang tak menentu. Dia, Dia.. Seperti malaikat yang akan mencabut nyawaku.

"Aku mau minta maaf, soal yang kemarin" ucapnya masih dengan nada  datar.

Aku bangkit dari dudukku untuk meninggalkannya, belum sempat Aku melangkahkan kaki Dia juga ikut berdiri dan menarikku hingga tubuhku menempel didada bidangnya, Aku merasakan deguban jantungnya yang berdegub sabgat kencang, pelukannya membuatku nyaman saat menghirup aroma parfum yang menempel ditubuhnya aroma fruity yang membuat penampilannya begitu manly, gentle, memikat dan berkharisma sangat cocok dengan dirinya, rasanya aku tak ingin melepaskan pelukan ini.

"Bie.. Aku minta maaf.. Demi apapun Aku nyesel, jika Aku tau sejak kemarin, Aku nggak akan nyakitin Kamu" nada suaranya sedikit melembut, tidak sedingin tadi.

Eeeehhh.. Tapi tunggu, Bukannya biasa dia ngomong pakai Lo, Gue ?? kok sekarang Aku, Kamu?? Terus Apa Dia bilang tadi?? Bie?? Siapa itu Bie?? Aku kan Nadya.
Aku mendorong kuat tubuh tegapnya, hingga pelukan itu terlepas.

"Apa maksud Kamu ?"

Dia mendekatiku kembali dan kali ini tangannya memegang pundakku.

"Aku Dirga.. " ucapnya kemudian.

"Iya Aku tau kamu Dirga.. "
Ucapku cepat.

"Aku teman kecilmu dulu, apa kamu tak mengenaliku ?"

"Duuaarrr.. Pretaakk.. Taakk.. Duuooorrr.. " rasanya tubuh ini membeku seperti tersambar petir yang menggelegar dengan kilat-kilatnya.

"Mama apakah Nadya sedang bermimpi? "
Ucapku dalam hati.

Aku memegangi kepalaku yang mulai sedikit oleng.

"Oke.. Oke.. Jangan difikirin, Aku nggak mau nyakitin Kamu lagi.."
Aku menyingkirkan tangannya dari pundakku, lalu melangkah meninggalkannya, Dia menarik pergelangan tanganku hingga langkahku terhenti.

"Mau kemana ?" tanyanya.

"Aku butuh Mama.. "
Ucapku lirih sambil menarik lenganku dari genggamannya, ku berlari meninggalkannya menuju parkiran, sedikit bingung melihat mobilku yang belum diperbaiki itu, tak ada ditempatnya terparkir.

Tanganku terasa digenggam, Aku menoleh, dan kembali mendapat wajah Dirga yang dingin namun tetap tampan dan berkharisma.

"Mobil Kamu udah dibengkel, Kamu pulang dengan Aku" ucapnya kemudian sambil menarik lenganku menuju tempat mobilnya terparkir.

"Aku mau pulang sendiri! "
Ketusku yang berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya.

Dia membalikkan tubuhku hingga punggungku menempel dimobilnya, mengurungku dengan kedua tangannya. Wajahnya semakin mendekati wajahku, membuat jantungku kembali berdegup sangat kencang, lebih kencang dari yang sebelumnya.

"Masuk.. Jangan sampai Aku nyuruh Kamu dengan cara kasar" ancamnya kali ini, sambil membuka pintu mobilnya, karena ketakutan Akupun mengikuti perintahnya masuk kedalam mobil dan duduk dengan anteng.. Hahaha.

Mungkinkah Dia teman kecilku ?? Meski sekarang rasa sakit itu sedikit berkurang, Aku tetap tak bisa mengingat siapa Dia dan bagaimana Dia dulu? Dan masa kecilku bersamanya. Hanya ada keheningan diantara Kami berdua saat didalam mobil, saat ini Aku hanya benar-benar membutuhkan Mama.
Bukan salahku jika saat ini Aku membenci Dirga karena perlakuannya kepadaku kemarin-kemarin, bagiku itu sangat keterlaluan. Malu rasanya, hingga mahasiswa dan mahasiswi sekampus menertawaiku.

"Ini bukan arah menuju rumahku" ucapku memecah keheningan diantara Kami.

Tapi Dia tak menjawabku pandangannya lurus menatap jalanan kota Jogja. Akhirnya kami sampai disebuah tempat makan, tapi bukan cafe atau restoran tak ada tembok ataupun atap sebagai pelindung, penjualnya saja hanya menggunakan gerobak untuk barang dagangannya.

You're My Little FriendDonde viven las historias. Descúbrelo ahora