#7 Mengorbit Kembali

205 8 0
                                    

Selamat malam, duhai malam.

Sudahkah sampai ke telingamu salam yang kapan lalu kutitip pada si senja itu?

Sudah, kan? Oh, syukurlah.

Baik, kurasa cukup basa-basinya.

Sekarang aku ingin lanjut berkisah soal apa-apa yang bulan lalu sempat kuutarakan pada senja.

Soal tekadku untuk berhenti berceloteh tentang semestanya Tuhan.

Baik. Sebelum segalanya, izinkan aku menyampaikan rasa salut pada diriku yang kala itu sempat begitu semangat untuk 'bertaubat'.

Karena nyatanya, yang kini aku dapati adalah tak lebih dari seorang diri yang seolah begitu tak tentu arah.

Astaga. Sebegini mudahkah bagi Tuhan untuk membolak-balik hati seorang hamba?

Hingga batas antara keberingasan dan penyesalan menjadi sedemikian tipis untuk diseberangi, bahkan oleh aku yang terlampau lemah ini.

Lantas, apa salah bila aku membuat fatwa untuk sekedar membela diri? Bahwasanya, kala itu aku hanya sedang muak saja.

Muak saja aku pada kondisi diri kala itu.

Bukan, bukan muak pada takdirku yang telah di skenariokan Tuhan. Melainkan muak terhadap benda-benda semesta yang telah ku analogikan, tapi kian lama kian tak sesuai dengan kondisi yang tengah aku rasakan.

Namun selepas segala tetek bengek kemuakan itu mereda, aku mulai membuat suatu simpulan yang lain. Bukan untuk membela diri. Tetapi karena memang begitulah adanya logikaku bergelora.

Bahwa kurasa, menjadikan instrumen-instrumen langit itu bagian dari kiasan-kiasan dalam aksaraku, bukanlah suatu kesalahan kan?

Memangnya siapa pula yang berani-beraninya mendakwai alam fiktif dalam kepalaku ini? Ketika Tuhan bahkan telah berdalih, bahwa Dia tak akan pernah membiarkan hambanya benar-benar sendiri selagi masih dalam lingkup dunia fana ini.

Berarti bukan salahku, kan bila memilih angkasa dan atribut-atributnya menjadi teman dalam aku bercerita?

Jadi kini, mari kita mulai saja kembali.

Lupakan soal Bumi yang dulu, soal Bulan yang dulu, soal Bintang yang dulu, apalagi soal Mars yang dulu.

Karena mereka sudah benar-benar lalu. Dan aku sudah siap menerima mereka sebagai bagian dari masa laluku.

Tidakkah kau pernah dengar, bahwa awal dari proses menjadi pribadi yang lebih sejati adalah melakukan penerimaan atas diri.

Dan aku, kurasa sudah melakukannya. Dengan (cukup) baik.

Ya, semoga saja kelak aku sukses melakukan transformasi itu.

Hey, malam! Tidakkah kau mau meng-aamiin-i kalimat 'semoga' yang barusan kuucap itu?

Oh, tentu saja. Kau mengucapnya dalam hati saja ya?

Baiklah. Tak apa.

Kurasa, sudah dulu ya.

Selamat menyambut gulita!

21/11/'16
Dieny A.

Analogi AntariksaWhere stories live. Discover now