8

13.9K 1.2K 9
                                    

Afif Ahwal Said

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Afif Ahwal Said

Riuh tepuk tangan terdengar seisi kelas saat Yusuf dan Khalil kembali ke tempat duduknya, tepat setelah mereka menyelesaikan presentasi di depan teman kelasnya.

"Baiklah, kelas kita tutup hari ini. Berhubung sebentar lagi sudah masuk waktu sholat Jum'at. Yusuf, kamu sudah siap 'kan dengan khotbahmu?" Aku menatap Yusuf yang tengah merapikan alat tulisnya.

"Iya, pak." Jawabnya yang kubalas dengan seulas senyuman.

"Kalau begitu, sampai ketemu minggu depan. Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh," ku langkahkan kakiku keluar dari kelas dan bergegas menuju ruanganku untuk mengambil sendal jepit serta menyimpan ranselku.

"Kamu kenapa sih, Wal? Dari tadi aku perhatikan, kamu hanya bolak balik saja. Gak mau ke masjid nih?" aku menghiraukan cicitan Nazril dan terus melanjutkan aksiku yang sedang membuka tutup lemari.

"Cari apaan sih? Udah deh, entar aja kamu carinya! Ini udah mau masuk waktu dhuzur!"

"Kamu duluan saja lah, sendalku masih belum ketemu," kataku, akhirnya. Iya, aku sedang mencari sendal swallow ku yang entah kuletakkan dimana terakhir kali setelah ku pakai.

Ku lihat, Nazril menepuk keningnya, "Astagfirullah! Jadi, dari tadi kamu hanya mencari sendal?" Ia menatapku dengan tatapan gelinya. Aku lantas mengangguk dan melanjutkan pencarian ku, "sudahlah! Pakai saja punyaku. Tuh, dilemari bawah!" Lanjutnya, sambil mengarahkan matanya pada lemarinya.

Tanpa harus menunggu masa lebih lama lagi, langsung saja aku berjongkok dan membuka lemari kecil berukuran 50x50 cm itu. Mataku membelalak sempurna saat yang ku lihat pertama kali dalam lemari kecil itu, ialah selembar foto. Foto seorang gadis yang auratnya tertutup, senyuman yang tujuh tahun terakhir selalu aku rindukan, walaupun masih haram bagiku. Dan, dari mana Nazril mendapatkan foto gadis ini? Gadis yang selama ini ku cari. Dia, adalah gadisku.

"Nazril?" tanyaku berbau panggilan, mataku masih fokus pada objek yang ada di tanganku.

Masha Allah, semenjak tujuh tahun lamanya. Untuk pertama kalinya aku melihat wajahnya setelah tujuh tahun tak mendengar kabarnya. Dia, makin cantik dengan busana muslimah yang membalut tubuhnya.

Suara langkah sepatu Nazril yang bertubrukan dengan ubin, membuat ku semakin deg-degan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Suara langkah sepatu Nazril yang bertubrukan dengan ubin, membuat ku semakin deg-degan. Jangan bilang, gadis yang dimaksud Nazril waktu itu, gadis yang ingin dilamar oleh Nazril, adalah gadisku? "Ada apa?" Aku tersentak saat menyadari Nazril sudah berdiri disamping ku. Kemudian, "Bagaimana? Cantik, tidak? Ini gadis yang ku maksud," kutatap Nazril, lamat-lamat. Dari pancaran matanya, sama sekali tidak menunjukkan kesan bercanda.

Tidak adakah yang lebih buruk dari ini?

-

Aku masih tidak habis pikir, orang yang aku cintai akan segera dilamar oleh seseorang yang sudah aku anggap sebagai sahabat. Aku mengurut pelipis dan membuang pandangan ku jauh-jauh. Astagfirullah, ya Allah. Senyumnya masih terbayang di otakku. Setiap potongan wajahnya terasa begitu nyata bagiku, walau hanya ku lihat dari selembar kertas saja.

Ampuni hambaMu ini ya Allah, perasaan menggebu-gebu ingin berjumpa sosoknya semakin besar tatkala aku mengetahui tempatnya bekerja. Rasanya ingin sekali aku melihat wajahnya dengan jelas, meneliti setiap inci dari wajahnya yang tak pernah sekalipun luput dari pikiranku.

Tapi, apakah dia sudi bertemu denganku? Aku hanya seonggok daging yang bertransformasi menjadi sosok laki-laki tidak normal, yang sering ia tertawakan di sekolah. Bahkan, kami tidak pernah berbicara empat mata sebelum kejadian malam di tujuh tahun yang lalu. Apa aku sanggup bertemu dengannya dan mengatakan kalau aku sudah normal, kemudian ia kembali menertawakan aku. Astaga, membayangkannya saja membuat ku malu.

"Aas?" aku menoleh dan mendapati Yumna berdiri didepanku, menghalangi pandanganku dari matahari yang akan terbenam.

"Aas? Maksud kamu?" tanyaku bingung dengan panggilannya itu. Sejak kapan namaku berubah sesingkat itu?

Yumna tersenyum, hijab yang ia kenakan melambai-lambai ditiup angin. "Iya, Aas. Afif Ahwal Said,"

Aku mengernyit, merasa bingung dengan kebiasaannya yang sering menyebut nama lengkap lawan bicaranya. Apa mungkin Yumna sudah bosan dengan kebiasaannya itu? Entahlah. "Kamu kok bisa di sini?"

Terdengar helaan nafas berat keluar dari hidung mancung Yumna, "biasalah. Mamaku terlalu rempong menyuruhku untuk menemuimu. Huh, lama-lama aku bosan dengan situasi ini. Aku 'kan, juga berhak memilih dengan siapa aku ingin menikah," dari nada bicaranya, aku yakin kalau Yumna benar-benar tertekan dengan paksaan dari kedua ibu-ibu itu--Ibuku dan mamanya Yumna--untuk menjodohkan kami.

"Sabar yah. Aku tau kok bagaimana perasaanmu. Aku juga merasa tertekan dengan situasi ini. Rasanya, aku ingin cepat-cepat menemukan gadis itu dan mengenalkannya pada kedua orang tuaku agar permasalahan kita cepat selesai," ujarku sambil memandang matahari yang kini tengah tenggelam. Semburat jingga mulai terlihat jelas ditempat matahari tadi.

"Aas, bagaimana kalau kamu memberitahu aku tentang gadis itu? Biar aku yang membantu kamu menemukannya," raut Yumna nampak serius, menatapku lekat-lekat.

Haruskah aku memberitahu Yumna tentang gadis itu? Tentang keberadaannya yang sudah kuketahui. Haruskah?

"Ng, Yumna.... sebenarnya... sebenarnya, aku...."

🌈🌈🌈

Syukron udah mau baca dan meninggalkan jejak💕

4.Januari.2017®BlueAinn
→ Cerita ini tidak di revisi setelah ditulis, jangan heran kalau banyak typo dan membingungkan.

Aishtaqat Lak | [COMPLETED]Where stories live. Discover now