22

11.5K 945 25
                                    

Afif Ahwal Said

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Afif Ahwal Said

Sebenarnya aku sedikit kecewa dengan keputusan Zayba yang memilih untuk mengulur waktu pernikahan kami. Katanya, masih banyak yang harus ia persiapkan sebelum melangkah ke jenjang yang lebih serius.

Lain Zayba, lain juga dengan Ibu. Hampir setiap hari beliau mendesakku untuk menikah. Jika tidak dengan wanita pilihanku, maka aku akan berakhir bersama Yumna. Bukan aku tidak suka pada Yumna. Siapa yang tidak suka dengan gadis unik itu? Selain cantik dan berasal dari keluarga baik-baik, pengetahuan tentang islam yang ia ketahui sangat luas. Dari dulu aku selalu kagum jika mendengar Yumna menjelaskan segala sesuatunya yang ia sangkut pautkan dengan islam.

Jika disuruh untuk memilih, sudah tentu aku memilih Zayba. Meskipun aku tidak banyak tahu tentang masa lalunya, tapi sikapnya yang sangat pecicilan waktu SMA membuatku tanpa berpikir panjang langsung memantapkan hati padanya. Disaat perempuan lain--kecuali Yumna--sibuk menjaga imej di depan kaum Adam, Zayba justru bersikap sebaliknya. Jika perempuan pada umumnya tidak ingin makan banyak didepan laki-laki yang ia suka, Zayba justru meminta ditraktir lima mangkuk bakso pada kekasihnya kala itu. Ah, mengingat deretan mantan Zayba yang kelewat mempesona, membuatku takut jika nanti Zayba akan berpaling dariku.

Tatapanku teralihkan pada benda  pipih yang kusimpan di saku celana. Ibu? Ada apa Ibu menelponku siang-siang begini? Bukankah beliau tahu, beberapa menit lagi aku ada kelas. Tanpa berpikir banyak lagi, aku langsung menggeser icon hijau dan panggilan langsung tersambung.

"Assalamu'alaikum, ada apa Bu?"

"Nak, sekarang kamu dimana? Ibumu masuk rumah sakit. Asmanya kambuh," seolah mendapat sengatan tegangan tinggi, aku membeku ditempatku. Pasokan oksigen yang berduyun-duyun ingin memenuhi rongga dadaku, seolah mengalami gangguan lalu lintas ditenggorokanku.

Subhanallah, asma Ibu kambu lagi? Tapi, kukira akhir-akhir ini beliau tidak pernah lagi mengidapnya. Mengapa begitu tiba-tiba?

"Ahwal? Kamu masih disana nak?" Aku terkesiap dari lamunanku, mendengar seruan Ayah.

"I..iya Yah. Ahwal kesana sekarang," tanpa berpikir banyak lagi, aku langsung berlari menuju parkiran. Menngendarai motorku dengan kecepatan diatas rata-rata menembus padatnya jalanan kota Jakarta disaat jam makan siang seperti ini.

Bunyi ban berdecit terdengar ngilu ditelingaku. Sebuah mobil matic merem mendadak, seiringan dengan motorku yang juga ku hentikan. Napasku kembali beradu, menetralkan detak jatungku yang hampir berjumpa dengan maut kalau saja aku melajukan motorku lebih cepat dari tadi.

Pengendara jazz tadi keluar dari balik kemudi. Lagi-lagi aku hampir kehabisan napas saat yang keluar dibalik kemudi ialah seseorang yang kemarin malam mengulur waktu pernikahan kami.

Wajahnya terlihat pucat pasi, menandakan jika ia sama terkejutnya dengan aku. Langkahnya terlihat lunglai saat menghampiriku. Beruntung kami berada disebuah pinggiran perumahan elit, dimana suasananya cukup sepi dari kendaraan yang lalu lalang.

Aishtaqat Lak | [COMPLETED]Where stories live. Discover now