15. Consent

17K 2.3K 37
                                    

Mutia menarik napasnya perlahan, dan mengeluarkannya jauh lebih pelan sambil berharap keinginannya untuk berteriak, melempar, memukul, menendang, mencabik, dan menggigit hilang. Kerusakan yang terakhir dia lakukan baginya adalah sebuah kebodohan besar. Dia membanting HP-nya sendiri tadi ketika lewat dari dua jam Enoch belum juga menghubunginya. Mutia tidak ingin berharap terlalu tinggi saat ini.

Memegang handle pintu apartemennya Mutia memikirkan dua kemungkinan, Enoch akan menunggunya di dalam dengan muka cemas atau suaminya memilih tidak pulang dan mememani wanita pencuri itu. Ketika pintu sudah berhasil terbuka dan Mutia masuk, dia mendapati Enoch berdiri di ruang tengah. Ada perasaan lega yang menjalar dari dadanya mendapati suaminya pulang. Tapi ekspresi yang Enoch tampilkan tak bisa membuatnya senang.

"Dari mana kamu?" Hilang sudah nada hangat yang sering ditampilkan Enoch, kini pria itu berkata dingin dengan tatapan mata yang lebih membekukan.

Menegakkan pundak dan mengangkat dagunya Mutia melangkah dengan percaya diri. "Mengambil beberapa barang dari kantor pos dan membeli produk terbaru." Mutia melewati Enoch dan memilih masuk ke dalam ruang kerjanya.

"HP-mu mati," ucap Enoch bukan berupa pertanyaan, tapi pernyataan.

"Iya, kubanting. Kupikir rusak karena tidak ada namamu yang muncul dalam dua jam." Mutia memang tidak menyentuhnya sama sekali tapi cara bicara, tatapan mata angkuhnya, dan kalimat yang dia pakai membuat Enoch merasa ditampar berkali-kali. Mutia sudah lama menghilangkan '-mu' atau 'kamu' dalam percakapan mereka berdua, Mutia selalu menggunakan 'Mas', tapi sekarang Enoch tahu istrinya sangat marah.

"Kita perlu bicara." Enoch melipat kedua tangannya di dada. Mutia mengenali gesture itu, gesture yang menunjukkan Enoch sedang defensif.

"Oke, kita memang perlu bicara apa yang terjadi tadi," ujar Mutia yang terdengar santai sambil menjatuhkan tubuhnya di sofa, membiarkan Enoch tetap berdiri di tempatnya. Menyilangkan kakinya dengan anggun Mutia menjalin jemari tangannya dan meletakkan di atas lutut. "Silahkan." Tersenyum tapi tak mencapai mata.

Enoch menghela napas, entah mengapa dia merasa lebih mudah berhadapan dengan Mutia yang meledak-ledak seperti tadi siang daripada wanita tenang yang duduk di hadapannya. "Ada apa denganmu tadi siang? Kamu tak seharusnya bersikap kasar seperti itu." Enoch mengatakan itu dengan emosi tertahan, bahkan gigi atas dan bawahnya saling beradu. Mutia seperti terkejut tapi dengan segera terhapus dengan senyum yang seolah-oleh mengejek.

"Kita semua sudah tahu apa yang kulakukan tadi, dan aku tak menyesalinya. Sehingga kita tak perlu membicarakan itu." Mutia menatap tajam ke arah Enoch, dan tanpa berkedip dia melanjutkan, "Bagaimana jika kita membicarakan apa yang memulai sikapku? Karena tidak ada istri yang akan bersikap tenang ketika melihat wanita lain duduk di meja suaminya dengan tubuh bersandar ke suaminya."

Enoch tidak menjawab dan memilih membuang muka, dan Mutia bisa melihat rahang Enoch mengeras. "Dia pencuri itu 'kan?" Enoch memejamkan mata untuk pertanyaan Mutia selanjutnya, masih belum mau membuka mulut. "Wanita yang kamu bilang membawa pergi hatimu?" Mutia tertawa sinis.

"Dari mana kamu tahu?" tanya Enoch tanpa membuka matanya.

"Kamu masih menyimpan foto kalian di laci meja kerja. Aku melihatnya ketika menata rumah pertama kali aku pindah kemari."

Enoch mengacak rambutnya mendengar kalimat Mutia barusan.

"Aku tak membuangnya ataupun menanyakannya kepadamu karena ingin memberimu waktu," suara Mutia bergetar, hendak menangiskah dia? Enoch membuka matanya dan menatap kembali wajah istrinya yang masih terlihat angkuh. "Sekarang aku berharap aku membakarnya dulu." Mutia membiarkan keheningan hadir di antara mereka. Memberikan suaminya waktu untuk menjawab semua pertanyaannya.

"Aku sudah selesai bicara, sekarang aku siap mendengar apa yang ingin kamu katakan." Mutia mengeratkan jalinan jemarinya. Dia mempersiapkan diri untuk apapun yang akan Enoch katakan, tapi lelaki itu hanya berdiri di sana dengan tangan terlipat di dada dan pandangan menyapu seluruh ruangan tapi tak pernah berhenti untuk menatap Mutia.

"Masalah ini tak akan selesai jika kamu tidak bicara," guman Mutia sambil bangkit dari sofa. Dia perlu bergerak untuk mengendalikan emosinya. Mutia berjalan ke dapur dan mengambil segelas air dingin untuk menyejukkan amarahnya.

Ketika selesai dan meletakkan gelas di kitchen island, Mutia merasakan Enoch menarik lengannya dan membalikkan tubuhnya hingga mereka saling berhadapan.

"Sudah siap bica ...." Kalimat Mutia tidak selesai karena Enoch membungkam mulut istrinya dengan sebuah ciuman. Ciuman yang merayu Mutia untuk membalasnya. Ciuman yang selalu dia dapatkan ketika mereka berdua bertengkar, dan biasanya akan berakhir dengan make up sex. Tapi tidak kali ini, mereka akan menyelesaikan ini tapi bukan dengan cara yang selalu Enoch gunakan.

Menutup matanya kuat Mutia berpegangan pada tepian kitchen island, meneguhkan hati agar tidak terseret dalam rayuan suaminya.

Setelah beberapa saat Enoch menjauhkan kepalanya, menatap Mutia bingung.

"Yang kita butuhkan sekarang adalah bicara," suara Mutia bergetar. "Jika kamu menginginkan seks ...." Kata terakhir serasa meninju Enoch tepat di ulu hatinya, Mutia tidak lagi mengatakan kegiatan yang sering mereka bagi dengan 'bercinta'. "Aku tak akan menolaknya, karena itu adalah kewajiban istri." Mutia menelan ludahnya dengan bersusah payah. "Tapi itu di luar kehendakku." Suara Mutia mulai serak dan Enoch makin membatu.

Tidak, dia tak ingin memaksa istrinya, dia tak mungkin memperkosa istrinya. Enoch berjalan mundur perlahan hingga tubuhnya menabrak meja makan. Dia berusaha menyusun kalimat, tapi apapun yang akan dikatakannya nanti tetap menyakiti Mutia.

Mengumpulkan segenap kekuatan Mutia mulai melangkah ke kamar hanya untuk mengambil baju tidurnya. Biasanya dia tidur dengan kaus usang dan boxer Enoch, tapi sekarang dia mengambil piyamanya sendiri.

Setelah membersihkan wajah yang dilakukan bagai robot dengan tatapan mata kosong, Mutia merebahkan diri sofa bed yang ada di ruang kerjanya.

Mengambil napas dalam Mutia berusaha untuk tidur, tapi kesunyian yang kini hadir merobohkan satu persatu benteng pertahanan yang tadi dibangun di depan Enoch. Perlahan air matanya mengalir bersama isak yang tertahan.

Kepingan Hati #ODOC_theWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang