18. Surprise

18.5K 2.2K 47
                                    

Turbulensi adalah sesuatu yang tak pernah Mutia sukai ketika sedang melakukan perjalanan melalui udara. Guncangan pesawat dan suasana tegang dalam sebuah tabung bersayap di atas ketinggian benar-benar membuat manusia merasa kecil. Ketika awan-awan tebal sudah berhasil dilewati, kini pesawat mulai menurunkan ketinggiannya. Meliuk di udara, berputar-putar di atas bandara menunggu aba-aba dari Menara Kendali untuk turun.

Semakin lama pesawat itu berputar-putar, semakin ingin Mutia mengeluarkan isi perutnya. Dia sudah menggenggam erat kantong muntahnya sedari pertama kali mereka lepas landas. Mutia merasa stress tinggi benar2 berhasil membuat perutnya lemah. Asam lambungnya sudah di luar keseimbangan, tersekresi lebih dari kebutuhan. Dan ketika pesawat terguncang akibat benturan roda dengan landasan pacu, meluncurlah semua isi perut Mutia ke dalam kantong muntah.

"Nggak apa-apa?" tanya seorang wanita beruban yang duduk di sampingnya. Mutia hanya mengangguk lemah, sambil menyeka ujung bibirnya dengan tisu yang sebelumnya ditawarkan oleh teman duduknya.

"Iya, terima kasih." Mutia mencoba tersenyum meskipun sekarang gejolak dari dalam perutnya belum mereda.

"Guncangannya keras banget ya, saya sempat ngeri tadi." Sepasang mata keriput itu menampilkan kengerian sekilas sebelum kembali menatapnya lembut. "Sendirian?" lanjut wanita itu tampak prihatin dengan wajah pucat Mutia.

"Iya, tapi nanti ketemu dengan suami kok," jawab Mutia berusaha menenangkan wanita yang terlihat seperti di awal enampuluhan itu, juga menenangkan dirinya sendiri.

##

Begitu turun dari pesawat yang pertama kali Mutia tuju adalah toilet. Dia perlu merapikan penampilannya. Memastikan tidak ada bau asam lambung yang menempel di tubuhnya ketika nanti bertemu suaminya. Mutia ingin tampil yang terbaik di hadapan suaminya.

Merapikan make upnya, memastikan bahwa lingkaran hitam di bawah matanya tertutupi. Semalam dia mendapatkan tidur tenangnya untuk pertama kali setelah tiga malam dia habiskan dengan menangis. Sehingga lingkaran di bawah matanya lebih jinak kini tanpa perlu berlapis make up.

Taksi meluncur tenang membelah jalan Singapura. Kantuk mulai menyapanya karena tadi dia harus berangkat sebelum Subuh agar tak tertinggal pesawat. Acara di mulai setelah jam makan siang, sehingga dia masih ada waktu untuk mampir ke hotel tempat Enoch menginap. Berbagai rencana dia susun untuk mengejutkan suaminya dan membayangkan bagaimana ekspresi terkejut Enoch yang menggelikan. Sebuah senyum tipis hadir di tengah keinginannya untuk terpejam. Mungkin nanti dia harus mencari segelas kopi untuk memastikan dia bisa mengikuti acara peluncuran produk dengan baik.

Resepsionis memberitahukan jika para peserta seminar sedang field trip ketika Mutia datang ke hotel. Dengan sedikit kecewa Mutia mengikuti prosedur untuk menyewa kamar. Dan matanya berkali-kali melirik pintu masuk hotel, berharap perjalanan Enoch segera berakhir dan kembali ke hotel. Tapi sampai Mutia memperoleh kunci kamar, menganti pakaian, dan kembali turun ke lobi para peserta belum juga kembali.

Acara peluncuran produk itu berjalan sangat gemerlap. Para beauty influencer dari wilayah Asia Tenggara, Jepang, dan Korea Selatan berkumpul di sana. Tamu undangan berlomba-lomba untuk mengunggah kegiatan mereka di sosial media masing-masing. Kecuali Mutia yang kembali meruntuki kebodohannya yang menyebabkan HP-nya tidak tersedia saat ini. Tapi bukankah dia ingin memberikan kejutan kepada Enoch? Jika dia memberikan informasi terakhir tentang keberadaannya saat ini bisa jadi hilang sudah unsur kejutan yang ingin dia berikan pada suaminya. Meskipun event itu tampak melenakan, Mutia tak kehilangan sensasi menggebu-gebunya karena membayangkan akan bertemu dengan Enoch.

##

Mutia berjalan ringan begitu turun dari taksi. Ingin rasanya dia melepaskan hi-heel yang seharian ini membalut kakinya, tapi ide bertelanjang kaki untuk masuk ke hotel tak bisa dia terima. Melangkah kaki memasuki lobi dia melihat beberapa orang terlihat bergerombol di depan hotel dengan tag yang serupa. Dia tak terlalu memperdulikan mereka sampai dia melihat sosok yang sudah terlalu dia kenal, sosok yang empat hari ini dia cari ada di rombongan itu.

Senyum mengembang otomatis ketika otaknya sudah berhasil memproses dan keterkejutannya mereda. Enoch tengah berbincang dengan rombongannya dan pria itu juga memilih menggenggam tag yang oleh sebagian temannya dikalungkan di leher. Kaki Mutia bergerak spontan mengarah pada suaminya dengan langkah menjangan, senyum tak juga lepas, dan dia bisa merasakan mukanya menghangat. Perasaannya membuncah.

Tapi seketika kegembiraan yang hadir menghilang bagai tersapu air bah, langkahnya berhenti mendadak, paru-parunya sulit untuk mengambil udara. Seorang wanita tiba-tiba muncul di samping suaminya dengan tangan yang terkait pada lengan Enoch yang masih belum menyadari kehadiran Mutia. Mutia mengenali wanita itu, wanita yang beberapa hari lalu mendapatkan jambakan darinya.

Perih mengalir di ulu hatinya. Semuanya menjadi kabur untuk Mutia, suara-suara di sekitarnya hanya bagai dengungan lebah, pandangannya berkabut. Rombongan di depannya bergerak menjauh, menuju lorong ke arah ball room. Sementara wanita itu tetap berdiri di tempatnya, mematung entah berapa lama.

Seseorang menyentuh pelan lengan Mutia, ketika akhirnya Mutia bergerak dan mengarahkan pandangannya ke samping, seorang wanita dengan seragam hotel tersenyum ramah padanya. Sebuah senyum profesional.

"Excuse me, Miss." Mutia mengingat wanita yang sedang bicara  sebagai resepsionis yang menerima kedatangannya tadi. "Rombongan peserta seminar ...." Logat Melayu yang kental ada di nada bicara wanita itu.

"Saya mau check out, bisa tolong bantu? Saya ke atas untuk mengambil koper dulu, tolong siapkan semuanya," kata Mutia dengan kalimat yang datar sebelum melangkah menuju lift dengan langkah hampa.

Mutia harus membereskan banyak hal karena tadi dia sengaja membongkar tasnya. Dia berharap akan tinggal lama di hotel, dia berharap akan menghabiskan waktunya dengan Enoch, dia berharap .... Mutia meremas lingerie ungu amethist-nya sebelum melemparkannya ke dalam tas. Dia ingin menangis, tapi baginya sudah tak ada waktu lagi. Dia ingin segera meninggalkan tempat itu. Semua pakaian hanya dia lemparkan ke dalam koper sebelum menutupnya dengan tergesa.

Ketika memasuki lift, Mutia membuka aplikasi pembelian tiket online di tab-nya dan mendapatkan tiket terakhir dengan harga rasional untuk kembali ke Jakarta jam sepuluh malam ini. Tubuhnya sebenarnya berteriak untuk diistirahatkan, tapi rasa muaknya sudah tak tertahankan.

Na, gue jadi ikut proyek lo di Bandung. Gue berangkat malam ini dari Jakarta.

Mutia mengirim e-mail singkat itu kepada Anna yang langsung dibalas.

Bukannya lo di Sing?

Pintu lift terbuka sehingga Mutia menunda membalas pesan itu. Setelah sampai di resepsionis sambil menunggu petugas menyelesaikan administrasi wanita itu baru membalas.

Urusan gue udah selesai. Pesawat gue jam 10 malam ini.

##

Lambung Mutia terasa sangat perih ketika pesawatnya mendarat di Jakarta. Isi perutnya kembali terkuras. Bahkan ketika sudah tidak ada makanan yang dikeluarkan, reflek muntahnya masih belum juga hilang. Hingga dia merasakan cairan pahit memenuhi mulutnya.

Berbeda dengan tadi pagi, Mutia sama sekali tak memikirkan aroma yang mungkin tercium dari tubuhnya. Energi telah tercabut dari tubuhnya, menyeret koper kabinnya lunglai Mutia berjalan lambat. Orang-orang berjalan melewatinya tapi dia tak peduli. Beberapa orang menggerutu ketika dia bergerak bagai siput di pintu, tapi dia terlalu lelah untuk mendengarkan.

"Lo kayak mayat." Anna sudah berdiri di hadapannya. Wanita itu menggulung rambut panjangnya di bagian pangkal leher, blazer tersampir di lengan kirinya, lengan kemeja abu-abunya tergulung hingga bawah siku. Anna masih memakai pakaian kerjanya. Tanpa mengatakan lebih banyak kata dia menyampirkan blazer hitamnya ke pundak Mutia, mengambil koper dari tangan sahabatnya dengan tangan kiri lalu mengandeng Mutia dengan tangan kanan.

"Kita berangkat ke Bandung sekarang? Nanti setelah subuh kita harus mulai soalnya." Saat ini sudah lewat tengah malam. Tak lebih dari dua puluh empat jam yang lalu Mutia datang ke tempat ini dengan membawa banyak harapan, dan kini dia kembali dengan berbukit kekecewaan.

Mutia hanya mengangguk atas pertanyaan Anna. Dia butuh bekerja untuk mengalihkan pikirannya. Dia butuh dikelilingi orang lain agar tidak lagi menangis dalam kesendirian.  Dia butuh untuk kembali menjadi dirinya.

---
Part selanjutkan akan diprivate. Terima kasih atas pengertiannya.

Kepingan Hati #ODOC_theWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang