Chapter 1

16.6K 1.1K 389
                                    

Venna masih menunjukan wajah memohon, wajah yang sangat menyebalkan karena tidak bisa aku tolak jika ia akan meminta sesuatu. Sungguh menyebalkan. Aku mendelik kearah lain dengan kesal. Berharap Venna menyerah untuk kali ini.

"Ayolah Nay, kali ini ajaaaaaa. Please" Tangan Venna menarik-narik baju ku. Aku mencoba melepaskannya.

"Ayo ayo ayo Nayyyy, sahabat lo lagi butuh bantuan nih, masa lo tega?" Kali ini tangannya menarik lebih keras, hingga baju yang ku pakai terasa agak melebar.

"Engga Ven, ga bisa. Ini engga sekali dua kali lo minta bantuan kayak gini." Aku melepaskan tangan Venna dengan lembut, berharap dia mengerti jika dia melakukan hal gila lagi, bukan hanya dia yang akan terkena masalah.

"Ah lo ga asik Nay. Padahal kan cuman nganterin barang doang ke Jakarta. Ngebantuin abang gue." Venna lalu mengambil majalah di rak buku. Lalu berjalan mendekati kasur tempat ku berbaring.

Aku menyipitkan mata, mencoba menyelidik apakah yang dikatakan Venna benar. Terkadang Venna suka melakukan hal-hal gila dengan menghalalkan segala cara. Pernah suatu waktu kami menerobos masuk pasar malam tanpa tiket dan tanpa berdosanya Venna mengajak ku naik ke semua stand permainan, alhasil kami ditangkap petugas keamanan. Itu waktu masih di bangku sekolah dasar, di SMA? Lebih parah dari itu.

"Bang Alan maksud lo?"

Venna hanya mengangguk, masih membulak-balikan majalah. Aksi mengunci mulut jika aku tidak mau mendukung aksinya.

Bang Alan itu sepupu Venna yang tinggal di Jakarta. Hanya berbeda 3 tahun lebih tua dari kami. Kami suka bermain bersama dulu, saat keluarga bang Alan pergi mudik ke rumah Venna.

"Emang barang apa? Ga berhari-hari kan?"

Sekarang Venna yang menyipitkan matanya lalu menutup majalah yang sudah tidak menarik perhatiannya lagi.

"Ah elo Nay, kalo masalah bang Alan aja langsung tertarik."

Aku mengambil bantal terdekat lalu melemparkannya kearah Venna.

"Berisik lo Ven, bener gue nanya nih."

Lalu terdengar lagu Avril Lavigne – Bad Reputation. Ringtone handphone siapa lagi kalau bukan Venna.

"Halo, iya di rumah Naya, hah apa? Iya tau, tapi baru jam sembilan Ma. Hmm, engga aneh-aneh, engga ganggu Naya kok, iya bentar lagi, ya, dah." Venna langsung mematikan telfonnya.

"Eh apa tadi lo ngomong apa? Gue harus balik nih, Mama udah siaga satu."

"Nganterin barang apa sama berapa hari perginya?"

"Oh itu, gitar bang Alan sama buku dia ada yang ketinggalan dirumah. Paling dua hari doang."

"Kan bisa dipaketin?"

"Dia percayanya kalo gue yang nganterin, bareng elo. Kangen Denaya katanya, dah ah pulang dulu Nay, bye!"

Venna langsung menutup pintu kamarku. Dasar Venna.


***

Lorong didepan kelas tampak sepi, maklum jam masih menunjukan pukul sembilan. Para murid masih berkutat didalam kelasnya masing-masing, berharap jam di kelas mereka berjalan lebih cepat. Beruntungnya aku sekarang sedang berjalan menuju ruang guru bimbingan konseling, ada waktu untuk menghirup udara yang lebih segar dan engga perlu sibuk pura-pura merhatiin. Metode belajar ku bukan merhatiin guru.

Dan aku ke ruang bimbingan konseling bukan karena kasus ku dengan Venna lho yah.

Saat sampai didepan bimbingan konseling, aku mendengar suara bentakan dari dalam ruangan. Aku pun mengurungkan niat untuk mengetuk pintu.

Straight A  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang