Angin masih berhembus sepoi, jilatan api obor masih memancarkan cahayanya.
Semua orang menahan napas, mengawasi perubahan mimik muka Hek Seng-thian setelah dicekoki obat, sementara air muka Hek Seng-thian pucat-pias bagai mayat, peluh sebesar kedelai jatuh bercucuran membasahijidatnya.
Entah berapa saat sudah lewat, mendadak terdengar Hek Seng-thian menjerit kesakitan, dia mulai memegangi perutnya dengan kedua belah tangan dan meringis menahan rasa sakit.
"Kenapa kau?" tegur Lui-pian Lojin dengan wajah berubah.
"Aduh, sakit... sakit.. racun!" keluh Hek Seng-thian dengan suara gemetar.
Begitu mendengar kata "racun", paras muka Liu Ji-uh serta Im Ting-ting segera berubah hebat, bagai disambar petir di siang hari bolong tubuh mereka gemetar keras.
Tiba-tiba Lui-pian Lojin mendongakkan kepala dan tertawa keras, suaranya menggaung sampai lama sekali.
Pada mulanya Un Tay-tay merasa kecewa, menyusul kemudian tercengang dan akhirnya ikut tersenyum.
"Jadi obat itu beracun?" tandasnya sambil tertawa.
"Beracun... racun jahat... aaah, sudah menembus ususku, aku ... aduuuh, perutku sakit sekali seperti dililit, ...aaah, mungkin aku... aku tidak bisa hidup lebih lama lagi."
Mendadak Lui-pian Lojin menghentikan gelak tawanya dan berteriak keras:
"Ambilkan pisau!"
"Ambil pisau buat apa?" tanya Un Tay-tay sambil mengedipkan matanya.
"Kalau memang dia sudah keracunan, sudah pasti sebentar lagi nyawanya akan hilang, daripada dia menderita lebih lama, lebih baik Lohu bantu dia, agar matinya tidak usah tersiksa."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, Hek Seng-thian sudah melompat bangun sambil berteriak:
"Tidak ada racunnya... aku tidak keracunan....."
Semua orang merasa terkejut bercampur gembira, mereka masih belum paham apa yang sebenarnya telah terjadi.
Sambil tertawa, ujar Un Tay-tay:
"Agar kami semua tidak berani menelan pil pemunah itu, kau sengaja berlagak keracunan hebat, dasar berhati busuk, kau memang kejam setengah mati. Padahal kau lupa bahwa racun yang dimiliki Siang-tok Thaysu bukan sembarang racun, tidak mungkin racunnya bisa dibandingkan racun biasa. Boleh saja kau berlagak sakit perut, padahal sejak awal sandiwaramu sudah ketahuan, kalau aku saja sulit dibohongi, mana mungkin kau bisa menipu dia orang tua?"
Paras muka Hek Seng-thian pucat-pias, dengan kepala tertunduk dia bungkam dalam seribu bahasa.
Sambil tertawa, kembali Un Tay-tay berkata:
"Sekarang sisa obat penawar ini persis enam butir, ayo, kita telan dulu bersama-sama!"
Sambil berkata, diambilnya sebutir pil pemunah racun itu dan disodorkan ke hadapan Liu Ji-uh.
Tidak lama setelah menelan pil penawar racun itu, semua sudah mulai menunjukkan reaksinya.
Liong Kian-sik keracunan paling ringan, mula-mula dia memuntahkan segumpal air berwarna hijau, setelah kejang beberapa saat, lambat-laun tubuhnya mulai dapat bergerak, kesadaran yang semula hilang pun perlahan pulih kembali.
Dengan air mata berlinang Liu Ji-uh menanti dengan tenang, akhirnya dia tidak mampu menahan diri lagi dan segera memeluk tubuh suaminya erat-erat, serunya dengan nada gemetar:
"Kian-sik... Kian-sik... kau telah kembali, kau telah kembali...."
Jangan dilihat di hari biasa perempuan ini berpenampilan dingin dan angkuh, sekali perasaan hatinya terbuka, maka tampaklah kobaran api cintanya yang membara....
Bukankah bara lahar panas gunung berapi selalu tersembunyi di balik bebatuan yang dingin dan kaku?
Menyusul Lui Siau-tiau, Im Gi, Im Kiu-siau menunjukkan reaksinya, sekalipun kekuatan mereka belum pulih seperti sedia kala, namun masalah itu hanya soal waktu saja.
Liu Ji-uh, Im Ting-ting, Thiat Cing-su serta Un Tay-tay semuanya diliputi perasaan gembira yang meluap, sedemikian girangnya hingga untuk sesaat melupakan rasa benci dan dendamnya terhadap Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu.
"Ternyata kepandaian Siang-tok Thaysu dalam memunahkan racun memang nomor satu di kolong langit," gumam Un Tay-tay lirih, "kecuali dia, mungkin tidak ada orang lain yang sanggup memunahkan pengaruh racun Coat cing hoa"
"Mimpi pun aku tidak menyangka racun Coat cing hoa ternyata bisa dipunahkan, kusangka kusangka Kian-sik, dia... dia...."
Tidak menyelesaikan perkataannya, Liu Ji-uh telah sesenggukan dan memeluk tubuh suami¬nya semakin kencang.
Mendadak terdengar Im Ting-ting berteriak keras:
"Coba kalian lihat, Lui... Lui-locianpwe...." Dari nada teriakannya, dapat ditangkap betapa kaget dan ngerinya nona itu.
Dengan perasaan terperanjat semua orang berpaling, ternyata Lui-pian Lojin yang semula berdiri tegar bagaikan malaikat langit itu, entah sejak kapan sudah roboh terkapar di tanah.
Paras mukanya yang mula-mula merah bercahaya, sekarang telah berubah jadi pucat pasi bagaikan mayat.
Ketika berpaling ke arah Seng Cun-hau, maka tampak sekujur badannya sedang mengejang keras, keringat sebesar kacang kedelai bercucuran membasahi jidatnya.
"Apa... apa yang sebenarnya terjadi?" jerit Un Tay-tay kaget.
Baru dia berteriak, dari luar gua celah berkumandang suara gelak tertawa latah membetot sukma.
Menyusul terdengar Siang-tok Thaysu berkata dengan suara menyeramkan:
"Apa yang telah terjadi? Hanya aku yang bisa menjelaskan kepadamu."
Melihat bayangan tubuhnya, semua merasa colah melihat bayangan setan saja, tubuh Im Ting-ting segera gemetar keras, Thiat Cing-su mesti merangkul gadis itu kencang-kencang, tidak urung dia sendiri pun gemetar juga.
Liu Ji-uh mendekap pula tubuh Liong Kian-sik dengan kencang, jeritnya ngeri:
"Pergi... pergi kau!"
"Pergi?" Siang-tok Thaysu tertawa latah, "kali ini aku tidak bakal pergi lagi, bila aku tidak mau pergi, siapa manusia di kolong langit ini yang bisa memerintahkan aku bergeser setengah langkah pun dari sini?"
Un Tay-tay memaksakan diri mengendali¬kan perasaannya yang bergejolak, dengan memberanikan diri dia balas tertawa dingin, jengeknya:
"Huuh, tadi saja sudah kabur terbirit-birit mirip tikus terjepit, tidak disangka sekarang berani tebalkan muka muncul lagi di sini, memangnya kau tidak kuatir kehilangan pamormu sebagai seorang pemimpin perguruan?"
"Budak cilik, tahu apa kau?" sahut Siang-tok Thaysu sambil tertawa, "tadi aku memang mengundurkan diri sementara waktu, tindakanku tidak lebih hanya merupakan taktik 'mundur untuk maju', aku memang ingin menyaksikan kalian satu per satu kehilangan nyawa tanpa aku mesti membuang banyak tenaga."
Selesai bicara, kembali dia tertawa latah, lagaknya nampak begitu puas, begitu gembira.
"Jadi... jadi pil tadi benar-benar obat beracun?" bisik Liu Ji-uh dengan suara parau
Gelak tertawa Siang-tok Thaysu semakin bangga.
"Hahaha, kalau obat itu racun, masa kalian bersedia menelannya? Lagi pula jika aku harus mencabut nyawa kalian dengan mengandalkan racun, hal ini tidak mencerminkan kemampuanku yang sesungguhnya, tapi sekarang, aku justru dapat mencabut nyawa kalian dengan mengandalkan obat penawar racun, nah, dari sini kalian bisa membuktikan betapa hebatnya tindakanku, bukankah begitu? He, orang she Lui, sekarang kau sudah benar-benar takluk bukan?"
"Obat penawar racun?" tidak tahan Liu Ji-uh berseru, "kenapa jika obat penawar racun bereaksi begini?"
"Tentu saja teori di balik semua ini sangat rumit dan rahasia, kau tidak bakal mengerti, kecuali tokoh macam aku, manusia mana di kolong langit saat ini yang bisa memahami rahasia di balik semua itu?"
Setelah tertawa latah berulang kali, lanjutnya:
"Sewaktu menemukan buli-buli berisi obat tadi, perasaan kalian pasti sangat gembira bukan? Tahukah kalian bahwa buli-buli itu memang sengaja kujatuhkan?"
"Kenapa... kenapa kau sengaja berbuat begitu?"
"Walau obat mujarab itu bisa memunahkan racun, namun setelah memunahkan satu jenis racun, maka sifat obatnya akan ikut lenyap bersama dengan lenyapnya racun yang bersarang di tubuh, dan akan berubah jadi segumpal air hijau yang dimuntahkan keluar."
Tanpa terasa Liu Ji-uh melirik sekejap gumpalan air hijau di tanah, tanyanya lagi:
"Kemudian?"
"Tapi sayang racun yang bersarang di tubuh orang she Lui itu terdiri dari dua jenis racun jahat yang berbeda, walaupun obat pemunah itu berhasil memunahkan salah satu sifat racun yang ada, namun tetap meninggalkan jenis racun yang lain di dalam tubuhnya, semestinya dia harus mengandalkan pertentangan kedua racun di dalam tubuhnya untuk mempertahankan diri, sayangnya begitu salah satu jenis racun lenyap, maka jenis racun yang lain pun mulai bekerja, apalagi sifat racun itu sudah kelewat lama dikendalikan dalam tubuhnya, tidak heran begitu kambuh maka keadaan sulit dibendung lagi."
"Aaah, ternyata begitu," seru Liu Ji-uh ketakutan.
"Hahaha, kalau aku tidak menghitung secara tepat akan hal ini, untuk apa obat penawar racun itu sengaja kutinggal di sini? Bagaimana mungkin tua bangka she Lui ini mampu merobek saku bajuku?"
Sementara dia tertawa tergelak dengan latahnya, paras muka semua jago justru berubah jadi pucat keabu-abuan.
"Tapi... tapi orang lain toh tidak terkena dua jenis racun ...." seru Liu Ji-uh.
"Asal tua bangka she Lui itu tidak mampu melawan racun yang bersarang di tubuhnya, kenapa aku musti merisaukan yang lain? Memangnya orang-orang itu sanggup menghadapi gempuran Dewa racun, kendatipun kekuatan tenaga dalam mereka telah pulih kembali?"
Setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu, kembali dia menambahkan sambil tertawa tergelak:
"Lagi pula mereka baru terbebas dari pengaruh racun, tenaga dalam yang dimiliki pun belum pulih seperti sedia kala, bila aku ingin mencabut nyawa mereka, semuanya bisa kulaku¬kan segampang merogoh saku sendiri."
"Makhluk tua beracun, wahai, makhluk tua beracun, ternyata hatimu lebih beracun ketimbang racunmu, padahal kami tidak punya dendam denganmu, kenapa kau turun tangan sekeji ini?"
"Hahaha, kalau soal itu lebih baik kau tanyakan sendiri kepada raja akhirat setelah mampus nanti, paling tidak aku sudah memberi-kan sedikit pertanggung jawaban kepadamu dengan menjelaskan rahasia ini, kalau tidak, mampus pun kau akan menjadi setan kebingung¬an."
Tiba-tiba dia membalikkan tubuh sambil membentak:
"Mana Dewa racun?"
Semua orang merasakan napasnya jadi sesak, mereka sadar bila Dewa racun muncul di situ, maka semua orang yang berada dalam gua akan kehilangan nyawa.
Dan kali ini mustahil akan muncul kemukjizatan lagi seperti tadi.
Siapa tahu walaupun Siang-tok Thaysu sudah berteriak berulang kali, namun dari luar gua sama sekali tidak nampak sesuatu gerakan pun.
Berubah paras muka Siang-tok Thaysu, sekali lagi hardiknya:
"Dewa racun, ada dimana kau?" Suara bentakan yang menggelegar bagai guntur membelah bumi, membuat seluruh dinding gua bergetar dan mendengung tiada hentinya.
Namun di luar gua sama sekali tidak terdengar suara, Dewa racun pun tidak menam¬pakkan diri.
Semua orang kembali dibuat tercengang, girang serta tidak habis mengerti.
Paras muka Siang-tok Thaysu berubah semakin hebat, dia terlebih tidak habis mengerti dengan kejadian ini, kalau dibilang Dewa racun membangkang perintahnya, jelas hal ini merupa¬kan satu peristiwa yang mustahil.
Tapi kenyataan, kendatipun dia sudah berteriak berulang kali, namun Dewa racun tetap tidak muncul.
"Siapa tahu Dewa racun sama seperti kau tadi, kabur terbirit-birit" ejek Un Tay-tay sambil tertawa dingin.
"Budak sialan, kau jangan bicara sembarangan,"teriak Siang-tok Thaysu gusar, "bila Dewa racun muncul nanti, pertama-tama nyawamu yang akan kucabut."
Sambil mementang mulutnya, untuk ketiga kalinya dia berteriak:
"Dewa racun, dimanakau?"
Suaranya keras dan menggaung sampai ke tempat jauh, sampai lama kemudian suara itu baru sirap dan lenyap dari pendengaran.
Baru saja Siang-tok Thaysu menggerakkan tubuhnya dan siap menerjang keluar dari gua untuk melihat keadaan, mendadak terdengar suara tertawa yang merdu bagaikan suara keleningan berkumandang dari luar gua.
"Dewa racun berada di sini," terdengar suara merdu seorang wanita bergema.
Begitu suara merdu itu berkumandang, semua jago yang berada dalam gua kembali dibuat terkesiap.
"Siapa kau?" bentak Siang-tok Thaysu dengan wajah berubah hebat.
"Coba perhatikan siapakah aku," jawab orang di luar gua sambil tertawa ringan.
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, seorang wanita cantik berdandan istana sudah melayang masuk ke dalam gua.
Semua orang merasakan pandangan mata¬nya jadi silau, penampilan perempuan cantik bak putri istana yang memancarkan cahaya berkilauan itu membuat suasana dalam gua yang gelap gulita seakan berubah jadi gemerlapan, gemerlapan seperti dalam istana.
"Hoa Bu-soat!" jerit Siang-tok Thaysu dengan perasaan kaget.
Sambil membelalakkan mata, Lui-pian Lojin ikut menjerit kaget:
"Aaah kau! Ternyata kau ikut datang?"
"Betul, aku telah datang," si Hujan gerimis Hoa Bu-soat tersenyum lebar.
Kemudian sambil menatap wajah Siang-tok Thaysu, lanjutnya:
"Kau tidak menyangka bukan kalau aku bakal kemari, sedang Dewa racunmu...."
"Kemana perginya Dewa racun?" tanya Siang-tok Thaysu dengan wajah berubah.
"Sudah digiring pergi seseorang, sekarang entah sudah kabur kemana."
"Kurangajar," teriak Siang-tok Thaysu gusar, "Dewa racun hanya menuruti perintahku seorang, mana mungkin bisa digiring pergi orang lain?"
"Mungkin saja orang lain tidak mampu menggiringnya pergi, sayang orang yang meng¬giringnya pergi barusan secara kebetulan memiliki ilmu pembetot sukma yang sangat hebat, ilmu pembetot sukma yang jauh berbeda dengan kemampuan orang lain."
"Hong Lo-su? Kau maksudkan Hong Lo-su?" seru Siang-tok Thaysu terperanjat.
"Tepat sekali."
"Bukankah dia sudah terkena racun ganas¬ku, masakah tidak mampus?"
"Coat cing hoa, masa kau lupa Coat cing hoa?" Hoa Bu-soat tersenyum.
Siang-tok Thaysu tertegun sesaat, kemu¬dian sambil menghentak kan kaki dia berseru:
"Takdir... takdir...."
"Benar, memang kehendak takdir, takdir menghendaki Coat cing hoa tumbuh di tempat ini, takdir pula yang menghendaki Hong Lo-su tidak tewas di tempat ini, karena dia dibutuhkan untuk memancing kepergian si Dewa racun "
Senyuman yang semula menghiasi ujung bibirnya mendadak hilang tidak berbekas, selapis hawa pembunuhan yang mendekati gila mulai menyelimuti wajahnya, sambil berbicara, selang¬kah demi selangkah perempuan itu menghampiri Siang-tok Thaysu.
Tanpa sadar Siang-tok Thaysu mundur dua langkah.
"Kau...."
Hoa Bu-soat sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya untuk bicara, kembali bentaknya:
"Takdir menghendak Dewa racun tersingkir, agar aku dapat mencabut nyawamu."
"Memangnya kau sudah gila?" teriak Siang-tok Thaysu gusar, "antara kau dan aku tidak pernah terikat dendam sakit hati, kenapa kau sengaja memusuhi aku?"
"Sengaja memusuhimu?" Hoa Bu-soat tertawa dingin, "tidak punya dendam sakit hati? Hmmm, hmmm! Putriku tidak punya dendam sakit hati denganmu, kenapa tanpa sebab kau meracuninya hingga mati?"
"Putrimu? Ketemu saja belum pernah, mana mungkin aku meracuninya sampai mati?" sanggah Siang-tok Thaysu keheranan, "kau jangan percaya fitnahan jahat orang lain, kalau belum ada bukti jangan tanpa sebab mencari aku!"
Bagaikan orang gila Hoa Bu-soat tertawa tergelak, jeritnya:
"Kentut! Dalam tubuh putriku jelas ditemu¬kan racunmu, memangnya ada orang lain yang bisa melepaskan racunmu? Jadi kau masih menyangkal? Kalau bukan Coat cing hoa yang menutupi tubuh nya, putri mestikaku itu... Ling-ling, anakku mungkin sudah mati keracunan sekarang."
Sepasang matanya merah, wajahnya penuh diselimuti hawa napsu membunuh, kecantikan serta keanggunannya seolah sudah lenyap, keayu-annya bagai bidadari kini telah berubah menjadi iblis pembetot sukma yang ganas.
Siang-tok Thaysu semakin tercengang dan heran ditambah ketakutan setelah melihat betapa mendalamnya rasa benci perempuan itu terhadap dirinya, dia mundur satu langkah dan berseru:
"Kapan aku bertemu putrimu? Atas dasar apa kau mengatakan begitu?"
"Kau masih belum mau mengakui? Baik! Akan kusuruh kau lihat sendiri."
Sambil membalikkan badan, dia berteriak keras:
"Muridku, bopong masuk Sucimu."
Seseorang menyahut dari luar gua, kemudian terlihat Sim Sin-pek dengan membopong Sui Leng-kong berjalan masuk dengan langkah lebar, kelihatannya jalan darah tidur Sui Leng-kong sudah tertotok hingga saat itu dia berada dalam kondisi tertidur nyenyak.
Mengetahui Hoa Bu-soat berniat mencabut nyawa Siang-tok Thaysu, atau dengan perkataan lain, nyawa semua orang yang ada di situ bakal terselamatkan, diam-diam Un Tay-tay merasa sangat kegirangan.
Tapi begitu tahu murid Hoa Bu-soat ternyata adalah Sim Sin-pek, sedang gadis yang dibopong Sim Sin-pek adalah Sui Leng-kong. Tidak terlukiskan rasa terperanjat perempuan ini.
Kebalikannya, Pek Seng-bu sekalian justru merasa kegirangan setengah mati.
Sebenarnya mereka berada dalam posisi yang terjelek, bukan saja Siang-tok Thaysu akan mencabut nyawanya, Lui-pian Lojin pun ingin merenggut jiwa mereka, apalagi orang-orang perguruan Tay ki bun, rasa benci mereka ibarat ingin makan dagingnya dan menguliti tubuh mereka.
Bagi mereka, biar dihitung dengan cara bagaimanapun, terlepas siapa menang siapa kalah, diri sendiri tetap sulit lolos dari bahaya maut.
Tapi kini situasi berubah secara tiba-tiba, kemunculan si Hujan gerimis Hoa Bu-soat yang di luar dugaan segera berhasil menguasai keadaan, sementara Sim Sin-pek telah menjadi murid barunya.
Dengan terjadinya perubahan ini, maka posisi pun kembali berubah secara drastis, sekali¬pun Pek Seng-bu sekalian diliputi perasaan gembira yang luar biasa, namun mereka tetap tidak bisa menebak kenapa bisa terjadi perubahan seperti ini.
Terdengar Hoa Bu-soat menjerit lagi sambil menuding ke arah Sui Leng-kong:
"Cepat katakan! Cepat katakan! Apakah dia keracunan di tanganmu?"
"Benar, tapi... bagaimana mungkin dia adalah putrimu?"
Hoa Bu-soat mulai mencak-mencak macam orang kesurupan, jeritnya:
"Siapa bilang dia bukan putriku? Orang she Lui, aku mau tanya, benarkah dia adalah putriku? Ayo, katakan, kenapa? Kau pun tidak berani mengatakannya?"
Lui-pian Lojin hanya memejamkan mata tanpa menjawab.
Sejujurnya, Lui-pian Lojin ingin sekali Hoa Bu-soat membantai Siang-tok Thaysu secepatnya, tentu saja dia enggan membongkar rahasia itu, namun dengan nama serta statusnya, mustahil baginya untuk berbohong, itulah sebabnya untuk sesaat dia gelagapan dan tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Tiba-tiba Hoa Bu-soat menarik Lui Siau-tiau dari atas tanah, kembali jeritnya:
"Ling-ling... putri mustikaku, kau kenal dengannya bukan? Betul, kau lebih kenal daripada siapa pun, ayo, cepat jawab, benarkah dia adalah Ling-ling putri kesayanganku?"
Lui Siau-tiau melirik ayahnya sekejap, kemudian sahutnya:
"Rasanya... rasanya memang dia."
Siang-tok Thaysu menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu, dia sadar masalah yang dihadapinya hari ini tidak mungkin bisa diselesaikan secara baik-baik, bagaimanapun juga pertarungan tidak bisa dihindari lagi, timbul pikiran untuk turun tangan terlebih dahulu, siapa yang menyerang lebih dulu, dia yang akan kuat.
Dalam pada itu Hoa Bu-soat telah tertawa terkekeh-kekeh, teriaknya:
"Itulah dia...... itulah dia, makhluk tua beracun, apa lagi yang ingin kau katakan? Ling-ling.... oooh, Ling-lingku sayang, ibu akan membalaskan dendam sakit hatimu."
Siang-tok Thaysu sama sekali tidak berbicara, diam-diam tangannya dimasukkan ke dalam saku....
Tiba-tiba Sim Sin-pek berteriak dengan mata berkilat:
"Suhu, kau orang tua jangan lupa, biarpun Siang-tok Thaysu yang meracuni, namun dalang¬nya orang lain, kenapa kau orang tua tidak membasmi dulu dalangnya?"
Sebetulnya Siang-tok Thaysu sudah bersiap sedia melancarkan serangan, begitu mendengar perkataan itu, sepasang matanya ikut berkilat, cepat dia menarik kembali tangannya dari dalam saku.
Hoa Bu-soat sendiri yang sudah siap menerjang Siang-tok Thaysu ikut menghentikan gerakan tubuhnya, serunya sambil mengertak gigi:
"Betul, yang paling memuakkan adalah dalangnya, dia harus dibantai lebih dulu."
Sinar matanya yang kalap dan penuh kebencian segera dialihkan ke wajah Lui-pian Lojin.
"Dalangnya?" gumam Lui-pian Lojin melengak, "siapa dalangnya?"
"Kau!"
"Kau sudah edan?" teriak Lui-pian Lojin terkejut bercampur gusar, "aku... mana mungkin aku
"Lui-loheng," sela Siang-tok Thaysu tiba-tiba sambil tertawa dingin, "urusan telah berkembang jadi begini, buat apa kau masih menyangkal? Lagi pula buat apa aku mesti mencelakai putrinya dengan racun? Toh putrinya tidak ada urusan denganku."
Berubah hebat paras muka Lui-pian Lojin.
"Hoa Ji-nio!" teriaknya penuh amarah, "kau jangan mempercayai fitnahan busuk bajingan tua itu, dia sengaja menggigit aku agar kau ber¬musuhan denganku, coba bayangkan sendiri, apa alasanku untuk mencelakai putrimu?"
Kembali Siang-tok Thaysu tertawa dingin, sindirnya:
"Sudah, jangan mungkir lagi, bukankah karena putramu sudah punya gadis idaman lain dan segera akan menikah, maka kalian ayah beranak kuatir nona Hoa akan menjadi batu sandungan dan ingin cepat-cepat menghilangkan duri dalam daging?"
Kehebatan ilmu racunnya memang tiada duanya di kolong langit, ternyata bukan itu saja, kebusukan hatinya terbukti jauh lebih beracun dari segala jenis kalajengking paling beracun sekalipun.
Diam-diam Sim Sin-pek bertepuk tangan kegirangan setelah menyaksikan adegan ini.
Begitu meyakinkan cara bicara Siang-tok Thaysu, sampai Im Ting-ting serta Thiat Cing-su sekalian nyaris ikut percaya dengan perkataannya, kini tinggal Lui-pian Lojin ayah beranak serta Un Tay-tay tiga orang yang kebingungan kalang-kabut, paras muka mereka berubah hebat.
"Bagus sekali," terdengar Hoa Bu-soat berteriak gusar, "hei, orang she Lui, ternyata putramu sudah mempunyai simpanan lain! Makhluk tua beracun, coba katakan, siapa perempuan yang disukai putranya? Dimana dia sekarang?"
"Itu dia orangnya!" ujar Siang-tok Thaysu sambil menuding ke arah Un Tay-tay.
Tidak terlukiskan rasa kaget Un Tay-tay, cepat dia kabur dari dalam gua.
Baru saja kakinya bergeser, tahu-tahu Hoa Bu-soat sudah tiba di hadapannya, jari tangannya yang lentik bersih secepat kilat melancarkan sebuah cengkeraman menyongsong kedatangan-nya.
Untuk sesaat Un Tay-tay kebingungan dan tidak tahu bagaimana harus berkelit dari cengkeraman itu, tahu-tahu Hoa Bu-soat telah menjambak rambutnya dan membanting wanita itu hingga jatuh terpelanting.
Im Ting-ting serta Lui Siau-tiau kontan saja menjerit kaget.
"Pelacur busuk," umpat Hoa Bu-soat penuh kebencian, "kau memang rase kecil, berani benar merebut pacar Ling-ling? Memangnya kau sudah makan nyali macan?"
"Ploook!", sebuah tempelengan keras langsung dilontarkan ke wajah Un Tay-tay.
"Tahan!" hardik Lui-pian Lojin tidak tahan, "urusan ini tidak ada sangkut paut dengannya, lepaskan dia"
"Oooh, melihat aku menamparnya, kalian ayah beranak sakit hati? Tidak tega? Baik, aku sengaja akan menggaploknya lagi, bahkan akan kutempeleng lebih keras, lebih buas, agar kalian ayah beranak bisa menikmati lebih seksama."
Tangannya bekerja cepat, dalam waktu singkat dia sudah menghadiahkan tujuh delapan tempelengan ke wajah Un Tay-tay.
Sekalipun tamparan itu tidak menggunakan tenaga penuh, namun kekuatannya cukup meng¬gidikkan hati, begitu ketujuh delapan tamparan itu selesai dilontarkan, wajah Un Tay-tay yang semula putih halus telah berubah menjadi merah kehitam-hitaman.
Sebesar apapun daya tahan Un Tay-tay, kini dia tidak kuasa lagi menahan diri hingga menjerit keras.
Seng Toa-nio sekalian benar-benar merasa puas menyaksikan kejadian ini, diam-diam mereka bersorak sambil berteriak dalam hati:
"Bagus, tamparan yang bagus, ayo, hajar lagi!"
Sebaliknya Im Ting-ting sekalian tidak tega menyaksikan lebih lanjut, diam-diam mereka berpaling ke arah lain.
Tidak terlukiskan rasa gusar Lui-pian Lojin, dalam hati dia ingin sekali bangkit berdiri dan balas menghajar perempuan itu, sayang tubuhnya tidak memiliki kekuatan untuk bangkit.
Air mata telah berlinang membasahi wajah Un Tay-tay, ujarnya dengan suara gemetar:
"Kalau ingin memukul, ayo, pukullah terus! Toh aku perempuan bernasib buruk, tidak masalah kau hajar aku sampai mati, tapi ... tapi... kami benar-benar tidak pernah mencelakai putrimu, lagi pula dia bukan putrimu."
Sebetulnya Hoa Bu-soat telah menghenti¬kan tamparannya, tapi begitu mendengar ucapan itu, dengan kalap dia menampar lagi sekuatnya.
Sambil tangannya diayunkan berulang kali, tiada hentinya dia mencaci-maki:
"Kalau putriku bukan dia lantas siapa? Dasar siluman rase cilik, kau masih berani membohongi aku... hari ini... hari ini aku harus menghajarmu sampai mampus."
"Dia tidak berbohong, putrimu memang tidak ada di sini," teriak Lui-pian Lojin nyaring.
"Kentut!" Hoa Bu-soat menyeringai seram, "sudah jelas tadi kau telah mengakuinya, percuma mungkir sekarang...."
Tamparannya makin lama semakin keras, makin cepat dan makin berat, katanya lagi sambil tertawa seram:
"Lui Siau-tiau, aku mau tanya, bagian mana dari pelacur busuk ini yang paling menarik bagimu? Bagian mana dari tubuh pelacur ini yang lebih bagus dari putriku, kau... apakah kau tertarik dengan sepasang mata siluman rase ini?"
"Kau salah paham," sahut Lui Siau-tiau cepat, "keponakan...."
"Hmm! Aku tahu, kau pasti sudah tertarik dengan sepasang mata jeli siluman rase ini, baik, hari ini aku akan mencongkelnya, akan kulihat dia akan menggunakan apa lagi untuk memikat hatimu?"
Sambil berkata dia menggunakan kedua jari tangannya yang panjang dan tajam untuk bersiap mencongkel sepasang mata Un Tay-tay yang basah oleh linangan air mata.
Lui Siau-tiau tidak tega melihat lebih jauh, cepat dia memejamkan mata, sedang Un Tay-tay hanya bisa menjerit ngeri sambil memejamkan sepasang matanya, dia dapat merasakan ujung jari tangan Hoa Bu-soat yang dingin bagaikan es telah menyentuh kelopak matanya.
Di luar gua, di tanah padang rumput yang luas, hanya ada Suto Siau seorang yang berjaga-jaga sambil tersenyum, dia sedang mengawasi Sun Siau-kiau serta Gi Beng dan Gi Teng yang sudah tertotok.
Sementara mereka yang berada dalam gua, kalau bukan kehilangan tenaga karena keracunan, tentulah musuh bebuyutan Un Tay-tay, atau mungkin akan muncul lagi manusia dari langit atau bawah tanah?
Dalam keadaan dan suasana seperti ini, pada hakikatnya mustahil ada orang bisa menye¬lamatkan dirinya lagi, kelihatannya sepasang mata yangjeli itu segera akan tercongkel keluar
Dalam situasi yang amat drastis ini, hanya ada satu nama yang terlintas dalam benak wanita itu.
"Im Ceng... Im Ceng... tunggulah aku di alam baka, aku segera akan menyusulmu!"
Ujung jari Hoa Bu-soat telah menyentuh mata Un Tay-tay....

YOU ARE READING
Pendekar Panji Sakti - Gu Long
ActionMengisahkan seorang pemuda bernama Thiat Tiong Tong, yang menjadi murid perguruan Thiat Hiat Tay Ki Bun (Panji Sakti Darah Besi), dimana perseteruan abadi antara Perguruan Thiat Hiat Tay Ki Bun dan 5 Keluarga Besar Dunia Persilatan (Benteng Han Hong...